tirto.id - Arktika adalah sebuah wilayah yang meliputi Kutub Utara bumi dan sekitarnya. Wilayahnya sebagian besar perairan Samudra Arktika yang dikelilingi oleh daratan negara-negara Eropa dan Amerika. Banyak bagian dari perairan Arktika tertutup es sebagai daerah yang terpencil di puncak belahan Bumi utara.
Berbeda dari Antartika di Kutub Selatan es tebal menutupi benua daratan, lapisan es di Arktika adalah lautan beku dengan luas 5,56 juta mil persegi. Perbedaan yang mendasar lainnya adalah bahwa Kutub Utara adalah satu-satunya tempat beruang kutub ditemukan secara alami. Sedangkan habitat asal penguin ditemukan di Kutub Selatan. Ketebalan es di perairan Arktika antara dua hingga tiga meter. Beberapa daerah bisa mencapai ketebalan empat hingga lima meter.
Dalam beberapa dekade terakhir, kabar soal mencairnya es di Kutub Utara kerap muncul dan menjadi bukti nyata bagaimana perubahan iklim terjadi. Namun di sisi lain, mencairnya es dipandang berbeda oleh beberapa negara. Mereka melihat ada peluang emas untuk mengeruk minyak, gas dan mineral bumi lainnya yang selama ini tertutup oleh es.
Pada 2008, data (PDF) Survei Geologi Amerika Serikat (USGS) menyebut ada 90 miliar barel cadangan minyak di perut Arktika yang setara 13 persen dari total kandungan minyak di Bumi. Selain itu terdapat 1,669 triliun kaki kubik gas alam, 44 miliar barel gas alam cair dan 412 miliar barel setara minyak di wilayah Arktika yang lebih luas.
Merujuk pada data Ernest Wong dalam penelitian berjudul "Geopolitics of Arctic Oil and Gas: The Dwindling Relevance of Territorial Claims" (2013, PDF), migas yang belum digali berdasarkan wilayah negara di lingkar Arktika adalah, Amerika Serikat (32,6 persen minyak & 12,8 persen gas), Rusia (29,2 persen minyak & 66,1 persen gas), Norwegia (4,7 persen minyak & 5,3 persen gas), Islandia (0,3 persen minyak & 0,1 persen gas), Denmark (14,6 persen minyak & 6,9 persen gas), dan Kanada (11,2 persen minyak & 4,2 persen gas).
Belum lagi limpahan kandungan mineral di sekitar luar lingkaran Arktika seperti di Greenland (emas, nikel, molibednum, tantalum dll), Siberia (batu bara, kobalt, intan, tembaga dll yang ditotal sekitar 1,5 - 2 triliun dolar), Kanada (emas, intan, gypsum, uranium, dll), Alaska (67 juta ton seng, 67,6 juta ton timah), Swedia (2,413 miliar ton besi) dan Norwegia (1 miliar ton besi).
Sejumlah organisasi pro-lingkungan seperti Greenpeace, World Wildlife Fund (WWF), Natural Resources Defense Council (NRDC) dan lainnya menentang upaya eksploitasi kawasan Arktika yang dinilai dapat merusak ekosistem makhluk hidup dan memperparah kerugian akibat perubahan iklim.
Di bawah hukum internasional lewat Komisi PBB tentang Batas dan Landas Kontinen, tidak ada negara yang memiliki wilayah Kutub Utara. Daratan yang mengelilingi Arktika atau disebut lingkaran Arktika memang bagian dari lima negara, Rusia, Amerika Serikat, Kanada, Norwegia, dan Denmark. Tetapi mereka hanya punya hak wilayah di rentang 200 mil (370 kilometer) dari bibir pantai atau yang dikenal sebagai zona ekonomi eksklusif (ZEE).
Mereka juga dibatasi dengan aturan bahwa hak untuk menjelajahi dan mengklaim wilayah ada di perairan dan dasar laut ZEE. Sedangkan permukaannya tetap berstatus air internasional.
