tirto.id - Rabu (29/4/2020) pekan lalu, Ketua Badan Anggaran DPR RI Said Abdullah mengusulkan agar Bank Indonesia (BI) mencetak uang Rp400-Rp600 triliun. Menurut politikus asal PDIP ini, cetak uang adalah cara tercepat menyediakan dana segar di tengah terbatasnya uang negara untuk pembiayaan penanggulangan dampak COVID-19.
Uang itu bisa dipakai untuk membeli surat utang pemerintah atau surat utang perbankan dan korporasi. Dengan begitu, pemerintah tidak usah repot menerbitkan global bond atau surat utang ke luar negeri.
Dalam ilmu ekonomi, inflasi akan terjadi saat semakin banyak uang beredar di masyarakat dibanding yang dibutuhkan. Said bukannya tidak memperhitungkan ini. Menurutnya, dengan mencetak uang Rp600 triliun akan terjadi inflasi sekitar 5 sampai 6 persen--besaran yang dinilainya "tidak banyak".
"Masak Rp600 triliun tiba-tiba inflasi akan naik 60-70 persen? Dari mana hitungannya?" katanya.
"Saya merekomendasikan yield (surat utang)pada kisaran 2-2,5 persen. Melalui kebijakan ini, pemerintah akan memiliki beban bunga yang lebih rendah. Peningkatan inflasi dapat dimitigasi dengan berbagai instrumen pengendalian yang wewenangnya dimiliki Bank Indonesia, misalnya melalui BI Rate dan kewenangan penetapan Giro Wajib Minimum (GWM)," katanya menambahkan.
Beberapa hari kemudian, BI merespons negatif. Mereka menolak mentah-mentah usul DPR ini.
"Cetak uang untuk menangani COVID-19 itu barangkali bukan praktik yang lazim di bank sentral dan juga tidak dilakukan oleh BI," kata Gubernur BI Perry Warjiyo, Rabu (6/5/2020), dikutip dari Antara.
Hiperinflasi dan Masalah Lain
Keputusan BI yang menolak usul DPR dapat dimengerti karena ada banyak masalah yang mungkin muncul dari pencetakan uang besar-besaran.
Ekonom dari Bank Permata Josua Pardede mengatakan di banyak negara, kebijakan ini "lebih banyak gagal daripada berhasil". "Ada puluhan negara yang mengalami hiperinflasi. Kebanyakan negara-negara di Eropa Timur, Amerika Selatan, Afrika," jelas Josua kepada reporter Tirto, Senin (11/5/2020).
Ia memberi contoh bagaimana Zimbabwe mengalami hiperinflasi setelah mengambil kebijakan ini. Jika di Indonesia pecahan tertinggi hanya 100 ribu, dolar Zimbabwe bisa mencapai 100 triliun. Lahirnya pecahan mata uang dengan jumlah nominal yang sangat tinggi itu dilatarbelakangi oleh krisis ekonomi akut. Pada 2008, harga barang-barang naik dua kali lipat dalam 24 jam di negeri yang puluhan tahun dipimpin oleh Robert Mugabe itu. Pada tahun yang sama, inflasi bulanan mencapai 7,9 miliar persen.
Dolar Zimbabwe nyaris tak bernilai. Masyarakat membawa berkarung-karung uang saat berbelanja Pada Maret 2008. Harga sosis meroket hingga 30 juta dolar Zimbabwe dan 15 kilogram kentang dihargai 90 juta dolar Zimbabwe.
Josua menduga mungkin DPR mengambil referensi dari bank sentral AS, The Federal Reserve. Kebijakan cetak uang lebih dilakukan The Fed untuk membantu para pengusaha, terutama UMKM. Masalahnya, situasi Amerika dan Indonesia tak sama. Jika AS mencetak uang, mereka tidak akan mengalami hiperinflasi karena dolar merupakan komoditas ekspor. "Dia itu anchor currency (mata uang utama). Jadi ekspor utama AS itu ya dolar, laku di mana-mana," katanya.
Senada dengan Josua, ekonom dari Institute For Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira mengatakan posisi rupiah di sistem keuangan global tidak kuat karena memang permintaannya rendah dan kontribusinya terhadap peredaran uang global hanya sekitar satu persen. Ia juga menegaskan akan sangat mungkin terjadi inflasi.
"Karena terjadi inflasi tinggi kemudian pencetakan uang tidak diimbangi dengan permintaan yang rill, saya takutkan akan terjadi depresiasi nilai tukar yang cukup dalam. Jadi akan melemahkan nilai tukar rupiah. Itu justru akan blunder pada daya beli masyarakat lagi," katanya kepada reporter Tirto.
Banyaknya uang yang dicetak juga tidak menjamin bisa menalangi defisit APBN yang saat ini banyak digunakan untuk stimulus ekonomi. "Sekarang banyak insentif fiskal untuk korporasi. Belum tentu menjamin misalnya tidak ada PHK dan uangnya disimpan di Indonesia," katanya.
Ekonom dari Universitas Indonesia Fithra Faisal mengatakan di satu sisi kebutuhan dana segar saat ini memang sangat nyata dan mendesak, juga valid. Misalnya "untuk perluasan jaring pengaman sosial dan subsidi industri." Hanya saja cara yang ditawarkan DPR terlalu vulgar dan berbahaya.
Mengingat lesunya konsumsi saat ini tidak bisa tidak karena penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), maka yang dapat dilakukan BI adalah mengeluarkan kebijakan sistem keuangan yang memungkinkan beragam kegiatan ekonomi dapat dilakukan tanpa perlu tatap muka.
Fithra menambahkan, yang BI lakukan saat ini, misalnya membeli surat berharga dari pasar dengan dana cadangan, sudah ada di rel yang tepat.
"Quantitative Easing ini menggunakan reserve (cadangan), bukan printing money, bukan dengan menciptakan uang kertas giral baru," katanya menegaskan.
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Rio Apinino