tirto.id - Hari-hari ini, linimasa Facebook saya penuh dengan kampanye. Karena kebanyakan kawan saya adalah pendukung Jokowi-Amin, maka kampanye yang selalu saya lihat adalah kampanye paslon 01.
Di linimasa itu pula, Prabowo-Sandi menjadi sansak. Segala macam kritik dilontarkan padanya. Tidak ada hal yang bagus tentang Prabowo-Sandi.
Jika dari sekitar seribuan teman saya itu 10 persennya adalah pendukung aktif Jokowi-Amin, bisa dibayangkan banyaknya kampanye yang harus saya telan setiap hari. Satu orang bisa posting lebih dari sekali dalam sehari. Bahkan, ada teman yang mengunggah kampanye hampir tiap jam!
Pendukung Prabowo hanyalah minoritas di antara teman-teman Facebook saya. Mereka bukan saja minoritas, tapi sudah menjadi semacam kelas pariah. Untuk itu, mereka tahu diri. Mereka tidak berbunyi jika calon pilihannya dikritik dan dicemooh.
Bagaimana dengan Jokowi? Seperti yang saya bilang, laman Facebook saya adalah wilayahnya Jokowi. Di sana, segala sesuatu tentang Jokowi selalu yang baik-baik saja. Saya terisolasi dari segala macam kritik, cercaan, atau bahkan makian terhadap Jokowi.
Semua pengetahuan saya tentang kampanye Pilpres berasal dari kawan-kawan pendukung Jokowi itu. Jadi, saya tahu kapan saatnya bersorak untuk Jokowi dan kapan saatnya mencemooh Prabowo.
Walaupun demikian, saya mengerti betapa toxic atau beracun proses politik dalam Pilpres 2019. Rasa-rasanya belum pernah saya mengalami pemilu di Indonesia dengan tingkat fanatisme dan kebencian terhadap lawan politik seperti ini.
Politik pilpres telah memecah belah kita hingga ke tingkat terdalam. Saya menyaksikan bagaimana perkawanan dan persahabatan menjadi runtuh karena politik. Bahkan hubungan keluarga pun menjadi retak.
Yang paling menyedihkan adalah tidak ada ruang untuk menjadi netral. Ketika kita tidak masuk ke satu kubu, dengan segera kita dianggap berada di kubu sebelah.
Keadaan seperti ini membuat saya berpikir: apakah ini akan berakhir sesudah pilpres? Saya ragu. Bahkan saya merasa ini hanyalah permulaan dari pertarungan lebih besar.
Cebong vs. Kampret
Selama beberapa tahun terakhir ini, politik kita terbelah menjadi dua kubu: Cebong dan Kampret. Istilah ini berkembang sedemikian rupa karena pemakaiannya yang meluas di media sosial.
Pendukung Jokowi mendapat julukan cebong, sementara pendukung Prabowo mendapat gelar kampret.
Keduanya memiliki makna peyoratif atau merendahkan. Pendukung Jokowi mendapat julukan Cebong karena pada awalnya presiden Jokowi terlihat berfoto dengan kodok-kodok di istana Bogor.
Asal-usul julukan kampret untuk pendukung Prabowo dan oposisi lebih sulit untuk dilacak. Ada yang mengatakan istilah itu muncul karena kampret tidur terbalik, kaki di atas dan kepala di bawah. Ejekan ini menghubungkan pendukung Prabowo dengan “Bani Bumi Datar” yang anti ilmu pengetahuan, kaum yang meletakkan kepalanya di bawah.
Apa pun arti julukan dan cemooh ini, yang jelas keduanya membuat jarak antara dua pendukung calon presiden ini. Perdebatan seputar pemilihan presiden berkisar antara soal remeh-temeh ini.
Perbedaan antara cebong dan kampret bukanlah perbedaan ideologis. Keduanya tidak memiliki platform yang berbeda. Sepertinya cebong dan kampret hanyalah personifikasi dari dua tokoh yang pendekatannya terhadap politik tidak terlalu banyak berbeda.
Baik Jokowi dan Prabowo sama-sama setuju ekonomi pasar. Mereka juga tidak punya banyak perbedaan dalam hal pemberian subsidi untuk rakyat kebanyakan. Mereka sama-sama menginginkan Indonesia kuat secara militer.
Namun, keduanya berlomba-lomba untuk tampil paling agamis. Kita tahu kubu Prabowo didukung oleh Islam garis keras. Sementara kubu Jokowi juga berusaha kelihatan lebih Islami. Seperti yang pernah saya tulis di media ini, keduanya berlomba-lomba bergerak ke kanan.
Jika demikian halnya, mengapa oposisi kedua kubu menjadi sangat keras?
Politik Ketakutan dan Demonisasi
Saya kira, salah satu kunci untuk mengertinya adalah lewat penggunaan ketakutan (fear mongering) sebagai politik. Ia adalah tindakan yang meminta publik untuk takut dan waspada terhadap sesuatu yang dianggap akan mengancam kehidupannya.
