Menuju konten utama
Mozaik

BTI, Koperasi, dan Gerakan Melawan Rentenir

Barisan Tani Indonesia menggalang koperasi petani untuk menghalau rentenir. Capaiannya turut tergilas usai Peristiwa G30S 1965.

BTI, Koperasi, dan Gerakan Melawan Rentenir
Header Mozaik Kaum Tani Melawan Rentenir. tirto.id/Quita

tirto.id - Pada 24-26 November 1945, berlangsung suatu kongres besar di Yogyakarta yang dihadiri ribuan kaum tani. Kongres itu terjadi dalam rangka menanggapi maklumat pemerintah terkait seruan untuk membentuk organisasi dan partai politik.

Kaum petani sebagai elemen penting dalam masyarakat Indonesia tentu tak ingin ketinggalan momentum. Maka kongres itu kemudian mufakat untuk membentuk organisasi Barisan Tani Indonesia (BTI) sebagai wadah bernaung sekaligus menjadi pelantang aspirasi.

Belakangan, BTI kita kenal sebagai organisasi yang dekat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Ia bahkan disebut-sebut sebagai underbow-nya sehingga turut menjadi sasaran pemberangusan setelah Peristiwa G30S 1965.

Sebelum hancur lebur, BTI banyak melakukan program untuk mengangkat kesejahteraan petani di desa-desa. Salah satunya adalah kampanye melawan rentenir.

Gerakan itu mulai masif dilakukan pada 1960-an. Kala itu, Indonesia tengah menghadapi krisis ekonomi. Kondisi makin parah lantaran musim kemarau panjang. Karenanya, banyak orang—terutama petani—mengalami kesulitan keuangan sehingga terjerumus pada rentenir.

Praktik pinjam uang kepada rentenir tentu saja malah menambah beban ekonomi. Pasalnya, orang-orang harus membayar bunga utang yang telah ditetapkan sebelumnya. Pada situasi ini, BTI merumuskan program alternatif, yakni Koperasi Rakyat Pekerja, agar masyarakat tidak lagi bergantung pada rentenir.

BTI dan Koperasi

BTI sebetulnya sudah lama terlibat dalam gerakan koperasi di Indonesia. Itu terlihat dari keikutsertaannya dalam Kongres Koperasi Indonesia I pada 11-14 Juli 1947 di Tasikmalaya. Kongres ini dihadiri sekira 500 pegiat koperasi dari berbagai daerah dan tokoh-tokoh politik Nasional.

Didi Novrian S. dalam studinya Menempatkan Kembali Koperasi Petani Sebagai Gerakan Tani (2012) menyebut, “Kongres koperasi pertama dihadiri oleh tokoh-tokoh pergerakan nasional, diantaranya Panglima Divisi Siliwangi A.H. Nasution, Perdana Menteri Syahrir, Moh. Hatta, dan beberapa tokoh gerakan petani di antaranya Moh. Tauchid sebagai perwakilan dari BTI.”

Namun seiring dengan perkembangannya, BTI makin tidak sependapat dengan corak koperasi yang diusung oleh Kongres Koperasi Indonesia I itu. Pada masa itu, bentuk koperasi Indonesia amat dipengaruhi oleh formulasi Moh. Hatta, yakni sebagai badan usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan.

Formulasi ini dianggap palsu oleh BTI. Berkala Suara Tani (1960) mencatat bahwa koperasi ala Hatta dinilai hanya, “Untuk kepentingan kaum kapitalis.” Dengan bentuk seperti yang ada saat itu, BTI menilai koperasi tidak akan mampu meringankan beban rakyat, apalagi menciptakan “masyarakat adil-makmur” seperti yang dikatakan Hatta.

Maka BTI membuat rumusan lain bahwa koperasi adalah alat perjuangan. Ia bukan tujuan akhir perekonomian Indonesia. BTI kemudian menelurkan program alternatif melalui kampanye Tiga Bendera Koperasi Rakyat Pekerja yang dimulai pada 1959.

Tiga Bendera Koperasi Rakyat Pekerja itu mencakup bentuk koperasi kredit (simpan-pinjam), koperasi jual-beli, dan koperasi produksi. Bagi BTI, sebagaimana disebut dalam berkala Suara Tani (1961), koperasi merupakan, “Bagian dari perdjuangan melawan tuan tanah dan lintah darat.”

Yang kemudian diarahkan BTI untuk membebaskan kaum petani dari jerat renternir adalah koperasi kredit.

“Para petani berada dalam keadaan kekurangan modal untuk mengolah tanah dan memelihara tanamannja. Mereka mendjadi terpaksa djadi korban tukang idjon dan lintah darat jang melepaskan uangpanas dengan bunga jang sangat tinggi,” catat Suara Tani (1961).

Keanggotaan Koperasi Rakyat Pekerja diatur secara ketat oleh BTI. Mereka-mereka yang teridentifikasi sebagai rentenir tidak diperbolehkan bergabung menjadi anggotanya.

Dalam Laporan Konstitusi BTI tahun 1962, tertulis bahwa, “Tjiri pokok Koperasi Rakjat Pekerdja adalah: tidak mengidjinkan masuknja seorang jang termasuk golongan penghisap sebagai anggota, misalnja tuantanah, lintahdarat, tukang mindring, tukang idjon, tengkulak, kapitalis dan lain2 golongan penghisap didesa”.

Mereka yang diperbolehkan bergabung dalam Koperasi Rakyat Pekerja adalah golongan tani sedang, buruh tani, dan tani miskin. Yang dimaksud golongan tani sedang adalah orang-orang yang memiliki alat-alat pertanian dan lahan sendiri dengan jumlah tidak banyak, serta tidak mempekerjakan orang lain.

BTI memandang golongan tani sedang termasuk korban eksploitasi, entah dalam bentuk monopoli persewaan tanah atau korban rentenir akibat gagal panen dan kekurangan modal pertanian. Golongan tani sedang juga memiliki kepentingan untuk berkoperasi dalam bidang produksi ataupun untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Karenanya, BTI merasa perlu untuk menarik golongan tani sedang dalam pengorganisasian Koperasi Rakyat Pekerja.

Sekolah Koperasi

Agar Koperasi Rakyat Pekerja dapat berjalan secara optimal, BTI kemudian membuat program Sekolah Koperasi untuk mendidik para kader. Sekolah Koperasi pertama kali diresmikan pada 1 Maret 1961 di Pasar Rebo, Jakarta Timur.

Selain oleh eksponen BTI sendiri, peresmian Sekolah Koperasi juga dihadiri oleh beberapa orang perwakilan dari pemerintah, seperti Wakil Jawatan Koperasi Pusat, Departemen Sosial/Kesejahteraan Rakyat, dan Departemen Agraria. Seturut pemberitaan Suara Tani (1961), Wakil Departemen Sosial dalam sambutannya mengatakan, “Menjambut baik dibukanja Sekolah Koperasi dan menjatakan pentingnja peranan kaum tani dalam pembangunan.”

Salah satu materi penting dalam kurikulum Sekolah Koperasi adalah prinsip utama Koperasi Rakyat Pekerja. Prinsip tersebut meliputi kesukarelaan, keterbukaan, demokrasi, dan saling menguntungkan.

Infografik Mozaik Kaum Tani Melawan Rentenir

Infografik Mozaik Kaum Tani Melawan Rentenir. tirto.id/Quita

Prinsip demokrasi dalam koperasi diwujudkan dengan meletakkan kekuasaan tertinggi pada Rapat Anggota. Dalam forum itulah, anggota dapat memilih atau memberhentikan pimpinan koperasi sekaligus mengambil keputusan untuk segala hal yang berkenaan dengan kegiatan koperasi. Melalui Sekolah Koperasi, pendidikan demokrasi juga diberikan secara tidak langsung pada para anggotanya.

Para peserta yang telah selesai menjalani pendidikan Sekolah Koperasi selanjutnya diizinkan untuk mendirikan koperasi sendiri yang independen dari BTI. Syaratnya cukup dengan mengedepankan ciri pokok Koperasi Rakyat Pekerja serta turut ambil bagian dalam gerakan melawan lintah darat, perjuangan anti-feodalisme, dan perluasan demokratisasi desa.

Ada sedikit perkecualian untuk golongan tani sedang. Sebelum mendirikan koperasi sendiri, mereka perlu lebih dulu terlibat dalam Regu Saling Bantu Musiman (RSM) dan Regu Saling Bantu Sepanjang Tahun (RSST). Itu adalah kelompok-kelompok gotong royong antarpetani. Kegiatannya berkisar pada upaya untuk menjaga pertanian, misalnya membasmi hama atau membuat irigasi.

Program-program BTI sering pula beririsan dengan kegiatan-kegiatan PKI. Kedua organisasi ini memang dekat secara ideologis, meski Konstitusi BTI menyatakan bahwa ia adalah organisasi “massa jang berdaulat non-partai”.

Ketua PKI D.N. Aidit dalam Kaum Tani Mengganyang Setan2 Desa (1964) secara spesifik menyebut bahwa rentenir atau lintah darat termasuk golongan 7 setan desa yang harus diperangi. Lintah darat disebutnya dapat merusak daya produksi kaum petani di desa-desa gara-gara pinjaman berbunga tinggi.

PKI pun mendukung apa yang dilakukan BTI dalam program Koperasi Rakyat Pekerja. Namun menurut pandangan partai, koperasi ini merupakan alternatif sementara saat rakyat mengalami kesulitan. Tujuan utamanya adalah membangun kembali sistem ekonomi negara bercorak sosialisme agar ketimpangan ekonomi—akar persoalan utama kesulitan masyarakat Indonesia—bisa teratasi.

Selepas 1961, Sekolah Koperasi BTI semakin banyak mencetak kader dan koperasi-koperasi baru banyak berdiri. Itu belum lagi menghitung koperasi yang independen secara struktural dari organisasi. Jelang 1965, jumlah koperasi di Indonesia bahkan membengkak menjadi sekitar 70.000 unit—dari daftar terakhir 16.000 unit pada 1959 (Adib, 2015).

Sayang sekali, gerakan koperasi petani yang digalan BTI amblas usai pecahnya huru-hara G30S 1965. BTI yang dianggap kepanjangan tangan PKI ikut kena gilas. Koperasi-koperasi yang sebelumnya ia organisasikan pun turut jadi korban pengganyangan.

Baca juga artikel terkait KOPERASI atau tulisan lainnya dari Rifaldi A

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Rifaldi A
Penulis: Rifaldi A
Editor: Fadrik Aziz Firdausi