tirto.id - Pemerintah telah meminta Facebook melakukan audit forensik digital untuk mengetahui akun mana saja yang informasinya bocor dan digunakan tanpa izin pemilikinya. Ketentuan itu tertuang dalam pasal 28 (c) Peraturan Menteri Kominfo Nomor 20 Tahun 2016 tentang perlindungan data pribadi dalam sistem elektronik.
“Di aturan kami, masyarakat yang datanya dipakai mempunyai hak untuk mendapatkan penjelasan dipakai untuk apa data itu. Dan Anda punya hak untuk meminta data itu dihapus dan data Anda diubah," ujar Staf ahli bidang hukum Kementerian Komunikasi dan Informatika Hendri Subiakto.
Hendri Subiakto mengatakan Facebook merekam situs apa saja yang dikunjungi pengguna, merekam durasi kunjungan itu, dan mencatat segala apa yang diklik penggunanya di internet. Ini pula yang berlaku saat seseorang menggunakan Google Maps, Twitter, Gojek, serta beragam aplikasi online lainnya.
Data-data itulah yang menurut Hendri dijual untuk kepentingan politik maupun pemasaran.
"Masalahnya, masyarakat kita ini terlalu sukarela kesukaannya diketahui, orientasinya politiknya diketahui oleh Facebook dan Google, itu mereka tetap merasa find-find saja," kata Hendri dalam diskusi bertajuk "Maling Data Facebook" di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (7/4/2018).
Direktur Indonesia Media Watch, Agus Sudibyo, mengapresiasi sikap Menteri Kominfo Rudiantara yang telah memanggil perwakilan Facebook dan memberi sanksi administratif. Namun, ia menilai bahwa tindakan itu belum lah cukup.
Ia menyarankan pemerintahan harus melakukan langkah-langkah lebih strategis yakni membahas kembali rancangan Undang-undang Perlindungan Data Pribadi yang sampai kini masih tersendat di DPR. Sebab, Undang-undang nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) hanya menyasar pihak ketiga yang menggunakan data-data itu untuk kepentingan jahat.
Walhasil, Facebook dapat mengelak dan lepas dari jerat hukum karena pencurian data dilakukan oleh pihak ketiga. "Jadi penggunaaan data (secara Ilegal) itu bukan kesalahan Facebook," ujarnya.
Padahal, kebocoran data jutaan pengguna Facebook di seluruh dunia seperti dalam skandal Cambridge Analytica, bermula dari kesepakatan yang disetujui perusahaan tersebut. Facebook mengizinkan aplikasi yang dikembangkan Global Science Research, milik peneliti Aleksander Kogan, mengumpulkan ribuan data pengguna dengan kedok riset akademis.
Namun aplikasi itu ternyata mengambil data jutaan pengguna berdasarkan pertemanan di Facebook. Data itulah yang lantas dijual secara ilegal pada Cambridge Analytica dan digunakan untuk menyebarkan isu, kabar palsu, dan hoax untuk mempengaruhi emosi dan pilihan politik warga pada Pemilu Presiden Amerika serikat.
Sahkan UU perlindungan Data Elektronik atau Keluarkan Perppu
Cambridge Analytica merupakan cabang perusahaan yang berinduk pada Strategic Communication Laboratories Group (SCL Group), kontraktor yang kerap menggarap proyek pemerintah maupun militer seperti penelitian keamanan hingga operasi pemberantasan narkoba. SCL Group berdiri 25 tahun silam, tepatnya 1993.
Jika payung hukum itu tak segera disahkan, menurut Agus, kasus serupa berpotensi terjadi di Indonesia dan mempengaruhi pemilihan presiden di 2019.
"Ada kemungkinan dan potensi SCL juga akan bermain di Pilpres 2019. Saya tidak tahu apakah ada transaksi antara SCL dengan elit politik di sini, tapi kalau dilihat dari track record yang diberitakan SCL pernah menjadi konsultan Gus Dur, kemungkinan di 2019 mereka bermain juga itu ada," ujar Agus.
Chairman Communication and Information System Security Research Center (CISSReC) Pratama D. Persadha mengatakan, hingga saat ini posisi tawar pemerintah dengan Facebook sangat kecil untuk meminta perusahan tersebut menghormati privasi pengguna di Indonesia.
Apalagi Indonesia belum memiliki undang-undang tentang perlindungan data pribadi dalam sistem dan transaksi elektronik. Beberapa aturan yang bisa dipakai, kata dia, hanya tertuang dalam Peraturan Menteri Kominfo Nomor 20 Tahun 2016 serta Undang-undang nomor 11 tahun 2018 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Karena itulah, ia pesimistis pemerintah bisa memberikan sanksi tegas berupa pemidanaan dan pemblokiran.
"Undang-undang perlindungan privasi harus ada, kita juga bisa tuntut Facebook atas berita hoax di medianya, pemerintah kita mau enggak lakukan itu?" tuturnya.
Jika Undang-undang itu tak bisa segera diselesaikan, ia berharap presiden dapat mengeluarkan Peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu).
"Langkah-langkah ini harus diambil, supaya bargaining position pemerintah lebih kuat. Bayangkan sekarang aja pemerintah enggak bisa terlibat dalam investigasi atau audit forensik digital yang dilakukan Facebook," katanya. "Siapa yang jamin kalau Facebook benar-benar lakukan itu? Kalau tidak bagaimana?"
Penulis: Hendra Friana
Editor: Jay Akbar