Menuju konten utama

KPK Tolak Datangkan Miryam di Rapat Pansus Hak Angket DPR

KPK sudah pasti menolak keinginan DPR yang meminta mendatangkan Miryam S Haryani dalam rapat Pansus Hak Angket DPR. Alasan KPK, Miryam masih menjalani proses hukum.

KPK Tolak Datangkan Miryam di Rapat Pansus Hak Angket DPR
Ketua Pansus panitia Angket KPK Agun Gunandjar (kiri) didampingi Wakil Ketua Dossy Iskandar Prasetyo (kedua kiri) mendengarkan paparan anggota pansus saat Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Pansus tentang panitia angket terhadap pelaksanaan tugas dan kewenangan KPK di kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (19/6). ANTARA FOTO/M Agung Rajasa

tirto.id - KPK menolak keinginan DPR untuk mendatangkan Miryam S Haryani dalam rapat Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket.

Juru Bicara KPK, Febri Diansyah, menyampaikan alasan penolakan KPK karena mantan anggota komisi II DPR itu kini masih harus menjalani proses hukum terkait statusnya sebagai tersangka memberikan keterangan palsu dalam sidang e-KTP.

"KPK tidak bisa memberikan kehadiran Miryam S Haryani karena masih dalam proses penahanan di KPK dan sedang dalam proses hukum juga di penyidikan dan akan segera dilimpahkan ke pengadilan," kata Febri Diansyah di Jakarta, Selasa (20/6/2017).

Keinginan DPR untuk mendatangkan Miryam ini mencuat pada Senin (19/6) kemarin. Wakil Ketua Pansus Dossy Iskandar dalam rapat kemarin mengagendakan pemanggilan dengan melayangkan surat pemanggilan kedua kepada Miryam.

Menurut Febri, keinginan DPR itu melanggar UU No 30 tahun 2002 tentang Tindak Pidana Korupsi. Dalam undang-undang itu, kata Febri, KPK sebagai lembaga yang independen sehingga tidak bisa dipengaruhi kekuasaan manapun.

“Pengaruh dari kekuasaan manapun terkait dengan penanganan perkara tidak dapat dilakukan karena kalau kita menengok kasus penanganan perkara itu adalah bagian turunan dari kewenangan di konstitusi yang diatur terkait badan badan kehakiman dan kita harus mematuhi hal tersebut," jelas Febri.

Penjelasan ketidakhadiran Miryam itu menurut Febri sudah tertuang dalam surat resmi pimpinan KPK yang ditujukan kepada pimpinan pansus DPR. Kata Febri pula, surat yang diterima KPK dari DPR, tidak dicantumkan adanya keputusan DPR tentang pembentukan Pansus Angket.

“Yang ada adalah surat permintaan untuk menghadirkan Miryam. Jadi kami belum merasa cukup jelas dengan Pansus Angket DPR tersebut," tegas Febri.

Menurut dia, bila Pansus ingin agar Miryam hadir dalam rapat Pansus Hak Angket, KPK berharap ada berkas atau informasi dari DPR terkait keberadaan keberadaan panitia khusus tersebut.

"Karena seharusnya menurut UU MD3 dan juga tatib di DPR, Pansus Angket dipilih melalui keputusan DPR yang disampaikan di berita negara dan disampaikan ke Presiden," ungkap Febri.

Sikap Polri

Sementara itu, Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian juga menolak permintaan DPR untuk meminta bantuan Polri guna menghadirkan Miryam ke rapat pansus tidak bisa dipenuhi.

"Kami sudah mengkaji di internal soal permintaan kepada Polri untuk menghadirkan orang yang dipanggil DPR, meski UU MD3 memberi kewenangan pada DPR untuk meminta bantuan polisi untuk hadirkan paksa orang yang dipanggil, namun persoalannya kami lihat hukum acara dalam UU itu tidak jelas," ujar Tito.

Menurut Tito, di KUHAP, menghadirkan paksa sama dengan melakukan perintah membawa atau penangkapan. Penangkapan dan penahanan dilakukan pro justicia untuk peradilan sehingga terjadi kerancuan hukum.

“Polri tidak bisa melakukan itu karena ada hambatan hukum, hukum acara tidak jelas. Upaya paksa kepolisian selalu dalam koridor pro justicia," kata Tito lebih lanjut.

Tujuh fraksi di DPR mengirimkan anggotanya dalam Pansus Hak Angket KPK yaitu Fraksi PDI Perjuangan, Golkar, Hanura, PPP, Gerindra, PAN dan Fraksi Nasdem.

Usulan Hak Angket ini mencuat saat KPK melakukan Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi III pada Rabu (19/4) dini hari. Saat itu KPK menolak untuk membuka rekaman pemeriksaan Miryam S Haryani di DPR.

Hal ini dilatarbelakangi saat sidang dugaan korupsi e-KTP pada 30 Maret 2017. Saat itu penyidik KPK Novel Baswedan, berdasar keterangan Miryam, menyampaikan anggota komisi II itu ditekan oleh sejumlah anggota Komisi III. Kepada Novel, Miryam mengaku bahwa anggota Komisi III meminta untuk tidak mengakui fakta-fakta menerima dan membagikan uang dalam penganggaran e-KTP.

Seperti dikutip Antara, beberapa nama yang disebut Novel sesuai keterangan Mityam antara lain Ketua Komisi III dari fraksi Golkar Bambang Soesatyo, Wakil Ketua Komisi III dari fraksi Gerindra Desmond Junaidi Mahesa, anggota Komisi III dari Fraksi Partai Hanura, Sarifuddin Suding, anggota Komisi III dari Fraksi PDI-Perjuangan Masinton Pasaribu dan satu orang lagi yang Novel lupa namanya.

Baca juga artikel terkait HAK ANGKET DPR atau tulisan lainnya dari Agung DH

tirto.id - Hukum
Reporter: Agung DH
Penulis: Agung DH
Editor: Agung DH