tirto.id - Badan Restorasi Gambut (BRG) mengumumkan hasil kinerjanya hingga akhir 2017 dalam proses restorasi jutaan hektar lahan gambut di tujuh provinsi.
Kepala BRG, Nazir Foead menjelaskan lembaganya sudah menginisiasi 75 desa peduli gambut sepanjang 2017. Total luas lahan gambut di desa-desa itu mencapai 1.180.446 hektar. Ribuan penghuni desa-desa itu juga sudah didorong menjadi garda dapan pemeliharaan ekosistem gambut.
Desa-desa itu tersebar di tujuh provinsi, yakni Riau (11 desa), Jambi (10 desa), Sumatera Selatan (15 desa), Kalimantan Barat (16 desa), Kalimantan Tengah (10 desa), Kalimantan Selatan (10 desa), dan Papua (3 desa).
“Restorasi tidak sekadar membasahi lahan gambut dan menanam kembali untuk memperbaiki ekosistem yang rusak, tapi juga memberdayakan masyarakat yang hidup di lahan gambut,” kata Nazir dalam siaran pernya yang diterima Tirto pada Kamis (28/12/2017).
Menurut Nazir, Rencana Strategis BRG 2016-2020 menegaskan bahwa perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut harus berkaitan dengan pencapaian manfaat ekonomi, sosial, dan ekologi.
Ia menambahkan BRG juga merevitalisasi mata pencaharian 101 kelompok masyarakat (Pokmas). BRG membina anggota Pokmas itu untuk membuka lahan tanpa membakar, mengembangkan komoditi lokal, memberikan pelatihan budi daya ikan air tawar, beternak dan budidaya lebah madu.
Nazir menilai tidak sulit mengedukasi masyarakat. Saat ini, setelah dua tahun BRG terbentuk, jumlah warga yang mengolah lahan gambut menggunakan api sudah relatif kecil. “Lewat revitalisasi mata pencaharian, telah tumbuh kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga ekosistem lahan gambut untuk masa depan anak cucu,” ujarnya.
Khusus untuk lahan terbasahi, sepanjang 2017, BRG membangun infrastruktur pembasahan berupa sumur bor, sekat kanal, dan penimbunan kanal, di enam provinsi, yakni Jambi, Riau, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan.
Total luas lahan terdampak pembasahan mencapai 103.476 hektar. Dari jumlah itu, lebih 60 persen, atau sekitar 62.126 hektar, berada di Kalimantan Tengah.
Data BRG menyimpulkan, sampai pertengahan Desember 2017, total luas lahan gambut yang telah mengalami restorasi mencapai 1,2 juta hektar. Jumlah ini belum termasuk 93 ribu hektar lahan gambut yang direstorasi mitra BRG di enam provinsi.
Capaian lainnya adalah penyusunan Rencana Restorasi Ekosistem Gambut (RREG) Nasional dan Propinsi dan Inventarisasi Pemetaan Ekosistem Gambut. Sasaran RREG adalah kawasan ekosistem gambut terdegradasi akibat kebakaran hutan dan lahan seluas dua juta hektar, dengan obyek yang menjadi fokus adalah kawasan hidrologis gambut (KHG).
Fokus lain BRG adalah Inventarisasi Pemetaan Ekosistem Gambut di delapan Kawasan Hidrologis Gambut. Kedelapannya ialah Sungai Lalan-Sungai Merang, Sungai Sugihan-Sungai Lumpur (Sumatera Selatan), Sungai Tapung Kiri-Sungai Kiyap (Riau), Sungai Ambawang-Sungai Kubu (Kalimantan Barat), Sungai Utar-Sungai Serapat (Kalimantan Tengah/Kalimantan Barat), Sungai Barito-Sungai Alalak dan Sungai Maluka-Sungai Martapura (Kalimantan Selatan).
Sebelumnya, BRG sudah memetakan ekosistem gambut di Kawasan Hidrologis Gambut Sungai Saleh-Sungai Sugihan, Sungai Cawang-Sungai Air Lalang (Sumatera Selatan), dan Sungai Kahayan-Sungai Sebangau (Kalimantan Tengah).
Data ekosistem gambut sangat penting karena bisa digunakan untuk mengidentifikasi dan mengintervensi restorasi yang diperlukan berdasarkan penyebab degradasi. Dengan menggunakan teknologi Light Detection and Ranging (LiDAR), pendataan ekosistem bisa sangat rinci, yakni mencakup data topografi, tutupan lahan, kondisi hidrologis, dan estimasi kandungan karbon.
Sampai November 2017, BRG juga sudah membuat titik pengamatan tinggi muka air lahan gambut yang dapat diakses secara real time. BRG menambah lagi 20 titik pengamatan sepanjang Desember 2017.
Titik pengamatan tinggi muka air lahan gambut terbanyak terdapat di Sumatera Selatan, yaitu 8. Sementara di Kalimantan Tengah, Riau dan Jambi, masing-masing tujuh. Sementara ini, baru ada satu titik pengamatan tinggi muka air lahan gambut di Kalimantan Barat.
Pemantauan tinggi muka air lahan gambut menjadi penting untuk mengidentifikasi potensi kebakaran lahan dan hutan. Pengeringan lahan gambut, atau lahan gambut yang kering, menjadi pemicu kebakaran hutan yang relatif telah menjadi penyakit berkelanjutan bagi Indonesia. Seperti kasus terakhir pada 2015 lalu, saat kebakaran lahan gambut telah menyesakkan napas jutaan penduduk, menimbulkan kerugian triliunan rupiah, dan menciptakan bencana asap regional.
Penulis: Addi M Idhom
Editor: Addi M Idhom