Jadi Rebutan Negara-negara Arktika
Hukum internasional jelas mengatur bahwa Samudra Arktika dan Kutub Utara tidak dimiliki negara manapun. Namun di tengah temuan kandungan minyak dan gas bumi, Arktika terus menarik minat negara-negara sekitar untuk memilikinya.
Rusia, sebagai negara yang memiliki garis pantai terpanjang di kawasan lingkar Arktika, lebih dahulu melakukan penelitian kandungan migas di lingkar Arktika. Sejak era Uni Soviet, mereka sudah meneliti di ladang Tazovskoye di Teluk Ob, Siberia pada 1962.
Lima tahun kemudian, AS tidak mau ketinggalan dengan membikin pusat penelitian di Teluk Prudhoe di negara bagian Alaska yang juga berada di lingkar Arktika. Rusia bahkan pada 2007, mengklaim wilayah Kutub Utara saat Artur N. Chilingarov, seorang penjelajah kutub asal Rusia dengan mengendarai kapal selam meletakkan bendera Rusia di dasar laut di bawah Kutub Utara.
Pada akhir 2014, Denmark mengajukan klaim baru atas kepemilikan wilayah lingkar Arktika. Alasannya, setelah melakukan survei pegunungan bawah laut sepanjang 2.000 kilometer yang membentang di utara Siberia, mereka menyimpulkan bahwa secara geologis Greenland bersama dengan Kepulauan Faroe adalah milik Denmark. Konsekuensinya, ada wilayah di Kutub Utara seluas 895.541 kilometer persegi (20 kali ukuran Denmark) yang ikut diklaim.
Bahkan Denmark dengan sadar mengakui bahwa klaim teritori yang diajukannya itu bakal tumpang tindih dengan teritori Norwegia, Kanada dan Rusia. Secara tidak langsung Denmark berarti berani berkonfrontasi dengan ketiga negara tetangganya itu di lingkar Arktika untuk urusan klaim tanah dasar laut.
Pada 2016, diwartakan The New York Times, giliran Rusia yang mengajukan klaim untuk dasar laut Arktika termasuk daerah di bawah Kutub Utara kepada PBB. Ini bukan pertama kalinya Rusia mengajukan klaim kepada PBB setelah pada 2001 pengajuannya ditolak. Jika komite PBB menerima klaim Rusia, maka dasar laut di bawah Kutub Utara akan menjadi pengawasan Moskow termasuk kegiatan pengeboran minyak, meski Rusia tidak berdaulat atas air atau es di permukaan.
Pesona Arktika sampai ikut menarik Cina untuk membuka rute perdagangan baru dan mengeksplorasi migas. Padahal secara geografis wilayah Cina tidak ada di dekat lingkaran Arktika. Dilansir dari CNN, pada Januari 2018, Beijing sudah menerbitkan buku putih strategi Kutub Utara yang salah satu isinya menyinggung "jalan Sutra Kutub" sebagai bagian dari program besar Satu Sabuk Satu Jalan (Belt and Road Initiative/BRI) yang digulirkan rezim Presiden Cina Xi Jinping.
Digerogoti Korporasi Minyak
Tensi di Kutub Utara tidak lagi “dingin” sejak banyak negara berebut klaim kepemilikan dan fakta bahwa mereka juga menantikan keringnya Kutub Utara untuk mempermudah proses eksplorasi perut Bumi.
Jika ditilik dari zona 200 mil dari lepas pantai, Rusia adalah negara yang paling besar memiliki cadangan minyak dan gas (migas) dengan masing-masing 2,2 persen dan 2,8 persen. Disusul migas Norwegia masing-masing 0,6 persen dan 1,3 persen. Sementara negara di Arktika lainnya tidak memiliki atau belum diketahui kandungan migasnya.
Meski pengeboran di dasar laut Kutub Utara sejauh ini belum ada, tetapi di sekitar lingkar Arktika aktivitas serupa sudah dilakukan.
Rusia memiliki ladang minyak lepas pantai pertama di kawasan Arktika. Letaknya di Laut Pechora, selatan Novaya Zemlya, Rusia. Aktivitas pengeboran dimulai sejak 2013 dan dioperasikan oleh perusahaan migas plat merah Rusia, Gazprom. Pada Maret 2016 tercatat ladang Prirazlomnoye menghasilkan 10 juta barel minyak.
Norwegia tidak mau kalah. Lewat perusahaan Statoil, pada 2012 mereka sudah mengoperasikan fasilitas produksi gas alam cair di wilayah Hammerfest dan juga menyedot sekitar 48.000 barel minyak per hari dari ladang Snøhvit di perairan Kutub Utara di Norwegia. Mereka menargetkan pada 2020 bisa mengekstrak satu juta barel setara minyak sehari dari sumur-sumur baru di Kutub Utara.
Di masa-masa terakhir Barack Obama menjabat presiden AS, ia menandatangani aturan yang melarang pengeboran lepas pantai di sebagian besar kawasan Arktika yang masuk bagian AS, termasuk sebagian besar kawasan pesisir Atlantik. Alasannya, untuk melindungi spesies laut Arktika dan kekhawatiran bencana tumpahan minyak.
Namun, di era Donald Trump, aturan itu dicabut yang artinya memungkinkan perusahaan migas untuk mengeksplorasi kawasan Arktika. Kebijakan itu bisa dibaca sepaket dengan langkah Trump yang menarik AS pada 2017 dari Perjanjian Paris 2015 untuk melawan perubahan iklim.
Pada Oktober 2018, Gedung Putih menyetujui proyek pengeboran Liberty untuk mengekstraksi minyak dari bawah Laut Beafort di lepas pantai utara Alaska. Bila pengeboran yang digarap perusahaan migas asal London, British Petroleum’s (BP) terlaksana, itu adalah proyek pertama sejak Obama melarang aktivitas serupa di wilayah kutub.
Alam Ekstrem dan Risiko Kematian
Tidak selamanya upaya pengeboran di wilayah Arktika bertahan dan membuahkan hasil manis. Sebuah rig minyak dari perusahaan Gazprom pada Desember 2011 terbalik dan mengakibatkan lebih dari 50 kru tewas dari total 67 awak kru. Rig minyak itu terbalik saat berusaha ditarik mendekat ke Pulau Sakhalin karena badai musim dingin di Laut Okhotsk.
Setelah mengebor delapan sumur eksplorasi di Greenland pada 2011 dan 2012, Cairn Energy, perusahan migas asal Inggris memilih hengkang. Chevron perusahaan migas AS menghentikan eksplorasi di perairan Kanada di Laut Beaufort Desember 2014. Pada Juni 2015 giliran ExxonMobil dan BP yang pergi dari Arktika.
Ada beragam alasan di balik menyerahnya perusahaan-perusahaan raksasa minyak dan gas di Arktika. Kerja sama ExxonMobil dengan perusahaan minyak Rosneft asal Rusia senilai 500 miliar dolar terhenti karena situasi politik Rusia - Krimea pada 2014.
Perusahaan lain tampaknya menghadapi kesulitan komplek lantaran cuaca dingin yang ekstrem, badai yang mengancam kapal-kapal pengangkut hingga sulitnya mengembangkan jaringan pipa menuju daratan karena faktor geografis. Ini termasuk sulitnya melakukan proses pembersihan tumpahan minyak di daerah es apabila terjadi kecelakaan.
"Keseluruhan struktur biaya di sana tiga sampai lima kali lebih mahal daripada 48 pengeboran minyak di darat," kata Scott D. Sheffield, kepala eksekutif Pioneer Natural Resources, sebuah perusahaan minyak yang berbasis di Texas pada 2015.
Senada dengan Sheffield, US Energy Information Administration mencatat, proyek pengeboran migas di lepas pantai Alaska di lingkar Arktik bisa memakan biaya 50 sampai 100 persen lebih tinggi dibanding proyek serupa yang dilakukan di lepas pantai Texas. Alasannya perlu peralatan yang dirancang khusus untuk menahan suhu dingin.
Kondisi tanah yang dianggap buruk membikin alokasi tambahan untuk mencegah peralatan tenggelam. Para pekerja tentu saja mengharapkan upah yang jauh lebih tinggi karena berada di daerah terisolir dan ekstrem dengan risiko kematian.
Editor: Tony Firman