Menuju konten utama

Dua Gaya Buang Air Besar yang Menentukan Kesehatan

Bagi manusia buang hajat itu sama pentingnya dengan makan. Wajar jika buang hajat masuk dalam kategori kebiasaan yang melekat.  Saat buang hajat, ada dua gaya yang lazim, jongkok atau duduk. Dan semua orang punya pilihannya masing-masing, dan mudah mengubahnya.

Dua Gaya Buang Air Besar yang Menentukan Kesehatan
Ilustrasi Toilet [Foto/Shutterstock]

tirto.id - Bagi orang-orang Eropa, akan risih saat berkunjung ke Asia, begitupun sebaliknya. Beberapa orang susah mengubah gaya buang hajat mereka, sampai memilih tidak melakukan ritual wajib itu selama berhari-hari. Alasannya cuma satu, soal kenyamanan.

Masyarakat Asia identik dengan gaya kakus jongkok dan Eropa bergaya duduk. Kebiasaan kedua peradaban ini sudah melalui proses yang panjang. Merujuk riset seorang peneliti Melda Genç berjudul “The evolution of toilet and its current state,” bisa memberikan penjelasannya.

Kakus duduk tertua ditemukan di Palace Knossos, Mesopotamia. Kakus ini diperkirakan dibuat pada masa pemerintahan Raja Sargon I pada 3000 SM. Kakus itu terlihat seperti sebuah kursi dengan lubang kunci di atasnya. Di bawahnya ada panci portabel untuk menampung tinja. Ada 6 kakus duduk ini di Palace Knossos.

Penemuan yang sama juga terjadi pada peradaban Mesir Kuno dan Mohenjo-Daro di Lembah Sungai Indus, India. Bedanya, tinja dari kakus itu mengalir lewat sistem drainase yang ditanam di bawah rumah mirip kehidupan modern sekarang, bedanya mereka tidak menutupi lubang drainase di jalan-jalan, alhasil aroma tidak sedap bisa tercium.

Pada periode ini, bahan yang digunakan dan tinggi kakus terpengaruh dari status sosial-ekonomi si pengguna. Mereka yang miskin dan budak, toilet kursi mereka hanya akan berupa tumpukan bata dan dekat dengan tanah. Berbeda dengan orang kaya dan bangsawan yang kakusnya dibuat oleh kayu dan lebih tinggi.

Kakus duduk pun melekat pada peradaban Yunani dan Romawi kuno. Pada periode ini, saluran drainase semakin dibenahi akibat kesadaran tentang kebersihan semakin meningkat, lokasi kakus pun didekatkan dengan dapur di belakang rumah. Pengolahan air limbah untuk irigasi atau menyuburkan tanaman dan kebun mulai digunakan, di Romawi disebut Kloaka Maxima – sebuah kanal pembuangan yang dibangun pada abad ke-6 SM.

Setelah Romawi jatuh, Eropa memasuki abad pertengahan dan kegelapan. Budaya bersih di era Yunani dan Romawi dibuang percuma.

Di Inggris, buang air besar dilakukan di pot – khusus para bangsawan, mereka membuang kotoran di pot berlapis perak atau porselene. Tidak adanya drainase membuat kotoran dibuang lewat jendela. Agar orang lain tak terciprat, si pembuang kemudian akan berteriak “gardyloo” sebagai penanda awas ada tahi. Budaya jorok ini membuat wabah black death merajelala antara 1348 dan 1350.

Setelah itu, orang-orang mulai menyembunyikan pispot mereka ke bawah kursi kayu yang alasnya bisa ditutup dan dibuka. Bangku ini menyerupai furnitur sehingga tamu rumah tidak menyadari bahwa itu adalah benar-benar toilet.

Seiring dengan kepahaman akan drainase dan kesadaran kebersihan, kakus duduk semakin berkembang. Pada 1775, Aleksander Cumming menciptakan kakus duduk siram untuk kali pertama. Kakus ini mulai memakai konsep pembilasan dengan menambahkan retensi air dalam kakus demi mencegah bau busuk. Pasca penemuan Cumming ini, bangsa Eropa semakin lekat dengan kakus duduk.

