tirto.id - Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyebut pemerintah tidak dapat menyalurkan dana investasi kepada PT Garuda Indonesia dan PT Krakatau Steel sebagai bagian dari program pemulihan ekonomi nasional. Khusus untuk Garuda, pemerintah dinyatakan gagal menyalurkan bantuan sebesar Rp7,5 triliun.
“Sisa dana investasi pemerintah dalam rangka program pemulihan ekonomi nasional tahun 2020 dan 2021 kepada PT Garuda Indonesia sebesar Rp7,5 triliun tidak dapat disalurkan dan kepada PT Krakatau Steel sebesar Rp800 miliar berpotensi tidak dapat tersalurkan,” kata Ketua BPK, Isma Yatun di Istana Bogor, Jawa Barat, Kamis (23/6/2022).
Sebagai catatan, Garuda Indonesia tengah mengalami masalah pelik lantaran terlilit utang. Hal itu tidak terlepas dari dampak pandemi COVID-19. Garuda Indonesia tercatat terlilit utang hingga Rp142,41 triliun yang terungkap dalam sidang PKPU terhadap perusahaan penerbangan pelat merah itu.
Perusahaan yang kini dipimpin Irfan Setiaputra itu berhasil lolos status pailit setelah para kreditur sepakat melakukan restrukturisasi utang perusahaan yang mencapai miliaran dolar.
Isma mengatakan, BPK menyarankan agar dana investasi tersebut tidak jadi diberikan dan dikembalikan ke kas negara.
“Atas permasalahan ini, BPK merekomendasikan pemerintah antara lain agar melakukan pengembalian sisa dana investasi pemerintah dalam rangka pemulihan ekonomi nasional kepada PT Garuda Indonesia sebesar Rp7,5 triliun ke rekening kas umum negara," kata Isma.
Selain soal BUMN, BPK masih menemukan sejumlah temuan. Pertama, BPK mencatat ada angka pengolahan insentif dan fasilitas perpajakan tahun 2021 sebesar Rp15,31 triliun belum memadai sepenuhnya. BPK menyarankan agar pemerintah menguji kembali kebenaran pengajuan insentif dan fasilitas perpajakan yang telah dilakukan wajib pajak dan disetujui serta menagih kekurangan pembayaran pajak beserta sanksinya untuk pemberian insentif dan fasilitas yang tidak sesuai.
Kedua, BPK mencatat ada piutang pajak macet Rp20,84 triliun yang belum ditagih. Pada temuan ini, BPK merekomendasikan pemerintah antara lain agar melakukan inventarisasi atas piutang macet yang belum daluwarsa penagihan per 30 juni 2022 dan melakukan tindakan penagihan aktif sesuai ketentuan.
Kemudian, BPK juga menemukan ketidakselarasan regulasi, kejelasan skema pengelolaan dan penyajian laporan keuangan dalam proyek fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan atau FLPP. BPK mendorong agar pemerintah menetapkan kebijakan akuntansi penyajian, investasi jangka panjang non-permanen dalam pengelolaan dana FLPP pada BP Tapera selaku badan hukum pengelola.
BPK juga menemukan permasalahan belanja dana program Pengelolaan COVID dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PCPEN) di 80 kementerian/lembaga dengan nilai Rp12,25 triliun belum ada kesesuaian.
BPK merekomendasikan pemerintah antara lain agar memperbaiki mekanisme penganggaran, pelaksanaan dan pertanggungjawaban belanja untuk memitigasi risiko ketidakpatuhan dalam proses ketidakcapaian output dan ketidaktepatan sasaran dalam pelaksanaan belanja.
Selain itu, BPK menemukan permasalahan dalam pengelolaan catatan laporan keuangan atas program pensiun. BPK mendorong agar ada tim khusus yang mengatur penyelesaian standar akuntansi soal imbalan kerja serta aturan masa transisi dengan perubahan ketentuan terkait.
“BPK merekomendasikan pemerintah antara lain agar menetapkan mekanisme pemantauan dan penatausahaan atas putusan hukum inkrah yang dapat menimbulkan hak dan kewajiban atau pelepasan aset pemerintah sebagai dasar pelaporan keuangan pemerintah pusat," kata Isma.
BPK juga menemukan masalah pengelolaan dana bantuan operasional sekolah 2021 hingga Rp1,25 triliun.
“Sisa bantuan dana sekolah atau BOS reguler tahun 2020 dan 2021 minimal sebesar Rp1,25T belum dapat disajikan sebagai piutang transfer ke daerah atau TKD. Atas permasalahan ini, BPK merekomendasikan pemerintah antara lain agar melakukan inventarisasi dan rekonsiliasi atas sisa dana BOS reguler tahun 2020 dan 2021," kata Isma.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz