Menuju konten utama

Usaha Panjang Untuk Menjaga Sang Ibu Lautan

Lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa yang menangani lingkungan hidup, menyebut lebih dari 1.500 jenis tanaman & spesies binatang bergantung pada mangrove.

Usaha Panjang Untuk Menjaga Sang Ibu Lautan
Hutan mangrove di Desa Pasar Rawa, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. FOTO/ Tim dokumentasi M4CR

tirto.id - Beberapa tahun lalu ada sebuah video viral, menunjukkan bagaimana mangrove menjadi penahan ombak bagi daerah pesisir. Video ini memperlihatkan bagaimana ombak besar berhasil ditahan dan dipecah oleh rimbun mangrove. Hasilnya, di kawasan pesisir hanya tersisa air yang tenang.

Jika hutan hujan adalah ibu bumi, maka mangrove adalah ibu lautan.

Selayaknya ibu, mangrove memberi banyak manfaat bagi alam dan makhluk hidup di sekelilingnya. Sejatinya, menahan ombak dan mencegah abrasi hanya satu dari banyak manfaat mangrove. Selain menjadi satu-satunya spesies tanaman yang bisa tumbuh di air laut, mangrove juga bisa menjadi penyaring racun dan sedimen yang bisa membahayakan mahluk hidup.

Ini kenapa kawasan dengan ekosistem mangrove yang baik, akan menjadi habitat yang baik bagi mahluk hidup. United Nations Environment Program (UNEP), lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa yang menangani lingkungan hidup, menyebut lebih dari 1.500 jenis tanaman dan spesies binatang yang tergantung pada mangrove.

“Ini termasuk ikan dan burung-burungan yang biasa menggunakan perairan dangkal di bawah mangrove sebagai tempat merawat anak-anaknya. Riset terbaru juga mengatakan bahwa mangrove amatlah penting untuk mamalia yang berukuran lebih besar, seperti monyet, sloth, harimau, hyena, hingga anjing liar Afrika,” tulis mereka.

Dari jumlah itu, sekitar 15 persen spesies ini terancam punah. Yang juga menggiriskan adalah: lebih dari 50 persen mamalia yang hidup di sekitar hutan mangrove bisa punah jika habitat mereka hancur.

Selain itu, di tengah dunia yang menghadapi pemanasan global yang destruktif, mangrove bisa membantu memerangi ancaman ini. Tanaman ini memang dikenal sebagai penyimpan karbon agar tak langsung lepas menuju atmosfer. Diperkirakan, dalam satu hektare mangrove, mereka bisa menyerap 1.000 ton karbon. Dengan kata lain: mangrove menyerap karbon lima kali lebih banyak ketimbang hutan belantara.

Kementerian Sekretariat Negara pernah menyebut hutan mangrove ini punya potensi sebesar Rp2.400 triliun yang bisa didapat dari perdagangan karbon.

Bagi masyarakat pesisir, kehadiran hutan mangrove akan membawa banyak manfaat bagi mereka. Selain terlindungi dari ombak dan abrasi, mangrove memberikan habitat yang baik bagi para hewan yang jadi sumber makanan bagi manusia, mulai dari lebah hingga aneka jenis makhluk laut. Ini artinya, mulai dari ikan, kerang, hingga udang akan tumbuh dengan baik jika mangrove terawat dengan baik sehingga sumber protein bagi masyarakat pesisir pun bisa tercukupi.

“Menanam kembali dan menjaga hutan mangrove bisa menambahkan sekitar 60 triliun ikan dan invertebrata di kawasan pesisir setiap tahunnya,” tulis tim UNEP.

Ancaman Deforestasi dan Upaya Melawannya

Saat ini Indonesia merupakan negara dengan kawasan mangrove terbesar di dunia. Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup, ada sekitar 3,4 juta lahan mangrove di Indonesia. Ini setara dengan 20 persen dari seluruh mangrove di dunia, dan hutan mangrove Indonesia punya 40 dari 54 spesies mangrove sejati. Papua menjadi pulau dengan ekosistem mangrove terluas, mencapai 1,63 juta hektare, disusul Sumatera dengan luas 892,9 ribu hektare, dan Kalimantan dengan 630,9 ribu hektare.

Sayangnya, Indonesia menghadapi bahaya berupa deforestasi hutan mangrove yang nyaris tak terkontrol. Laporan Bank Dunia menyebut setiap tahun Indonesia kehilangan sekitar 13.000 hektare mangrove setiap tahun. Dan ini sudah berlangsung selama 20 tahun terakhir. Batang mangrove biasanya dipakai untuk bahan baku arang, atau pun untuk tiang penyokong bangunan.

“Para pembalak ini biasanya datang tengah malam, naik perahu. Kalau mereka ketahuan, kami bingung mengejarnya. Karena mereka naik perahu, kami cuma bisa lari,” kata Selamet.

Selamet adalah Kepala Desa Tanjung Rejo, sebuah desa yang terletak di Kecamatan Percut Sei, Deli Serdang, Sumatera Utara. Sejak 2006, ketika melihat hutan mangrove di kawasannya hilang dengan cepat dan diikuti menghilangnya spesies mahluk hidup di sekitarnya, Selamet aktif mengampanyekan pentingnya menjaga mangrove.

Ketika menjadi kepala desa, pria yang lahir di Tanjung Rejo dari keluarga transmigran ini mengadakan patroli rutin di kawasan mangrove, juga membuat Peraturan Desa untuk menjaga kawasan mangrove. Siapa yang tertangkap menebang satu pohon mangrove, harus mengganti 50 pohon mangrove.

Desa Tanjung Rejo merupakan salah satu kawasan yang menjadi lokasi restorasi mangrove oleh Mangrove for Coastal Resilience (M4CR). Ini adalah program upaya percepatan restorasi mangrove yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia. Selain itu, tujuannya adalah pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir.

Program ini adalah kerja bersama antara Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Kehutananan, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (yang akan dilakukan restrukturisasi, dan perannya akan diemban oleh Kementerian Koordinator Bidang Pangan Republik Indonesia), Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM), Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH), dan Bank Dunia dengan melibatkan sektor swasta dan organisasi kemasyarakatan.

Infografik M4CR 1

Infografik Memulihkan Mangrove, Melindungi Pesisir. tirto.id/Mojo

M4CR saat ini menargetkan empat provinsi untuk rehabilitasi dan konservasi mangrove, yakni Riau, Kalimantan Utara, Kalimantan Timur, dan Sumatera Utara. Khusus untuk Sumatera Utara, M4CR menargetkan rehabilitasi mangrove mencapai 6.078 hektare hingga 2027.

Menurut Hartono, Kepala BRGM, upaya melindungi mangrove ini berjalan beriringan dengan pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir sekaligus edukasi. Hal ini dikarenakan beberapa faktor penyebab pembalakan mangrove adalah kebutuhan ekonomi warga, selain kurangnya edukasi tentang pentingnya mangrove.

“Jadi program M4CR ini bertujuan melindungi wilayah pesisir dan memberdayakan masyarakat lokal agar mampu menjaga sekaligus memanfaatkan hutan mangrove secara berkelanjutan,” ujar Hartono.

“Kami juga berharap semakin banyak masyarakat Indonesia yang menyadari pentingnya menjaga ekosistem mangrove, baik sebagai pelindung alam maupun sumber penghidupan.”

Di Tanjung Rejo, seiring dengan hutan mangrove yang kembali tumbuh, berdatangan pula kehidupan lain. Burung imigran terbang dan tinggal di tengah hutan. Udang dan ikan-ikan, juga kepiting, pun bermunculan.

Warga pun mengelola sumber daya ini dengan baik. Ada yang mengurus peternakan kepiting. Ada juga yang menjadikan mangrove sebagai sirup. Beberapa lainnya membentuk kelompok batik, membuat batik cap dan tulis dari bahan akar mangrove.

Saat ini, ada sekitar 600 hektare hutan mangrove di Tanjung Rejo, dan perlahan akan terus bertambah seiring semakin gencarnya penanaman.

Kisah revitalisasi mangrove dan warga yang mendapat manfaat ini juga terjadi di Desa Pasar Rawa yang terletak di Kabupaten Langkat. Di sini, melalui Kelompok Tani Hutan Maju Bersama yang didirikan pada 2011 dan dipimpin oleh Kasto Wahyudi, mangrove menjadi sentral kehidupan.

Sempat mengalami pembalakan liar dan alih fungsi lahan menjadi kebun kelapa sawit, mangrove sekarang menjadi pusat ekonomi sekaligus daya tarik Desa Pasar Rawa. Lebih dari 13 tahun semenjak upaya revitalisasi dan penanaman kembali mangrove, kini manfaatnya sudah terlihat bagi warga Pasar Rawa.

Pada 2021, mereka mendapat anugerah Kalpataru dan membuat nama desa menjadi harum. Semakin lebatnya hutan mangrove membuat ekosistem berkembang dengan baik. Ikan dan biota laut semakin banyak. Desa Pasar Rawa kemudian menjadi tujuan wisata bahari, terutama bagi para pemancing.

Tak hanya itu, mereka punya harta karun tersembunyi: nipah. Jenis pohon mangrove yang masuk dalam keluarga palem ini memberikan segalanya buat alam. Batangnya bisa menghasilkan air yang jika disadap akan menjadi gula nipah. Buahnya pun bisa dibuat kolang-kaling. Daunnya menjadi atap bangunan.

“Kami dulu tidak sadar bahwa kami punya ratusan hektare harta karun. Itu tidak kami manfaatkan karena tidak tahu manfaatnya. Setelah mendapat pelatihan dari M4CR dan BRGM, baru kami sadar dan sekarang produk ini jadi andalan kami,” ujar Kasto.

Upaya-upaya yang dilakukan M4CR dan berbagai stakeholder lain, termasuk masyarakat pesisir lokal ini memang baru dimulai. Jalannya juga masih panjang dan jelas punya banyak tantangan. Namun ini adalah sebuah usaha penting sekaligus kritis dan harus sesegera mungkin dilakukan, mengingat bagaimana kita berpacu dengan kerusakan alam yang makin menggila, dan bertarung melawan pemanasan global.

Pada akhirnya, merestorasi dan menjaga hutan mangrove ini adalah sebuah upaya menjaga mangrove, Ibu Laut sang pemberi kehidupan.

(JEDA)

Penulis: Tim Media Servis