tirto.id - Pekerjaan utama Tri Rismaharini adalah Wali Kota Surabaya. Tapi kita bisa mengenalinya dalam tugas lain: pengatur lalu lintas, pembersih jalanan, hingga polisi moral. Sering kali, alih-alih mendelegasikan tugas, Risma lebih memilih turun langsung ke lapangan menjalankan tugas yang sebenarnya bisa dijalankan bawahannya.
Risma merupakan salah satu kepala daerah yang menjadi daya tarik karena gaya kepemimpinannya. Tidak lama menjabat Wali Kota Surabaya, Risma diwawancarai oleh BBC setelah ia memutuskan untuk menaikkan pajak reklame dan menentang pembangunan jalan tol tengah kota. Penolakan itu menuai protes dari anggota DPRD Surabaya dan Risma terancam dimakzulkan. Risma tidak peduli. Kebijakan itu, paling tidak bagi Risma, semata-mata dilakukan demi rakyat.
“Sekian puluh tahun saya jadi birokrat, saya pegang prinsip itu. Nah, kemudian kalau saya menjabat wali kota ini paling lama lima tahun, apakah saya harus mengubah sikap, saya kira nggak," kata Risma.
Tapi kemudian bukan hanya lima tahun ia menjabat wali kota. Kepopulerannya di Surabaya berhasil mengantarkan perempuan kelahiran 1961 itu sebagai wali kota untuk kali kedua saat Pilkada 2016. Perolehan suaranya juga tidak main-main: 86,5 persen. Dia melibas habis pasangan Rasiyo-Lucy Kurniasari yang hanya memperoleh suara 13,5 persen.
Selama menjabat, citra Risma ibarat fusi Joko Widodo dan Basuki Tjahaja Purnama (BTP). Selain sering menemui masyarakat secara tatap muka, Risma juga terkenal sebagai pemimpin yang gemar memarahi orang-orang di depan umum.
Salah satu yang masih terekam jelas di media adalah ketika acara pemecahan rekor MURI bagi-bagi es krim terbanyak yang diselenggarakan di Taman Bungkul pada 2014. Risma membubarkan acara tersebut karena pembagian es krim gratis itu menyebabkan tanaman rusak terinjak-injak peserta.
Kemarahan Risma juga meluap ketika melakukan inspeksi mendadak pelayanan KTP elektronik atau e-KTP pada 2016. Risma geram karena pelayanan birokrasi justru tidak memudahkan masyarakat mendapatkan KTP.
Pada 2017 Risma juga memarahi bawahannya ketika apel pagi. Seperti seorang kepala sekolah yang mengomeli muridnya, Risma menyuruh seorang ASN yang bersenda gurau untuk berhenti tertawa. Risma kemudian berlari kecil menuju barisan, memanggil ASN yang dimaksud, dan menyuruhnya berdiri di belakang Risma yang sedang memberi arahan sebagai sanksi sosial.
Drama Risma ini tidak hanya terjadi di lingkungan Pemerintah Kota Surabaya, tapi juga melibatkan masyarakat di jalanan.
Misalnya pada 2014 ketika dia mengatur lalu lintas di sekitar Kebun Binatang Surabaya. Kemudian pada 2018 Risma tampil lebih heboh. Tangan kanannya menggenggam alat komunikasi, sedangkan tangan kirinya memegang toa pengeras suara meneriaki pengguna jalan.
Aksi ini bertahan hingga tahun-tahun berikutnya. Pada tahun 2019, Risma mengatur lalu lintas di simpang Jalan Darmo, Surabaya. Meski kakinya sakit dan terkadang harus duduk di kursi roda, Risma tetap memantau jalan raya. Termasuk ketika hujan turun, Risma mengenakan jas hujan dan bersiaga di lokasi. Di awal tahun 2020, setelah hujan lebat, Risma juga turun ke jalan untuk mengatur lalu lintas. Sekali lagi, dia menunjukkan konsistensinya mengatur lalu lintas di tengah guyuran hujan.
Risma juga hadir di tengah masyarakat ketika demonstrasi menolak omnibus law pada Oktober dan November 2020. Kendati sudah ada petugas Dinas Kebersihan Surabaya, Risma hadir di lokasi demo untuk memungut sampah yang ditinggalkan demonstran. Kali ini Risma mengenakan helm untuk menjaga keamanan. Tidak lupa, Risma memarahi pendemo yang diduga merusak fasilitas umum. Alasan kemarahan Risma, seperti biasanya, adalah karena rakyat merugi.
“Kamu tega sekali, aku bangun kota ini setengah mati, tahu? Sampai tanganku patah, kenapa kamu hancurin, tega sekali kamu," ucap Risma seperti dilansir CNN.
Sekarang, ketika menjabat Menteri Sosial, Risma tampak sulit menghilangkan kebiasaannya. Baru sehari dilantik, Risma blusukan ke kolong jembatan hingga Balai Rehabilitasi Sosial Eks Gelandangan dan Pengemis Pangudi Luhur di Bekasi, Jawa Barat.
