tirto.id - Belasan polisi berjaga di tepi Jalan Peternakan Raya, Cengkareng, Jakarta Barat. Panasnya cuaca dan debu yang beterbangan karena hembusan asap knalpot kendaraan tak menyurutkan polisi. Mereka terlihat menjaga kawasan di sekitarnya dengan mimik serius.
Senin (8/1/2018) pagi, polisi memberi sinyal kepada saya untuk membelokkan kendaraan ke arah mereka. Usai berbelok, kendaraan dikemudikan lurus memasuki Jalan Kapuk Poglar.
Tak jauh setelah motor memasuki jalan, pemandangan ragam bendera organisasi menghiasi sisi Kapuk Poglar. Ada juga beberapa bendera partai pemenang pemilu 2014, PDI Perjuangan, terpajang tinggi. Sementara, di sisi lain jalan yang berbatasan langsung dengan sebuah lapangan, sekelompok pemuda berkumpul dan memperhatikan laju motor yang melintas dengan seksama.
Usai memarkirkan kendaraan di lapangan pada pinggir jalan, saya langsung menuju ke lokasi berkumpulnya para pemuda. Namun, sebelum bertemu mereka, saya menghampiri sejenak seorang polisi yang sedang duduk tak jauh dari sana.
Saya lantas menanyakan informasi perihal rencana penggusuran yang dikabarkan akan dilakukan di kawasan tersebut. Kabar tersebut telah beredar sejak Minggu (7/1) malam melalui aplikasi pesan singkat Whatsapp. Namun informasi itu dibantah.
"Siapa yang bilang mau ada penggusuran? Info dari mana? Enggak ada itu," ujar polisi itu menjawab pertanyaan saya.
Setelah mendapat jawaban dengan nada tinggi tersebut, saya langsung pamit dan kembali ke niat awal menghampiri sekelompok anak muda di pinggir jalan. Di sana, penulis bertanya lokasi kediaman Ketua RT 007/04, Kapuk Poglar.
Setelah diberi petunjuk lokasi rumah Ketua RT, saya lantas bergerak ke sana. Setelah tiba dan berkenalan, percakapan dengan Ketua RT bernama Encu Sunari pun dimulai. Percakapan ihwal kabar akan digusurnya kawasan Kapuk Poglar RT 007/04 menjadi topik utama.
Rencana Penggusuran di Kapuk
Mengenakan celana pendek dan kaos, Encu menceritakan rencana digusurnya 166 Kepala Keluarga (KK) yang ada di RT 007/04 Kapuk Poglar oleh aparat kepolisian.
Menurut Encu, rencana penggusuran warga dimulai sejak 17 September 2016. Saat itu, polisi menggelar sosialisasi untuk warga di Aula Kelurahan Kapuk. Undangan diberikan oleh Kepolisian Sektor (Polsek) Cengkareng.
Dalam sosialisasi, polisi meminta warga di RT 007/04 untuk angkat kaki. Alasannya, lahan di sana hendak digunakan polisi untuk membangun sebuah gedung. Polisi mengklaim punya Sertifikat Hak Pakai atas lahan yang ditinggali warga tersebut.
Mendengar keinginan polisi, warga sontak menolak. Encu bercerita, ia sempat memohon agar ada solusi yang diberikan aparat alih-alih mengusir warga tanpa tawaran relokasi atau imbalan.
"Waktu itu langsung dijawab akan dicari solusi terbaik. Tetapi pada 11 Oktober 2016 warga langsung dapat surat somasi I oleh Polda Metro Jaya," kata Encu.
Pengusaha Menyingkir dari Kapuk Polgar
Surat somasi selanjutnya kembali diterima warga pada 28 Oktober 2016. Saat itu warga diberi waktu maksimal 7 hari untuk mengosongkan kediamannya. Namun sebelum memasuki tenggat, beberapa pengusaha di kawasan Kapuk Poglar memutuskan untuk melayangkan gugatan terhadap Polda Metro Jaya.
Menurut Encu proses persidangan antara beberapa pengusaha melawan polisi berlangsung hingga Mei 2017. Hasil akhirnya, Pengadilan Negeri Jakarta Barat disebut memberi kemenangan kepada pihak tergugat, dalam hal ini Polda Metro Jaya.
"Setelah kalah itu mereka (pengusaha) sudah langsung pergi. Pengusaha itu tadinya yang produksi gelas-gelas air mineral," katanya.
Kemenangan Polda Metro Jaya di pengadilan diiringi perginya para pengusaha di Kapuk Poglar, membuat penegak hukum kembali melayangkan surat somasi terhadap warga.
Berdasarkan salinan surat yang saya terima, somasi III dilayangkan 19 Desember 2017. Polda Metro Jaya meminta warga meninggalkan lokasi sengketa maksimal 15 hari setelah somasi diterbitkan.
"Polda Metro Jaya akan melakukan penertiban aset, tanah, dan bangunan milik Polri cq Polda Metro Jaya yang beralamat di Jalan Peternakan Raya (Kapuk Poglar Kandang Babi) RT 007 RW 04, Kelurahan Kapuk, Kecamatan Cengkareng, Jakarta Barat," kutipan surat yang ditandatangani Wakil Kapolda Brigadir Jenderal Purwadi Arianto itu.
Saat somasi III dibagikan, polisi disebut sempat memaksa beberapa anak kecil dan warga untuk menandatangani bukti penerimaan surat tersebut.
"Jadi semua warga dapet itu surat, tapi yang dimintai tandatangan sampai ke anak kecil juga," kata seorang warga bernama Unah.
15 hari setelah somasi terakhir diterbitkan, aksi penertiban belum dilakukan polisi. Polisi justru memasang spanduk besar bertuliskan: "Tanah ini milik Polri. Dihimbau bagi warga yang masih berada di lokasi harap segera mengosongkan area ini sebelum dilakukannya eksekusi pada tanggal 8 Februari 2018."
Tapi saat saya datang spanduk berwarna dasar kuning itu sudah tak ditemukan di kawasan Kapuk Poglar. Menurut pengakuan Encu, spanduk telah dicopot warga setempat. Pencopotan itu ditanggapi polisi dengan melakukan aksi sama terhadap spanduk-spanduk penolakan penggusuran milik warga.
"Karena melihat isi spanduk perihalnya begitu, ada yang mencopot ganti tulisan sehingga hari ini mereka (polisi) lakukan sweeping spanduk. Warga sebetulnya sih takut banget, cuma saya selaku Ketua RT sebelum ada sosialisasi yang baik dari pihak warga dan Polda (bertanya) 'apa keinginan warga?' Kami tak bergerak dan pindah," kata Encu.
Klaim polisi dan keraguan warga
Saat mencopot spanduk-spanduk penolakan warga awal pekan ini polisi juga melarang masyarakat yang hendak mengambil gambar menggunakan gawainya. Polisi disebut sempat merebut beberapa gawai milik warga untuk menghapus rekaman gambar yang sudah diambil.
"Tadi handphone saya diambil, dihapus video yang saya ambil. Nah, untungnya saya sudah upload dulu video itu kan live di Facebook, jadi sudah terupload di Facebook," kata Ipul, seorang warga di Kapuk Poglar kepada saya.
Meski Polda Metro Jaya telah melayangkan somasi dan klaim atas tanah di Kapuk Poglar, warga di sana belum percaya sepenuhnya terhadap status lahan yang sudah mereka tinggali sejak dekade 1980-an itu.
Encu berkata status tanah di Kapuk Poglar sebenarnya aneh sebab sengketa sempat terjadi pada 1997 silam. Saat itu, ada seorang ahli waris yang mengaku sebagai pemilik lahan seluas 15.900 meter persegi itu. Sementara, Polda Metro Jaya mengklaim berhak memakai lahan di sana berdasarkan sertifikat terbitan 1994. Masalahnya, lahan di Kapuk Poglar disebut tak pernah dimanfaatkan polisi selama ini.
"Pertanyaan kami, ini mana yg benar: apakah pihak Polda atau ahli waris? Kok satu objek yang sama ada dua pihak klaim sama," ujarnya.
Encu mengklaim, hingga kini Polda Metro Jaya belum pernah menunjukkan Sertifikat Hak Pakai yang asli kepada warga. Padahal warga penasaran dengan wujud asli sertifikat tersebut.
Aparat kepolisian juga disebut tak tahu batas-batas tanah di sana. Selain itu status sertifikat yang diklaim aparat merupakan Hak Pakai bukan Hak Milik.
Berdasarkan Pasal 41 ayat (1) UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Hak Pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang lain. Kemudian, tanah yang bisa menjadi objek Hak Pakai berdasarkan Pasal 41 Peraturan Pemerintah Nomor 40/1996 tentang HGU, HGB, dan Hak Pakai adalah lahan milik negara, tanah hak pengelolaan, dan tanah milik.
Berdasarkan Pasal 20 ayat (1) UUPA, Hak Milik adalah hak turun-temurun, terkuat, dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah dengan mengingat fungsi sosial. Hak tersebut bisa dimiliki setiap WNI atau badan hukum yang ditunjuk oleh PP.
Selain masalah kerancuan status lahan, polisi juga disebut enggan memberi kompensasi atau relokasi kepada warga terdampak rencana penggusuran. Padahal, jika penggusuran jadi dilakukan ada 641 jiwa yang terancam kehilangan tempat tinggal.
"Surat yang diberikan kepada warga, dengan alamat Kapuk Kandang Babi. Padahal nama alamat kampung ini tidak ada Kandang Babi, wilayah ini namanya Kapuk Poglar RT 07/04, yang dulu sebelum 1989 terjadi pemekaran wilayah masih bernama Kelurahan Kedaung Angke RT 07/01," katanya.
Encu berharap ada kompensasi atau relokasi yang diberikan polisi jika mereka jadi digusur dari Kapuk Poglar. Menurutnya, warga tak bisa semena-mena diusir dari tempat yang sudah ditinggalinya selama puluhan tahun tanpa mendapat ganti apapun. "Rencananya kami mau melakukan usaha dan upaya ke biro-biro hukum agar kami tak diperlakukan seperti binatang dan tanpa perikemanusiaan."
Penjelasan Pihak Kepolisian
Keberadaan hak pakai polisi atas tanah di Kapuk Poglar telah dibenarkan Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Raden Prabowo Argo Yuwono. Menurutnya, Polri telah lama memiliki hak atas penggunaan lahan di Jakarta Barat itu.
"Itu kalau tanahnya Pak Polisi ditempati orang lain kira-kira gimana? Makanya dikasih somasi, spanduk, dikasih batas waktu," ujar Argo.
Ia mengklaim ratusan warga di Kapuk Poglar sudah tahu status lahan yang mereka tempati. Polisi juga disebutnya telah memenuhi prosedur penertiban dengan menerbitkan surat peringatan somasi sebanyak tiga kali hingga saat ini.
Argo juga membenarkan bahwa lahan di sana rencananya akan dibangun untuk Asrama polisi. Ia mengklaim, rencana pembangunan asrama di sana sudah lama dimiliki Polri. Namun Argo tak merinci sejak kapan rencana pembangunan itu dimiliki institusinya.
"Sekarang itu, ya, kalau sertifikat itu hak bukan? Hak pakai, ya hak guna bangunan, itu hak bukan? Itu sertifikat atas nama Polri," ujarnya
Penulis: Lalu Rahadian
Editor: Jay Akbar