tirto.id - Jalan kaki adalah jalan hidup para penulis. Pujangga kenamaan Inggris abad 18, William Wordsworth dikabarkan telah berjalan kaki hingga 290 ribu kilometer dalam hidupnya, atau dengan rata-rata 104 kilometer sehari yang dia mulai sejak usia lima tahun. Info ini didapat dari esais yang hidup sejaman, Thomas De Quincey.
Sewaktu mengerjakan A Christmas Carol, Dickens bisa berjalan 48 kilometer menyusuri jalan-jalan tikus London, mengotak-atik plot dalam benaknya saat kota itu terlelap. Novel Bunda – bacaan wajib kaum sosialis tidak akan lahir jika Gorky yang kere itu tidak berjalan kaki menyusuri seluruh penjuru Rusia. Hemingway, Woolf, Joyce dan tokoh-tokoh di awal abad 19-an lain mendapat ide dengan berjalan.
Di era yang lebih modern, The Alkemis milik Coelho juga terinspirasi saat dia jalan kaki menyusuri Amerika Utara, Amerika Selatan juga Eropa selama dua tahun pada dekade 70-80an.Tidak hanya sastrawan, musisi pun mendapat ide dengan berjalan. Contohnya karya Beethoven, 6th Symphony yang terpengaruh dengan nuansa hutan.
Terpisah jarak 2000 tahun dengan orang-orang hebat tadi, ternyata budaya berjalan sudah dilakukan Orang Yunani kuno. Mereka adalah pejalan sekaligus pemikir yang hebat dan lebih suka berfalsafah selagi dalam perjalanan.
Jangan lupakan Sekolah Peripatetik, akademi mashyur, nenek moyang universitas modern ini menerapkan sistem diskusi sambil berjalan pada. Prinsip – prinsip sains, politik, retorika dan lain – lain dibagikan Aristoteles kepada murid-muridnya di manapun, tidak terpusat di Lyceum semata.
Keterikatan Sekolah Peripatetik ini yang membuat para jalan kaki juga sering disebut sebagai jalan para filsuf. Ide-ide brilian mereka didapat saat berjalan kaki. Arthur Rimbaud berjalan saat dia sedang marah, sama seperti Immanuel Kant yang menjadikan berjalan kaki sebagai pelarian diri pemaksaan pikiran.
Sementara Gérard de Nerval berjalan sambil mengoceh untuk menyembuhkan melankolisnya. Jean-Jacques Rousseau berjalan untuk berfikir, sedang Nietzsche berjalan menyusuri gunung mencari ide menulis.
Bagi beberapa tokoh, jalan kaki itu tidak mesti keluar rumah atau berkeliling seluruh penjuru kota. Mark Twain juga banyak berjalan walaupun gerak jalannya itu hanya mondar-mandir di dalam rumah. Dia berjalan selagi bekerja, seperti diingat putrinya. "Kadang-kadang saat mendiktekan, ayah berjalan mondar-mandir... lalu sepertinya ada jiwa baru yang terbang memasuki ruangan,"
Begitupun dengan Charles Darwin. Dia memiliki jalan kerikil dipasang di sekeliling rumahnya. Dia akan mengelilingi trek itu saat sedang memikirkan masalah. Dia akan berhenti saat solusi sudah ditemukan.
Kebiasaan orang-orang hebat ini yang memunculkan anggapan bahwa saat mengerjakan tugas yang membutuhkan imajinasi, berjalan kaki lebih bisa membantu orang berpikir kreatif dibandingkan hanya duduk saja. Dan secara ilmiah hal ini betul-betul terbukti.
Pada 2014, para peneliti mulai menyelidiki secara ilmiah hubungan antara berjalan dan kreativitas. Dalam studi yang dilakukan psikolog Stanford University, Matily Opezzo dan Daniel Schwartz itu mereka membagi partisipan menjadi dua kelompok: yang berjalan dan duduk.
Mereka kemudian menjalankan sesuatu bernama tes Guilford Alternative Uses. Partisipan mengusulkan penggunaan alternatif untuk kasus sehari-hari dan memunculkan analogi orisinal untuk menangkap ide-ide rumit.
Tes ini dirancang untuk mengukur "pemikiran divergen", komponen penting dalam kreativitas. Pemikiran divergen adalah saat kita memiliki solusi multipel dan tak terduga. Pemikiran divergen berlangsung spontan dan mengalir bebas.
Sebaliknya, pemikiran konvergen lebih linear dan memerlukan penyempitan, bukannya perluasan dari pilihan-pilihan kita. Pemikiran konvergen berusaha menemukan satu jawaban benar terhadap satu pertanyaan. Pemikir divergen menyusun ulang pertanyaannya.
Hasil penelitian dipublikasikan di Journal of Experimental Psychology: Learning , Memory and Cognitio. Hasil penelitian cukup mengejutkan, tingkat kreativitas secara konsisten dan signifikan lebih tinggi bagi pejalan ketimbang mereka yang sering duduk.
Di antara mahasiswa yang diuji kreativitasnya setelah bekerja, 100 persen datang dengan ide-ide yang lebih kreatif dalam satu percobaan sementara 95 persen, 85 persen dan 81 persen kelompok pejalan kaki dalam eksperimen yang lain memberikan respons yang lebih kreatif dibandingkan mereka yang duduk.
Dalam satu eksperimen dengan 48 peserta, masing-masing peserta duduk sendiri di satu ruang kecil dengan meja menghadap dinding kosong. Ketika peneliti menyebut objek, para siswa menyebut cara alternatif untuk menggunakan objek itu.
Eksperimen kedua melibatkan 40 mahasiswa yang dibagi dalam tiga kelompok yakni kelompok yang duduk tapi bergerak ke ruangan lain, duduk dan berjalan menggunakan treadmill, dan berjalan di luar ruangan sepanjang jalur yang ditetapkan.
Dari penelitian kedua ini menemukan bahwa tidak penting apakah partisipan itu berjalan di luar/dalam, di tengah udara segar/berpolusi, atau bergerak di treadmill dan menatap dinding kosong sekalipun. Mereka tetap memberikan respon kreatif hingga dua kali lipat ketimbang mereka yang duduk. Tidak butuh banyak waktu, cukup lima sampai enam belas menit sudah cukup mendatangkan ide-ide kreatif itu.
Keutamaan-keutamaan ini yang membuat para tokoh penting di industri digital – yang memerlukan kreativitas tinggi – seperti Marc Zuckerberg, Steve Jobs, Jack Dorsey dan Marc Andreessen menggemari kegiatan berjalan kaki. Tren saat ini di Silicon Valley, rapat-rapat penting kini tidak lagi di lakukan di ruang-ruang rapat, tetapi sambil berjalan di taman. Mereka tampaknya percaya betul dengan ucapan Nietzsche "All truly great thoughts are conceived by walking."
Karena itu kamu jangan risih saat melihat teman sekantormu mondar-mandir seperti setrika. Ketahuilah dia sedang mencari ide, dan dia kemungkinan akan mendapatkan ide cemerlang lebih hebat dan cepat ketimbang kamu. Jika kamu tidak ada ide? maka segera bangun dari tempat dudukmu dan berjalanlah!
Penulis: Aqwam Fiazmi Hanifan
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti