tirto.id - Mereka yang menolak pengesahan Undang-undang Cipta Kerja dengan beragam cara, termasuk demonstrasi, mengalami situasi kontraproduktif semenjak pembakaran delapan halte TransJakarta dan perusakan 10 lainnya, Oktober dua tahun lalu. Setidaknya 20 orang ditangkap polisi berdasarkan hasil penelusuran rekaman closed-circuit television (CCTV).
Kebanyakan berstatus pelajar. Seandainya mereka polisi, bisa jadi nasibnya akan lain.
Setidaknya dalam beberapa bulan terakhir sudah ada dua kasus anggota Polri merusak kamera pengawas–atau diduga melakukan demikian–untuk menutupi kejahatan mereka sendiri. Pertama tentu kasus Ferdy Sambo. Dari belasan anggota yang terlibat, ada yang bertugas mengambil; memindahkan data dan merusak; dan yang mengeluarkan perintah–salah satunya adalah Sambo sendiri.
Kedua dalam kasus Kanjuruhan. Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) menemukan rangkaian kendaraan Barakuda milik Brimob–yang ditumpangi pemain Persebaya–awalnya dapat terlihat melalui kamera CCTV di lobi utama dan area parkir, tetapi kemudian mendadak hilang.
“Rekaman CCTV tersebut mulai dari pukul 22:21:30 dapat terekam dengan durasi selama 1 jam 21 menit, dan selanjutnya rekaman hilang (dihapus) selama 3 jam 21 menit 54 detik, kemudian muncul kembali rekaman selama 15 menit,” catat dokumen TGIPF.
Manajemen Arema sebelumnya hendak mengunduh hasil rekaman kamera pengawas di Kanjuruhan, tapi dilarang oleh Polri. TGIPF menduga polisi memang mau mengganti rekaman CCTV dengan yang baru.
Temuan TGIPF soal hilangnya rekaman CCTV pada menit spesifik sejauh ini tidak keluar dari mulut polisi. Kadiv Humas Mabes Polri Irjen Dedi Prasetyo hanya mengaku “seluruh rekaman CCTV yang ada sudah dilakukan analisa dan pendalaman.” Total yang diperiksa adalah 34 rekaman, 32 di dalam dan sisanya di luar–yang tidak lengkap itu.
Jika Polri tak mau mengaku, selama itu pula kekerasan di Kanjuruhan, yang mengakibatkan 133 orang meninggal, tidak bisa ditelaah dengan lengkap.
Menyamarkan atau bahkan menghilangkan barang bukti rekaman sebenarnya bukan hal baru bagi polisi. Mereka sudah ahli melakukan itu.
Dalam demonstrasi di Gedung Bawaslu Mei 2019 dan aksi Reformasi Dikorupsi September 2019, dokumentasi wartawan-lah yang menjadi target. Gawai milik wartawan Tirto dirampas dan gambar di dalamnya–yang berisi kekerasan polisi–dihapus. Pada September, giliran gawai milik wartawan Narasi TV yang direbut dan dibanting sampai rusak.
Belum lagi pelanggaran-pelanggaran lain, yang juga bukan masalah baru. Sepanjang tahun pasti ada saja aduan soal kekerasan atau sesederhana pungutan liar atau suap saat razia.
Wajar jika kemudian jargon reformasi Polri dipertanyakan. Termasuk pula Kompolnas yang tidak lain ditugaskan sebagai pengawas kepolisian. Mereka justru dikritik karena dianggap membeo pernyataan resmi Polri dalam kasus pembunuhan oleh Sambo.
Memperbaiki institusi ini ringkasnya bak menegakkan benang basah. Karena itu pula inovasi memasang kamera badan (body-worn camera) juga sulit diharapkan efektif.
Efektifkah Kamera Badan?
Kompolnas mengusulkan pemasangan kamera badan (body-worn camera) untuk anggota Polri pada tahun lalu. Diharapkan kamera itu dapat mengawasi kinerja polisi agar tidak bertindak arogan, termasuk melakukan kekerasan terhadap masyarakat, atau memungut pungli.
Polda Metro Jaya didorong untuk jadi contoh sejak awal tahun ini. Rencananya kamera dipasang mulai dari polisi lalu lintas, reserse, lalu Brimob.
Hampir 10 bulan berselang, Polda Metro Jaya belum juga merealisasikan itu. Mereka baru bergerak setelah kebrutalan di Kanjuruhan awal bulan ini disorot masyarakat. Pada 11 Oktober, Polda Metro Jaya akhirnya membuka tender pengadaan kamera badan. Harga perkiraan sendiri (HPS) mencapai Rp16,1 miliar dan sejauh ini ada 7 peserta tender.
Di negara lain seperti Amerika Serikat, kamera badan sudah jadi barang yang lumrah. Tahun 2013, Departemen Kehakiman AS mencatat sepertiga polisi diperkirakan sudah menggunakan kamera badan, bahkan di kendaraan dan senjatanya.
Meski relatif banyak, karena kasus tahun 2014, muncul desakan agar polisi memperbanyak kamera badan. Pada tahun itu seorang pencuri bernama Michael Brown ditembak sampai mati. Menurut kesaksian Dorian Johnson yang menyertai Brown saat kejadian, polisi tetap menembak meski Brown sudah mengangkat tangan menandakan menyerah.
