tirto.id - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tetap bersikukuh tidak akan mengizinkan tersangka pemberian kesaksian palsu kasus dugaan korupsi e-KTP, Miryam S. Haryani hadir dalam rapat Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket KPK. Sementara itu, Polri juga akan menolak permintaan Pansus untuk menjemput paksa Miryam bila KPK tetap tidak memberi izin hingga 3 kali pemanggilan.
Menyikapi dua institusi yang tidak mendukung pemanggilan Miryam oleh Pansus, anggota Pansus Hak Angket KPK, Mukhamad Misbakhun mengusulkan agar DPR mempertimbangkan untuk tak membahas anggaran Polri dan KPK tahun anggaran 2018. Ia beralasan kedua institusi tersebut dinilai tidak mau menjalankan UU No. 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3).
Sontak usulan tersebut menuai kritik, salah satunya dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi). Peneliti Formappi, Lucius Karus menilai bahwa wacana DPR yang ingin memboikot anggaran KPK dan Polri memperlihatkan arogansi DPR, sekaligus sikap tidak bijak politisi senayan dalam menyelesaikan sebuah permasalahan.
“Sikap intimidasi DPR tersebut semakin menelanjangi maksud terselubung DPR membentuk Pansus Angket untuk KPK,” kata Lucius Karus kepada Tirto, Kamis (22/6/2017).
Menurut Lucius, ancaman DPR untuk tidak membahas anggaran bagi KPK dan Polri menjadi sebuah ironi untuk lembaga yang menyandang predikat sebagai wakil rakyat. Lucius mengatakan, jika DPR berpikir lebih jauh, maka ancaman tersebut sesungguhnya menggambarkan ketidakpedulian mereka pada pelayanan publik yang merupakan tanggung jawab KPK dan Polri.
“Publik yang harus dilayani kedua lembaga tersebut adalah mereka yang memiliki mandat yang diberikan kepada anggota DPR melalui Pemilu,” ujarnya.
Wewenang Membintangi Anggaran
Dalam UU MD3, DPR memang mempunyai fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan yang dijalankan dalam kerangka representasi rakyat. Namun, peneliti Indonesian Corruption Watch (ICW), Donal Faris menyatakan DPR sudah tidak berwenang membintangi atau menunda anggaran dalam APBN.
“Kewenangan DPR membintangi anggaran sudah dibatalkan MK,” kata Donal saat dihubungi Tirto, Kamis (22/6/2017).
Pada 2014, Mahkamah Konstitusi (MK) memang telah memangkas kewenangan Badan Anggaran DPR. Saat itu, MK membatalkan kewenangan Banggar DPR membahas mata anggaran secara teknis bersama pemerintah melalui uji materi sejumlah Pasal UU No. 27 Tahun 2009 tentang MD3, UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, yang dimohonkan koalisi LSM.
Majelis MK beralasan, kewenangan Banggar DPR membahas kegiatan dan jenis belanja masing kementerian/lembaga pemerintah dinilai melampaui kewenangan. Sebab, secara teknis hal itu merupakan kewenangan pemerintah. Meski begitu, Banggar DPR masih tetap diberi kewenangan membahas dan menyetujui RUU APBN menjadi UU APBN bersama pemerintah. Donal juga menyebut bahwa ancaman DPR tersebut karena panik karena ada anggota mereka yang terjerat kasus korupsi e-KTP. Menurut Donal, ancaman tersebut sebagai bentuk penyalahgunaan wewenang yang luar biasa.
“Cara-cara ini lazimnya dilakukan oleh orang yang panik karena KPK menangani kasus e-KTP," katanya.
Donal pun menyebut bahwa DPR sedang mencoba mengadu domba dua lembaga penegak hukum di Indonesia, yakni KPK dan Polri. “Ini strategi mengadu domba KPK dengan kepolisian. Cara ini dilakukan untuk mengintimidasi kepolisian agar mengikuti keinginan pansus," katanya.
Ia mengapresiasi sikap Polri yang tetap enggan menuruti kemauan Pansus Hak Angket DPR untuk menjemput paksa Miryam S. Haryani. Menurut dia, langkah Kapolri yang tak merespons keinginan pansus sudah tepat dan ia mengapresiasi sikap Kapolri yang tidak mau mengikuti keinginan pansus Hak Angket KPK.
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Abdul Aziz