tirto.id - Kita sulit mencari toilet umum, apalagi yang layak, di ruang publik. Survei yang dilakukan Litbang Kompas tahun 2016 lalu menemukan responden sulit buang hajat di pasar, taman, terminal, dan stasiun.
Dalam survei yang sama juga ditemukan kontras antara pengelolaan toilet swasta dan pemerintah. Hampir separuh responden memilih menggunakan toilet di pusat perbelanjaan (mal). Sebanyak 66 persen dari mereka memberikan penilaian baik terkait pemeliharaan kebersihan toilet. Sebaliknya, 38 persen responden menganggap kebersihan toilet umum belum maksimal.
Fasilitas umum yang paling lumayan adalah SPBU. 22 persen responden memilih mengakses toilet di tempat ini karena, seperti mal, dianggap cukup bersih dan higienis.
Bisa dibilang, pemerintah belum menganggap masalah toilet sebagai sesuatu yang genting disediakan di ruang publik. Hal ini pernah menjadi sorotan seorang asisten Ombudsman RI perwakilan Kalimantan Selatan.
Pada 2014 lalu, Joko Widodo yang masih menjabat Gubernur DKI Jakarta mengatakan toilet di area halte Transjakarta belum dibutuhkan karena hanya dapat menimbulkan pesing. Menurutnya sulit mengusahakan toilet tetap bersih karena kesadaran masyarakat untuk merawatnya masih kurang.
Di kemudian hari, tepatnya pada 2016 atau setelah Jokowi tak lagi menjabat gubernur, mulai berdiri toilet di beberapa halte. Salah satunya di halte Kuningan Barat. Seperti kata Jokowi, memang bau pesing. Ditambah lagi pintunya rusak.
Tapi toh kesadaran akan pentingnya toilet muncul juga. Tahun ini, dengan anggaran Rp600 miliar, PT Transjakarta berencana merevitalisasi 46 halte termasuk mendirikan toilet. Toilet tersebut juga dijanjikan akan dibuat ramah penyandang disabilitas.
Ruang Privat
Sebagian orang punya cara unik untuk tetap bisa fokus pada pekerjaannya. Misalnya saja Steve Jobs, pendiri Apple Inc. yang meninggal pada 2011 lalu. Jika sedang pening dan stres, dia akan pergi ke toilet perusahaan dan memanjakan kakinya dengan rendaman air.
Karena dapat membuat pengguna menyendiri tanpa benar-benar diganggu siapa pun, toilet, dalam hal ini, menjadi ruang privat. Ia tidak sekadar tempat buang hajat.
Sayangnya tidak semua orang mampu mendapatkan ruang privat seperti Jobs. Penelitian berjudul Psychosocial Stress Associated with Sanitation Practices: Experiences of Women in a Rural Community in India (2015) yang dilakukan Siddhivinayak Hirve, dkk. misalnya menemukan 64 persen responden yang buang air besar di tempat terbuka mengalami stres karena merasa tidak mendapat ruang aman.
Mereka sering kali ketakutan karena kerap mendapati pelecehan seksual secara verbal maupun fisik. Belum lagi bicara ancaman alam seperti ular, serangga, dan semacamnya.
Responden terdiri dari 306 wanita di India. 278 di antaranya adalah pengguna toilet sementara sisanya tidak. Yang tidak itulah yang buang air di ruang terbuka dan merasa tak aman.
Hirve dkk. kemudian menyimpulkan bahwa memang ada kaitan kuat antara akses toilet dengan kondisi psikososial perempuan.
Riset tersebut juga memberikan rekomendasi bagi pemerintah untuk bisa menyediakan toilet yang nyaman bagi semua warga sehingga tidak perlu ada lagi yang buang air di tempat terbuka.
“Dengan memperhatikan kebutuhan sanitasi perempuan, bukan hanya kondisi fisiologis mereka terpenuhi, tapi itu juga akan memberanikan mereka karena merasa dihargai dalam salah satu aspek hidup yang paling mendasar,” catat Hirve dkk.
Riset toilet sebagai ruang privat juga pernah dilakukan oleh Adriana Andhini dari Universitas Indonesia. Penelitian berjudul Toilet Umum Sebagai Ruang Sosiofugal (2012) ini dimulai dengan kutipan dari sejarawan Lewis Mumford: “Tempat yang bebas dari interupsi adalah toilet.”
Adriana berargumen bahwa masyarakat memerlukan ruang privat kendati berada di ruang publik. Dan salah satu yang bisa mengakomodasi kebutuhan itu adalah toilet. Banyak aktivitas yang tak ingin dilihat orang banyak dapat dilakukan di sana, selain kegiatan primer seperti menuntaskan buang air dan sekunder seperti baca koran atau bermain gawai.
“Kini, toilet umum sering disebut sebagai ruangan yang privat, karena secara sederhana toilet, dalam hal ini biliknya, merupakan perpanjangan ruang personal manusia,” catat Adriana.
Toilet dapat berfungsi demikian karena kebanyakan orang melakukan semua di sana serba cepat. Orang berlalu-lalang begitu saja, mengabaikan apa yang terjadi dengan yang lain, termasuk jika ia melakukan aktivitas emosional seperti menangis.
Penggunaan toilet sebagai ruang privat juga tak terbatas pada perempuan. Laki-laki pun demikian. Saya pernah beberapa kali menemukan rekan kerja yang di tengah malam pergi ke toilet hanya untuk merokok dan menyigi gawainya. Kebiasaan ini juga saya lakukan di pagi hari ketika sedang buang air besar.
Entah mengapa berlama-lama di toilet menjadi kegemaran laki-laki pula.
Dalam sebuah penelitian tahun 2018, satu dari tiga laki-laki di Inggris mengaku terkadang bersembunyi di toilet agar mendapatkan ketenangan. Dari 1.000 responden, rata-rata menghabiskan waktu 7 jam di toilet sebagai ruang privat agar bisa bermain gawai dengan tenang dan menghindari kebisingan di luar bilik.
“Kita semua butuh sedikit waktu untuk diri sendiri,” kata juru bicara perusahaan Pebble Grey yang melakukan riset tersebut.
Riset lain tahun 2019 yang dilakukan Ipsos Mori menemukan 58 persen dari 4.000 responden laki-laki di Amerika Serikat, Kanada, Inggris, dan Australia percaya bahwa mereka seharusnya terlihat maskulin: “kuat secara emosi dan tidak menunjukan kelemahan.” Konsekuensi dari pemikiran semacam ini akhirnya membuat laki-laki lebih suka menghabiskan waktu sendirian di toilet, tempat dia bisa leluasa bergumul dengan diri sendiri.
Penelitian lain juga menunjukkan bahwa laki-laki lebih banyak menghabiskan waktu di toilet daripada perempuan. Laki-laki bisa menghabiskan waktu sekitar 14 menit sedangkan perempuan hanya 8 menit per hari.
Ditemukan, aktivitas yang paling digemari laki-laki ketika di toilet adalah membaca. Presiden pertama Indonesia, Sukarno, pun serupa. Dia bahkan punya meja di kamar mandi untuk menaruh buku-buku yang akan dibaca ketika di toilet.
Temuan-temuan ini mematahkan dua stigma sekaligus: bahwa perempuan sering kali berlama-lama di kamar mandi atau kerjaan laki-laki jika lama di toilet tak lebih dari sekadar merancap.
Editor: Rio Apinino