tirto.id - Terdakwa dugaan merintangi penyidikan kasus korupsi e-KTP, Bimanesh Sutarjo menyesal dengan kebijakan Direksi Rumah Sakit Medika Permata Hijau. Bimanesh menilai, pihak rumah sakit seolah lepas tangan dalam kasus perawatan Setya Novanto. Bahkan, semua kesalahan itu dilimpahkan kepada dirinya.
"Segala kesalahan yang terjadi semenjak rumah sakit melayani permintaan pemesanan kamar oleh Fredrich Yunadi, penyiapan tenaga perawat khusus, masuknya Setya Novanto tanpa melewati prosedur yang seharusnya, dilimpahkan kepada saya," kata Bimanesh saat membacakan pleidoi di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jakarta, Jumat (6/7/2018).
Padahal, kata Bimaneh, banyak hal yang sudah ia lakukan sejak mengabdi lebih dari 13 tahun di RS Medika Permata Hijau itu. Mulai dari membangun unit cuci darah (Hemodialisis) yang kapasitas awalnya hanya 2 mesin, kini menjadi 10 mesin dengan kemampuan melayani 100 pasien gagal ginjal terminal.
Selain itu, pria yang juga dokter ahli hipertensi ini juga berusaha melayani pasien sesuai pedoman standar pelayanan penyakit dalam yang diterbitkan Perhimpunan Ahli Penyakit Dalam Indonesia/PAPDI.
Bimanesh mengatakan, segala pelimpahan kesalahan kasus Setya Novanto kepada dirinya itu ia ketahui saat melihat berita acara pemeriksaan. Ia menjelaskan, sebelum Setya Novanto masuk rumah sakit, jajaran manajemen sudah mengetahui bahwa yang bersangkutan adalah buron, hal itu sesuai kesaksian dan BAP para dokter, perawat dan manajemen.
Namun, kata Bimanesh, pihak rumah sakit tidak melakukan kewajiban untuk melaporkan hal itu kepada pihak berwajib (KPK). Padahal, menurut keterangan Ahli, Prof. Budi Sampurna yang dihadirkan oleh JPU dan Ahli M. Luthfie Hakim, SH., M.H, yang dihadirkan penasehat hukum terdakwa, yang wajib melaporkan adalah pihak rumah sakit, bukan dokter.
Oleh karena itu, Bimanesh membantah sejumlah keterangan yang ditujukan kepada dirinya, seperti pertemuan dengan dr Michael selaku dokter IGD di RS Medika Permata Hijau, memerintahkan perawat Indri untuk menempel infus serta berusaha mengambil alih penanganan Novanto. Ia pun bersumpah tidak melakukan hal tersebut.
"Demi Allah saya bersumpah bahwa apa yang saya sampaikan di atas adalah benar. Jika saya berdusta maka laknat Allah Subhanahu Wa Ta’ala atas diri saya dan jika saya benar maka mereka yang memfitnah saya dan tidak bertobat akan dilaknat oleh Allah di dunia dan di akhirat," tegas Bimanesh.
Jaksa penuntut umum KPK menuntut terdakwa merintangi penyidikan e-KTP, Bimanesh Sutarjo selama 6 tahun penjara dan denda sebesar Rp300 juta subsider 3 bulan, Kamis (28/6/2018). Bimanesh dinilai terbukti secara sah dan meyakinkan merintangi penyidikan korupsi e-KTP Setya Novanto.
Jaksa menilai, Bimanesh membantu Fredrich Yunadi untuk menghalangi penyidikan kasus korupsi e-KTP. Ia menolong Fredrich untuk mengondisikan perawatan Setya Novanto, yang kala itu tersangka korupsi e-KTP, di RS Medika Permata Hijau.
Bimanesh juga membantu Fredrich dengan menyiapkan perawatan lewat bantuan Plt Manajer Medik RS Medika Permata Hijau dr Alia. Ia menghubungi dr Alia dan mengatakan Novanto akan dirawat di RS Permata Hijau dengan alasan penyakit berat. Padahal, Bimanesh belum pernah memeriksa Novanto.
Selain itu, Bimanesh juga melakukan penanganan medis tanpa melewati dokter IGD dan tidak dalam jam dinas. Bimanesh langsung membawa Novanto untuk diperiksa di ruang rawat inap VIP lantai 3.
Ia pun membuat surat pengantar rawat inap dengan menuliskan diagnosis hipertensi, vertigo, dan diabetes mellitus sekaligus catatan hasil pemeriksaan awal. Padahal, Bimanesh belum mendapat surat rujukan dari RS Premier Jatinegara yang pernah merawat Novanto. Ia pun memerintahkan Indri Astuti, perawat RS Medika, untuk memerban dan memasang infus kepada mantan Ketua DPR itu.
Bimanesh juga dianggap merintangi penyidikan lantaran memasang pengumuman sedang dirawat intensif. Pengumuman tersebut ditandatangani Bimanesh sehingga KPK tidak bisa meminta keterangan Novanto.
Bimanesh pun tidak bisa dihubungi oleh KPK sehingga penyidik tidak bisa mendapatkan informasi kondisi kesehatan Novanto. Jaksa menilai Bimanesh melanggar pasal 21 UU no 31 tahun 1999 sebagaimana diubah UU no 20 tahun 2001 jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHPidana.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Alexander Haryanto