Ketakutan yang disebarkan ini adalah ketakutan eksistensial. Yang dibidik adalah kemungkinan kemusnahan seseorang dan golongannya. Seringkali kita dengar ujaran seperti ini: “Jika pihak sana berkuasa, kita akan dihabisi.”
Fear mongering membuat orang berpikir dan bertindak dalam bingkai ‘zero sum game.’ Jika pihak mereka menang, kita akan musnah. Jika kita menang, mereka harus kita musnahkan.
Politik ketakutan ini selalu diikuti dengan demonisasi. Ini adalah cara untuk mendefinisikan lawan sebagai kaum yang sangat berbahaya sehingga mengancam eksistensi sebuah komunitas. Lawan adalah setan yang tidak memiliki sedikit pun sisi baik.
Saya sering bertanya kepada pendukung kedua capres, apa sisi baik kubu lawannya? Saya mendapati hampir mustahil bagi para pendukung satu capres melihat kebaikan lawannya. Kedua belah pihak dalam kampanye pilpres melakukan fear mongering dan demonisasi.
Seperti apakah eksploitasi ketakutan dan demonisasi ini?
Pendukung Prabowo Subianto pernah tertangkap ketika berkampanye door to door dan menyebutkan jika Jokowi berkuasa, pelantunan azan akan dilarang, anak-anak tidak boleh mengaji, perzinaan akan dilegalkan, pemakaian jilbab akan dilarang, serta perempuan dan perempuan atau lelaki dan lelaki boleh kawin. Diduga, kejadian seperti ini bukan sesuatu yang terjadi sekali. Ia adalah fenomena yang tersebar luas.
Kubu Jokowi juga melakukan hal yang kurang lebih sama. Jenderal (Purn.) A.M. Hendropriyono, salah seorang penasihat yang sangat berpengaruh terhadap presiden, mendefinisikan pilpres ini sebagai pertarungan antara "Khilafah dan Pancasila."
You Are With Us or Against Us
Penggunaan ketakutan dan demonisasi membuat pendukung kedua belah pihak mengental. Mereka menjadi lebih rekat dengan sesama pendukung sehingga tampak seperti menjadi satu suku (tribe) tersendiri.
Kondisi seperti ini tidak mengizinkan orang menjadi netral. Kedua belah pihak berusaha menarik mereka yang berada di tengah untuk berada di pihaknya. Tidak ada ruang untuk para peragu. You are with us or against us.
Tidak itu saja. Ketakutan yang eksistensial ini membuat mereka yang berada di tengah ikut merapat ke salah satu kubu. Dalam Pilpres 2019, kita melihat golongan-golongan minoritas rentan berbondong-bondong ke salah satu paslon bukan karena paslon tersebut memperjuangkan kepentingan mereka, tetapi karena ketakutan: bila ‘pihak sebelah’ berkuasa, maka mereka akan dihabisi.
Beberapa survei memperlihatkan antara 80-90 persen penganut Kristen (Protestan dan Katolik) merapat ke kubu Jokowi-Amin. Hal ini terjadi sekalipun Jokowi selama masa pemerintahannya tidak pernah bersuara atau menunjukkan sikap jika ada golongan minoritas ini ditimpa masalah. Komunitas-komunitas rentan lainnya terpaksa bergabung dengan Jokowi-Amin karena ketakutan mereka akan Khilafah.
Sementara itu, kubu Prabowo-Sandi sendiri berusaha untuk tidak mengedepankan mereka pro-Khilafah. Mereka mengaku pro-Pancasila. Namun, tidak dapat diingkari bahwa di kalangan pendukung Prabowo-Sandi juga ada anggapan yang sangat kuat bahwa hanya di bawah Prabowo-Sandi, Islam akan mendapat tempat. Kubu Jokowi-Amin adalah kaum yang akan mengenyahkan mereka jika berkuasa.
Selesai Sesudah Pilpres?
Pandangan miopik atau picik terhadap politik agaknya akan berlangsung lama. Ia tidak akan hilang bahkan jika pilpres ini selesai.
Konsekuensi terbesar dari pembelahan ini adalah siapa pun yang berkuasa akan dipandang tidak absah oleh kubu lawannya. Maka, kita tidak terlalu heran jika ada kubu yang belum apa-apa sudah menyatakan bahwa pemilu ini penuh dengan kecurangan.
Kubu yang kalah tidak akan memiliki kepercayaan terhadap siapa pun yang memerintah. Cobalah tanyakan kepada pendukung Jokowi, apakah mereka bisa membayangkan jika diperintah oleh Presiden Prabowo Subianto?
Luka-luka yang ditimbulkan oleh politik ketakutan dan demonisasi ini akan sangat sulit disembuhkan.
Mulai sekarang, agaknya kita harus bersiap-siap untuk memiliki pemerintahan partisan, pemerintahan yang tidak dipercaya oleh oposisi, tetapi dibela mati-matian oleh pendukungnya. Hal itu sangat tidak baik untuk bangsa ini.
*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.