Sebanyak 12 peluru diletuskan dari pistol Darren Wilson, polisi asal Ferguson, Missouri. Enam timah panas bersarang di bagian depan tubuhnya. Hasil autopsi menyimpulkan Brown mungkin selamat pada lima tembakan pertama. Tembakan terakhir, yang bersarang di kepala, membuat Brown tewas seketika.
Unjuk rasa pun menguar di Ferguson.
Dampaknya, pada statistik 2016, Departemen Kehakiman menemukan 50 persen polisi di AS sudah menggunakan kamera badan. Biro Data Statistik Departemen Kehakiman AS (BJS) mencatat kamera ditujukan guna meredam kritik dari masyarakat, menjaga keamanan petugas, dan menambah kuat barang bukti kejahatan. Selain itu tentu kamera ini bisa menjadi pengawas kekerasan yang dilakukan polisi–terutama karena masalah rasial.
“Banyak departemen kepolisian membeli kamera sehingga mereka tidak menjadi Ferguson berikutnya,” kata Michael White, profesor di sekolah kriminologi Universitas Negara Bagian Arizona, dilansir PBS.
Tapi, apakah banyaknya kamera badan berbanding lurus dengan perbaikan institusi?
Awalnya kamera badan dianggap berhasil. The University of Chicago Crime Lab, dalam riset berjudul Body-Worn Cameras in Policing: Benefits and Costs (2021), menyimpulkan pemakaian kamera badan “dapat menekan kekerasan oleh polisi hampir 10% dan protes pada penegakan hukum lebih dari 15%.”
Namun penelitian ini terindikasi bias sampel. Selain itu beragam riset lain yang menyatakan sebaliknya.
Tahun 2017, sebuah penelitian yang dilakukan secara acak kepada 2.000 polisi di ibu kota AS, Washington DC, menemukan bahwa tidak ada dampak signifikan pada angka kekerasan yang dilakukan polisi atau pun penangkapan sewenang-wenang. Artinya, kamera badan tidak meredam penyalahgunaan kekuasaan.
“Penelitian kami mendorong untuk mengkaji ulang ekspektasi kita pada penggunaan BWC (body-worn camera). Aparat penegak hukum tidak perlu juga punya harapan lebih pada menurunnya jumlah keluhan masyarakat atau berubahnya perilaku polisi dari adanya teknologi ini,” catat David Yokum, dkk. dalam penelitian berjudul Evaluating the Effects of Police Body-Worn Cameras: A Randomized Controlled Trial (2017).
Laporan Linda Merola, dkk. dari Universitas George Mason pada tahun 2016 malah menemukan kecenderungan yang lebih parah, yaitu kamera badan yang digunakan polisi justru merugikan sipil. Bukannya kebrutalan polisi yang disorot, kamera justru jadi senjata jaksa untuk menuntut warga.
Dari 1.005 kantor hukum yang jadi responden survei, ditemukan bahwa sebanyak 92,6% kasus melibatkan kamera badan untuk memenjarakan warga sipil. Hanya 8,3% yang digunakan untuk menghukum polisi.
Dampak buruk lain penggunaan kamera badan masih banyak. Misalnya tentang privasi–karena polisi bisa semena-mena merekam apa pun. Belum lagi terkadang kamera badan, sama seperti CCTV, bisa dirusak atau hilang datanya. Tidak jelas juga apakah data tersebut bisa diakses publik dengan bebas atau tidak–memungkinkan petugas memilah rekaman yang hanya menguntungkan mereka.
Ini ditambah runyam dengan sistem pengadilan AS yang bergantung pada keputusan juri.
Pada tahun 2017, Ray Tensing, polisi dari Universitas Cincinnati, memberhentikan warga kulit hitam bernama Samuel DuBose karena pelat depan mobilnya tidak terpasang. DuBose memang menolak mengeluarkan lisensinya dan memilih memutar kunci kontak demi melarikan diri.
Tanpa peringatan lagi, Tensing menembakkan satu peluru yang langsung bersarang di kepala DuBose. Dia tewas seketika.
Peristiwa mengerikan ini terekam di kamera badan. Dalam video itu jelas terlihat tidak ada serangan yang membahayakan dari DuBose.
Tapi pengadilan membebaskan Tensing. Sebabnya tak lain karena di dua pengadilan sebelumnya, tahun 2016 dan 2017, juri tidak mencapai kata sepakat. Dalam dua persidangan itu, jumlah juri keturunan Afrika-Amerika lebih sedikit.
Terlepas dari hasilnya yang tidak signifikan untuk menjaga rasa aman masyarakat, kamera badan cukup baik untuk menginformasikan tentang situasi yang sesungguhnya terjadi. Kasus George Floyd yang meninggal di tangan polisi tahun 2020 jadi contohnya. Lamanya polisi menindak pelaku akhirnya membuat gerakan anti-rasial merebak di berbagai daerah.
Jika polisi Indonesia terus saja melakukan perusakan kamera, termasuk nantinya kamera badan, maka semua semakin sia-sia. Jangankan reformasi Polri, fakta kejadian pun tidak akan masyarakat ketahui. Yang paling sial, untuk tiap kamera badan, masyarakatlah yang harus membayarnya. Tentu dengan pajak yang mereka setor dan dialokasikan oleh negara setiap tahun lewat APBN.
Editor: Rio Apinino