Barat selalu menyebut kakus jongkok sebagai kakus India, kakus Turki, kakus Jepang atau kakus Asia. Ini karena sejarah kakus jongkok populer di sana. Kakus jongkok tertua ditemukan pada perabadan India kuno, 2500 SM. Sampai kini, penduduk di Asia Selatan memang identik dengan kakus jongkok.

Selain di India, kakus jongkok pun melekat pada peradaban Anatolia dalam kurun 2000 SM hingga 800 SM. Kakus jongkok tertua ditemukan di kastil Urartian, Gürpınar, Turki timur. Namun setelah Anatolia diserbu dan diperintah oleh Bizantium Roma, pengunaan kakus jongkok mulai ditanggalkan dan beralih ke kakus duduk.

Namun semua itu berubah kembali setelah Kekhilafan Ottoman berkuasa di Turki. Kembalinya kakus jongkok tidak lepas dari saran Nabi Muhammad yang terbiasa buang air besar secara jongkok. Anjuran kebersihan yang dijunjung tinggi dalam Islam dan cebok menggunakan air, membuat sistem drainase dan pembilasan mulai populer.

Di saat Barat baru menggabungkan kakus dan kamar mandi dalam satu ruang pada abad ke-16, Islam dan Ottoman telah melakukannya 300 tahun sebelumnya. Faktor Ottoman pula membuat kakus jongkok menyebar ke Eropa, khususnya ke jajahan mereka di Eropa Timur dan negara Balkan.

Selain di Turki dan India, di Asia kakus jongkok pun begitu mengakar. Kakus kontemporer jongkok tertua di temukan dalam penggalian Istana Kashihara di Nara, diperkirakan kakus ini berasal dari abad 1300 SM. Pada peradaban Cina, kakus jongkok ditemukan pada makam seorang raja dari Dinasti Han Barat yang hidup sekitar tahun 206 SM sampai 24 Masehi.

Kegaduhan Dua Gaya Buang Hajat

Gaduh-gaduh sentimen SARA terjadi di Australia pada bulan Agustus lalu. Keberisikan itu disebabkan hal sepele: kakus. Kericuhan bermula saat Senator Pauline Hanson mengeluhkan keputusan kantor Pajak Australia yang akan membangun toilet jongkok pada gedung baru di Melbourne.

Kepala Kantor Pajak, Justin Untersteiner kepada Herald Sun, mengatakan lebih dari 20% karyawan kantor pajak kebanyakan berasal dari Asia, Timur Tengah dan Afrika. Kakus jongkok memang melekat dengan regional itu dan tabu bagi masyarakat Barat, khsusnya Eropa. "Kami berkomitmen untuk menjaga tempat kerja yang inklusif dan mendukung semua karyawan kami, apa pun latar belakang mereka," katanya.

Pauline kecewa dengan kebijakan ini. Baginya dengan memberikan akses kakus jongkok pada imigran, secara tidak langsung membuat kultur Australia akan terkikis. “Jadi sebuah pernyataan adalah jika mereka tidak bisa menggunakan toilet secara kebarat-baratan, bagaimana mereka diharapkan untuk bekerja mengelola sistem pajak kita dan memberikan nasihat kepada warga Australia biasa?”

Pernyataan kontroversial merembet jadi alat untuk menyerang kaum imigran. Dan sialnya, banyak orang Australia mendukung pernyataan Pauline ini, mereka mengidentikan penggunaan kakus jongkok sebagai tindakan primitif dan hanya pantas dipakai di negara berkembang.

Diskriminasi itu semakin memanas pasca komentar Sekretaris perpajakan Australia, Jeff Lapidos yang menuturkan poster anjuran cara memakai kakus duduk tidak begitu efektif. Kata dia, masih banyak yang berjongkok di kursi kakus dan malah membuat feses berceceran. “Ini jadi menyusahakan staf lain yang kemudian datang memakai toilet itu. Banyak yang mengeluh soal ini,” katanya.