Pada awal 2021, tepatnya tanggal 4 Januari, Risma kembali menelusuri jalanan menemui tunawisma di daerah Sudirman-Thamrin. Kepada beberapa tunawisma, Risma menawarkan tempat penampungan sementara. Tindakan Risma ini disebarkan kepada media melalui keterangan tertulis dari Kementerian Sosial.
Blusukan seperti ini dulu sering dilakukan Jokowi saat mencalonkan diri sebagai Gubernur Jakarta maupun Presiden RI. Dengan gaya bertatap muka dengan rakyat kelas menengah ke bawah, Jokowi berhasil memenangi Pilkada Jakarta 2012 dan Pilpres 2014.
Masihkah Populer?
Gaya blusukan Jokowi berdampak besar bagi elektabilitasnya. Pada pemilihan Wali Kota Solo untuk periode keduanya, Jokowi berhasil memperoleh 92 persen dari suara yang terdaftar.
Gaya itu terus dipertahankan hingga Pilkada Jakarta 2012. Jokowi menjadi bintang media dan selalu muncul di pelbagai surat kabar maupun televisi. Seketika, namanya melonjak menjadi pesaing tokoh-tokoh nasional.
Ketika naik menjadi calon presiden, Jokowi bersama Jusuf Kalla punya janji banyak sekali yang disederhanakan menjadi 9 poin Nawa Cita. Salah satu jabarannya adalah menyelesaikan kejahatan hak asasi manusia (HAM) di masa lalu. Menurut Komnas HAM, ada 12 kejahatan HAM berat yang belum tuntas. Pada pemerintahan Jokowi, angka itu justru bertambah 1.
Tidak ada satu pun dari 12+1 kasus tersebut berhasil dituntaskan Jokowi. Aktivis HAM yang dulu berderet di belakang Jokowi kini mulai menyadari bahwa orang yang mencitrakan diri “merakyat” bagaimanapun adalah politikus. Jokowi dianggap tidak bisa dan tidak berniat menyelesaikan pelanggaran HAM berat yang sudah membusuk sampai sekarang.
“Tragedi HAM hanya jadi barang jualan politik untuk mendulang suara,” kata Maria Catarina Sumarsih, salah satu ibu korban Kerusuhan Mei 1998, seperti dilansir The Atlantic.
Di kalangan aktivis dan akademisi, pencitraan model Jokowi ini mungkin sudah melempem. Elektabilitas Risma sendiri sebagai capres 2024, menurut Polmatrix Indonesia, hanya sebesar 3,3 persen. Namun bukan berarti tidak bisa menjadi modal untuk memenangi pemilu. Risma baru sekitar dua bulan di Jakarta.
Beberapa pengamat politik memprediksi Risma bisa dipersiapkan PDIP untuk menduduki kursi DKI-1 jika Pilkada Jakarta diselenggarakan tahun 2022 mendatang. Dari sana, Risma punya kemungkinan lain untuk merangsek sebagai calon presiden.
Tapi tentunya hal ini tidak mudah. Bukan cuma elektabilitas, Risma punya dua tantangan besar lain.
Pertama, rawannya problem gender dalam pilpres di Indonesia. Sejauh ini, Indonesia belum pernah meloloskan presiden perempuan dari hasil pemilihan langsung. Megawati sebagai presiden perempuan pertama Indonesia mewarisi kursi tersebut dari Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Pada Pilpres 2004, dia maju lagi sebagai capres, lalu keok melawan Susilo Bambang Yudhoyono.
Kedua, restu Megawati. Selama Risma masih berdiam di PDIP dan Megawati berkuasa, dia tidak bisa menjadi capres tanpa persetujuan Megawati.
Peneliti asal Australia, Marcus Mietzner, dalam Reinventing Asian Populism: Jokowi's Rise, Democracy, and Political Contestation in Indonesia (2015, PDF), mencatat bahwa sulit jika Jokowi harus membuat partai baru untuk bisa maju sebagai calon presiden. Butuh waktu yang tidak sebentar, seperti Susilo Bambang Yudhoyono dan Prabowo Subianto untuk bisa sukses mendirikan partai.
Jokowi kemudian berkali-kali menjalin kedekatan dengan Megawati. Selain sering menggunakan seragam partai, Jokowi juga mencium tangan Megawati dan kian gemar mengutip Sukarno dalam pidatonya. Menurut Mietzner, “PDIP tampaknya dalam proses mendapatkan Jokowi daripada sebaliknya.”
Selain blusukan dan ngomel-ngomel, teknik Jokowi yang disebutkan Mietzner barangkali akan direplikasi Risma jika ia serius ingin jadi capres. Masih ada tiga tahun lagi menuju 2024.
Editor: Ivan Aulia Ahsan