tirto.id - Polisi memukul dan menangkap warga dan pendamping hukum yang melakukan aksi penolakan tambang kuari di Desa Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, Jumat (23/4/2021). Lahan mereka hendak ditambang untuk dijadikan material pembangunan Bendungan Bener, sebuah proyek strategis nasional yang berada sekitar 5 kilometer dari Desa Wadas.
Salah satu yang menjadi korban kebrutalan polisi adalah Kepala Divisi Advokasi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta Julian Dwi Prasetya. Ia adalah advokat yang diberikan kuasa untuk melakukan pendampingan hukum terhadap warga penolak tambang sejak 2018.
“Dipukul di kepala, di punggung, dan dijambak sama ditendang di tulang kering,” kata Julian kepada reporter Tirto melalui sambungan telepon, Senin (26/4/2021).
Julian sampai di Wadas pada Jumat (23/4/2021) pekan lalu. Ia datang bersama dengan tujuh anggota LBH Yogyakarta setelah mendengar kabar mengenai sosialisasi pematokan lahan untuk tambang.
Selepas subuh, warga yang sebagian adalah ibu-ibu berteriak histeris setelah melihat beberapa orang termasuk perangkat desa mendirikan tenda untuk tempat sosialisasi. Julian tak sempat ganti baju untuk mendampingi para ibu-ibu sampai pukul 08.00 hingga akhirnya tenda itu tak jadi digunakan.
Setelah itu ibu-ibu melanjutkan doa bersama di Balai Desa. Jam 10.00, TNI-Polri bergerak menuju Wadas. Jumlahnya ratusan; mengenakan tameng, tongkat, dan senjata gas air mata.
Ibu-ibu bersama warga yang lain berupaya mengadang dengan menutup akses dan menduduki jalan perbatasan desa, namun polisi terus merangsek. “Kami sudah minta negosiasi, kalau mereka mau berdialog maka duduk dulu dengan warga. Tapi mereka tidak ada yang mau duduk, berdiri semua dan pasang tameng,” kata Julian.
Dalam situasi seperti itu Julian bilang ia tak bisa berbuat banyak. Meski demikian, warga dan tim advokasi tetap berupaya untuk berdialog. “Tapi malah ditarik-tarik,” kata Julian.
Seorang pendamping dari LBH Yogyakarta juga tak luput dari perlakuan yang tak layak: ditarik dan dibentak-bentak. Kata Julian, sejumlah warga yang mencoba melindungi pun ikut ditarik dan dipiting, sebagian malah ditangkap. “Awal provokasinya seperti itu,” katanya.
Setelah sebagian orang ditarik dan ditangkap, polisi kemudian mengeluarkan tembakan gas air mata. Warga berhamburan menyelamatkan diri dan polisi tetap mengejar beberapa orang.
Julian yang saat itu mencoba maju untuk tetap bernegosiasi sudah tak lagi digubris. “Saya langsung ditangkap. Enggak ditanya apa-apa dulu. Leher saya langsung dipegang, dijambak, dipukul punggung dan kaki. Tidak beradab.”
Tak hanya Julian, seorang lagi dari LBH Yogyakarta bernama Jagad juga ditangkap. “Jagad ditangkap karena saat melindungi warga ia pakai bahasa Indonesia lalu dicurigai sebagai orang luar. Kalau saya saat itu memang masih pakai sarung.”
Kapolres Purworejo AKBP Rizal Marito mengklaim upaya dialog dengan pendamping hukum sudah dilakukan namun tak ada yang mau. Ia juga menuding pendamping hukum tak kredibel.
“[Pendamping hukum] tidak harus menggunakan celana pendek, pakai sandal jepit, pakai sarung, seolah-olah menyamarkan diri. Begitu diamankan orang-orang yang memprovokasi ini, baru ngomong kalau dari LBH,” ujarnya kepada reporter Tirto melalui sambungan telepon, Senin. “Kalau dia [pendamping hukum], orang yang kredibel, elegan, ya, bilang saja LBH-nya. Selesai, kita tidak mungkin sentuh.”
Julian membantah klaim kapolres. Ia sejak awal sudah mengaku sebagai advokat, dan LBH Yogyakarta sejak awal telah mendampingi warga termasuk ketika audiensi di Polres Purworejo sehingga menurutnya polisi harusnya tahu.
Ketika dibawa ke Polsek Bener, Julian diminta menunjukkan identitas dan menunjukkan AD/RT LBH Yogyakarta, dalam kondisi semua barang-barang termasuk identitasnya sudah disita oleh polisi.
Julian bersama dengan 11 orang lain ditangkap sekitar 12.00 dan baru dilepaskan sekitar pukul 01.00 keesokan harinya.
Ia menyebut penangkapan dirinya bersama belasan warga lain sebagai cacat prosedur dan menyalahi undang-undang. “Proses penangkapan ini tidak sesuai prosedur hukum pidana, dalam proses penangkapan saya diperlakukan tidak manusiawi. Tidak ada surat penangkapan dan penyitaan langsung ditangkap dan dipukul,” ujarnya.
Pun demikian dengan dalih polisi yang menilai ia tak berpakaian elegan sebagaimana advokat saat bekerja. Harusnya, kata dia, pekerjaannya sebagai advokat tak melekat pada pakaian. “Profesi advokat tidak melekat pada pakaian, tapi profesi itu saya peroleh dari pendidikan dan ikatan saya dengan kode etik, sumpah dan sebagainya. Bukan karena pakaian lalu menggugurkan profesi,” kata Julian.
Arogan
Bersamaan dengan video ricuh viral di media sosial, unggahan anggota polisi di lokasi kejadian juga beredar. Orang itu menulis “Perang Hutan” dengan latar foto di tempat kejadian; di unggahan yang lain foto persiapan pasukan ditambahkan tulisan “info geger geden (info rebut besar). Warganet menganggap tindakan itu arogan.
Kapolres menyebut persiapan polisi yang menerjunkan pasukan yang jumlahnya ratusan dengan peralatan lengkap dinilainya sebagai hal yang wajar. Menurut Rizal itu adalah persiapan Polisi saat menjalankan tugas untuk mengantisipasi situasi yang tidak diinginkan.
“Jadi polisi pintar memprediksi bahwa itu akan terjadi, bukan siap-siap mau perang. Sudah standar prosedur bahwa tidak boleh polisi kalah oleh premanisme, tidak boleh kalah oleh desain-desain yang sengaja dibuat untuk menghambat pembangunan.”
Tak hanya itu, ia juga menyemburkan tudingan-tudingan lain. Ia mengatakan terdapat sekelompok warga yang sengaja menghambat sosialisasi tambang. Karena jalan diblokir, Rizal bilang ada masyarakat yang melapor lantaran terganggu. Itu kemudian yang mendasari polisi bergerak. “Polisi kemudian melakukan patroli skala besar karena yang ditutup ini termasuk jalan kabupaten. Ini, kan, sangat tidak baik dan berbahaya sekali,” ujarnya.
Dalam upaya membuka akses jalan itu, ia menuding sekelompok warga tersebut sengaja menciptakan situasi rusuh dan membawa wartawan. “Settingan-nya mungkin mereka merencanakan ingin chaos. Setelah itu mulai ada dorong-dorong segala macam, ibu-ibu disuruh ke depan, tiba-tiba mulai ada yang lempar.”
Rizal juga menuding sekelompok warga yang melakukan penolakan itu mayoritas bukan berasal dari Purworejo, termasuk 11 orang yang polisi tangkap.
Tuduhan Rizal dibantah oleh Muhammad Azim, warga Wadas yang ikut dalam barisan aksi penolakan tambang. “Warga cuma menahan agar mereka tidak masuk [Desa Wadas] dengan melakukan aksi damai. Kami tidak ada yang membayangkan bisa terjadi chaos dengan aparat karena yang ada dipikiran warga adalah hanya aksi damai dengan cara mujahadah,” kata Azim kepada reporter Tirto, Senin.
Namun yang terjadi di lapangan, aparat memaksa masuk meski agenda sosialisasi sudah dibatalkan.
Ia juga menyebut tudingan polisi mengenai aksi yang direncanakan dan adanya kelompok tertentu yang menunggangi adalah hal yang mengada-ada. “Itu mereka [polisi] membuat buat karena sebelum adanya jaringan masuk (mendukung warga), warga itu sudah menolak. Tahun 2016 warga sudah kompak menolak penambangan batu andesit di Desa Wadas,” katanya. “Untuk menghadapi aparat itu tidak mungkin karena tidak sebanding. Ketika kita adu fisik, tentu kita kalah.”
Ia juga tak habis pikir dengan tudingan provokator yang dialamatkan kepadanya. “Saat aksi, ketika mujahadah, aku berdiri lalu dituduh provokator. Polisi bilang 'itu provokator, tangkap' lalu aku dikejar. Padahal aku sendiri adalah orang desa asli.”
Meski mendapat perlakuan seperti itu dari polisi, Azim bilang warga tak akan surut untuk menolak tambang yang menurutnya akan merusak lingkungan.
“Meminta kepada Tuhan agar memberikan pertolongan kepada kami, yang benar-benar mempertahankan lingkungan, bukan semata karena uang,” katanya.
===========
Adendum:
Naskah ini mengalami perubahan pada Minggu, 2 Mei 2021 pukul 15.39 WIB. Kami menambahkan pernyataan Kapolres Purworejo AKBP Rizal Marito pada paragraf 21. Kapolres mengatakan komentarnya tidak terkait postingan anggota, tapi terkait tim yang diterjunkan dengan alat lengkap. Kami awalnya menafsirkan itu untuk mengomentari anggota karena juga menggunakan kata "perang" sebagaimana dipakai anggotanya.
Penulis: Irwan Syambudi & Mohammad Bernie
Editor: Rio Apinino