Di saat Australia merasa risih dengan kehadiran kakus jongkok, di beberapa negara Asia mereka malah mulai meninggalkan kakus jongkok dan beralih ke kakus duduk, Thailand misalnya. Dikutip dari Bangkok Post, Kementerian Kesehatan Thailand saat ini sedang gigih mengkampanyekan anjuran berganti dari kakus jongkok ke kakus duduk. Survei tahun lalu menemukan bahwa 86 persen rumah tangga di Thailand menggunakan toilet jongkok, 10 persen penggunaan kakus duduk, dan 3,1 persen memiliki keduanya.

Pemerintah Thailand berencana untuk mendorong angka pengguna kakus duduk jadi 100 persen dalam waktu tiga tahun ke depan. Kampanye itu dimulai dengan pemasangan kakus duduk pada 90 persen fasilitas umum. Alasan kampanye ini karena kakus jongkok ditengarai jadi sebab sendi degeneratif atau osteoarthritis yang saat ini dialami sekitar 6 juta warga Thailand.

Jika Thailand memakai dalih kesehatan, maka Korea Selatan dan Cina mengganti kakus jongkok dengan alasan pariwisata. Korsel memulainya pada tahun 1988 saat Seoul ditunjuk jadi penyelenggara Olimpiade, kala itu pemerintah mengganti 90 persen fasilitas umum dengan kakus duduk. Saat Piala Dunia 2002 digelar, perombakan dilakukan di 9 kota besar lainnya, Daegu, Busan, Icheon, Ulsan, Suwon, Gwangju, Jeonju dan Jeju. Saat ini penggunaan kakus jongkok di Korsel tidak lebih dari 30 persen.

Di Cina, pada Januari lalu Kementerian Pariwisata mereka memberikan aturan standardisasi toilet di kawasan wisata, termasuk hotel haruslah menyediakan kakus duduk. Li Shihong, perwakilan pemerintah Cina mengakui banyak keluhan dari wisatawan khususnya turis Eropa tentang kakus ini.

Kampanye ini akan dilakukan selama tiga tahun ke depan, sejak bulan Januari tahun lalu yang bertujuan untuk membangun 33.000 kakus duduk pada 2017 dan merenovasi 24.000 kakus yang sudah ada. Tahun ini, total 1,25 juta yuan ($ 192.000) telah diinvestasikan untuk membangun atau merenovasi 25.000 kakus di kawasan wisata. Li Shihong mengatakan renovasi ini bahkan dilakukan sampai daerah pelosok.

Tinjauan Secara Kesehatan

Mempertentangkan kakus jongkok atau kakus duduk dari sudut pandang kebersihan, kenyamanan dan gengsi tentu tidak ada ujungnya. Namun jika ditilik dari sisi kesehatan, banyak penelitian yang memenangkan kakus jongkok. Pakar sistem pencernaan Anish Sheth, menuturkan alasan fisiologis gaya berjongkok lebih mempermudah saat buang air karena pose jongkok meluruskan usus besar.

Dikutip dari alodokter.com ketika seseorang sedang berdiri, usus besar - tempat tinja disimpan - ditekan ke atas oleh otot puborectalis, alhasil saat berdiri feses pun tidak keluar.

Dan ketika menggunakan kakus duduk, otot puborectalis ini tidak bekerja seluruhnya hal ini ditambah dengan sudut anorektal alias sudut yang terbentuk di area antara anus dan rectum. Lain hal saat kita memakai kakus jongkok, membuat usus dan anus berada pada jalur yang lurus hingga memungkinkan feses keluar dengan mulus.

Banyak penelitian menyimpulkan bahwa manfaat kakus jongkok mampu menentukan dampak terhadap mengurangi sembelit, gejala wasir, divertikulitis, serta meningkatkan kesehatan usus besar, otot panggul dan kandung kemih menjadi lebih baik. Dan yang terpenting adalah gaya buang hajat Anda bisa menentukan lebih lancar membuang kotoran.

Baca juga artikel terkait TOILET atau tulisan lainnya dari Aqwam Fiazmi Hanifan

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Aqwam Fiazmi Hanifan
Penulis: Aqwam Fiazmi Hanifan
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti