Menuju konten utama

Bolehkah Kurban dengan Uang Hasil Utang dan Apa Hukumnya?

Berkurban hukumnya sunah muakadah, ibadah yang amat dianjurkan mendekati wajib. Lalu, bolehkah kurban dengan uang hutang?

Bolehkah Kurban dengan Uang Hasil Utang dan Apa Hukumnya?
Pegang membawa sapi untuk dijual di Pasar Hewan Jelok, Cepogo, Boyolali, Jawa Tengah, Jumat (14/6/2024). Menurut pedagang menjelang Idul Adha 2024, harga penjualan sapi pedaging untuk kebutuhan kurban naik kisaran Rp1 juta hingga Rp2 juta per ekor tergantung jenis dan kualitasnya. ANTARA FOTO/Aloysius Jarot Nugroho/foc.

tirto.id - Secara etimologis, kata kurban berasal dari bahasa Arab, yakni dari akar kata qaraba-yaqrabu-qurban-qurbanan, yang berarti mendekat atau menjadi dekat. Sementara itu, Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad al-Khusaini menerangkan, secara istilah, kurban merujuk pada tindakan menyembelih hewan sebagai bentuk ibadah kepada Allah pada hari raya Iduladha dan tiga hari setelahnya, yang dikenal sebagai hari tasyrik.

Dalam buku Panduan Lengkap Fiqh Kurban: Konsep dan Implementasi (2022) terbitan Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Jawa Tengah dijelaskan, penyembelihan hewan kurban harus dilakukan pada waktu yang telah ditentukan.

Jika penyembelihan dilakukan di luar waktu tersebut, hewan tersebut tidak dianggap sebagai kurban, melainkan sembelihan biasa. Dagingnya juga dibagikan sebagai sedekah biasa.

Pada dasarnya, ibadah kurban harus mengikuti ketentuan tertentu, mulai dari waktu penyembelihan, cara pelaksanaannya, hingga syarat-syarat hewan kurban. Lantas, apakah boleh berkurban dengan menggunakan uang hasil berutang?

Bolehkah Berkurban dengan Berutang?

Masih merujuk pada buku Panduan Lengkap Fiqh Kurban: Konsep dan Implementasi (2022), ibadah kurban pada dasarnya bersifat sunah muakadah, sangat dianjurkan untuk dilakukan bagi setiap muslim balig, berakal, dan mampu. Orang yang dianggap mampu adalah mereka yang berkelebihan harta untuk memenuhi kebutuhan diri dan tanggungannya pada hari Iduladha dan hari Tasyrik.

Selain itu, kewajiban berkurban bersifat sunah ainiyyah bagi individu yang tidak berkeluarga dan sunah kifayah bagi yang berkeluarga. Meskipun begitu, setiap anggota keluarga yang mampu tetap dianjurkan untuk berkurban. Semakin banyak yang berkurban, semakin baik.

Muhammad Hanif Rahman dalam artikel “Hukum Berutang untuk membeli Hewan Kurban” (2023) di NU Online menuturkan, hukum asal kurban yang tidak wajib tersebut tertuang dalam hadis yang diriwayatkan Imam Baihaqi dan lainnya dengan sanad Hasan.

أَنَّ أَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ كَانَا لَا يُضَحِّيَانِ مَخَافَةَ أَنْ تَرَى النَّاسُ ذَلِكَ وَاجِبًا

Artinya, "Sesungguhnya Abu Bakar dan Umar keduanya dulu pernah tidak berkurban karena khawatir orang-orang menganggapnya sebagai sebuah kewajiban." (HR: Al-Baihaqi).

Lalu, apakah hewan kurban hasil berhutang dihukumi sah? Berdasarkan hadis di atas, jika seseorang tidak memiliki cukup harta untuk membeli hewan kurban, daripada berutang untuk membelinya, sebaiknya ia tidak berkurban.

Hukum hutang untuk beli hewan kurban dijelaskan dalam Fatawa Darul Ifta' Yordan yang diterbitkan pada 11 November 2013 dengan nomor fatwa 2856. Di dalamnya dijelaskan, lebih baik tidak berkurban daripada berutang untuk membeli hewan kurban.

فمن كان لا يملك ثمنها زائداً عن نفقته ونفقة عياله فليس بمستطيع، والأفضل ألا يستدين للأضحية؛ لأنه يحمل نفسه فوق طاقتها، ويخشى عليه العجز عن سداد الدين بالموت أو غيره

Artinya: "Barangsiapa tidak memiliki harta senilai harga hewan kurban dan masih sisa untuk menafkahi diri dan keluarganya maka ia bukanlah orang yang mampu. Yang lebih utama baginya adalah tidak berutang untuk berkurban. Karena dengan demikian ia telah membawa dirinya pada keadaan yang melampaui kemampuannya. Dan dikhawatirkan ia tidak mampu untuk melunasinya sebab mati atau yang lainnya."

Hal serupa juga dijelaskan oleh Syaikh Ibn Utsaimin yang menyatakan bahwa hukum utang untuk beli hewan kurban tidaklah dianjurkan. Dikutip dari Rumah Fiqih Indonesia, sebagian ulama menyarankan untuk mendahulukan pelunasan utang daripada berkurban yang hukumnya sunah. Dalam hal ini, Syaikh Ibn Utsaimin menyatakan:

“Jika orang punya hutang maka selayaknya mendahulukan pelunasan hutangnya daripada berqurban.”

Akan tetapi, hukum kurban dengan uang pinjaman atau utang juga ada yang memperbolehkannya, salah satunya dinyatakan oleh Imam Abu Hatim sebagaimana dinukil oleh Ibn Katsir dari Suyfan At Tsauri rahimahullah.

“Dulu Abu Hatim pernah berhutang untuk membeli unta qurban. Beliau ditanya: 'Apakah kamu berhutang untuk membeli unta qurban?' Beliau jawab: 'Saya mendengar Allah berfirman:

لَكُمْ فِيهَا خَيْر

'Kamu memperoleh kebaikan yang banyak padanya [unta-unta qurban tersebut].'" (QS. Al Hajj: 36)

Berdasarkan pandangan terakhir di atas, jika berutang untuk berkurban tidak menyulitkan dalam hal pembayaran kembali dan tidak melibatkan riba, pada dasarnya hal tersebut diperbolehkan.

Hukum Berkurban dengan Kredit dan Uang Riba

Selain kasus kurban dengan utang, ada pula orang yang berkurban dengan kredit. Lantas, bolehkah kurban kredit?

Membeli hewan kurban dengan cicilan atau kredit diperbolehkan. Namun, kurban dengan kredit sebaiknya dihindari karena berpotensi mengandung unsur riba, kecuali transaksi tersebut jelas bebas dari riba. Beberapa hal penting yang perlu diperhatikan saat berkurban dengan kredit, antara lain:

1. Kemampuan finansial

Orang yang berkurban harus benar-benar mampu dan tidak memaksakan diri untuk berutang demi menunaikan ibadah ini. Islam tidak menganjurkan berkurban bagi orang yang tidak mampu.

2. Kepemilikan hewan

Pelunasan pembayaran hewan kurban dengan kartu kredit atau cicilan harus diselesaikan sebelum waktu penyembelihan, agar hewan tersebut sepenuhnya menjadi milik orang yang berkurban.

Walaupun diperbolehkan, membeli hewan kurban dengan uang tunai lebih diutamakan karena menghindari risiko riba dan penipuan. Jika transaksi melibatkan riba qardi (riba utang) karena adanya tambahan yang dibebankan, hukumnya haram. Dengan demikian, jelas bahwa berkurban dengan uang riba hukumnya haram.

Baca juga artikel terkait IDUL ADHA 2024 atau tulisan lainnya dari Umi Zuhriyah

tirto.id - Pendidikan
Kontributor: Umi Zuhriyah
Penulis: Umi Zuhriyah
Editor: Fadli Nasrudin