tirto.id - Kurang dari enam bulan menuju Pemilu 2019, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) mulai berkampanye dengan isu ekonomi populis. Dalam siaran pers pada 22 November 2018, PKS menjanjikan akan memperjuangkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Pajak Sepeda Motor dan Pemberlakuan SIM Seumur Hidup jika menang pada Pemilu 2019.
Pajak dan bea sepeda motor yang dimaksud PKS ialah Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), bea balik nama kendaraan bermotor (BBNKB), Tarif Sumbangan Wajib Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan, biaya administrasi Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK), dan biaya administrasi Tanda Nomor Kendaraan Bermotor (TNKB) untuk sepeda motor ber-cc kecil.
Partai yang dipimpin Sohibul Iman tersebut mengklaim penghapusan pajak tidak akan berpengaruh signifikan terhadap APBD provinsi. Menurut partai ini, sejumlah pajak dan bea sepeda motor di beberapa provinsi hanya mempengaruhi sekitar 7-8 persen terhadap APBD.
"Kebijakan ini akan meringankan beban hidup rakyat. Data-data menunjukkan beban hidup rakyat semakin berat," kata Wakil Ketua Tim Pemenangan Pemilu PKS Al Muzzammil Yusuf di Kantor DPP PKS, Jakarta, Kamis (22/11/2018).
Namun, hitung-hitungan pengaruh 7-8 persen terhadap APBD tersebut kurang tepat. Provinsi DKI Jakarta misalnya, realisasi PKB pada 2017 berkontribusi 12,35 persen terhadap APBD 2017. Total pendapatan pada anggaran tahun itu sebesar Rp64,82 triliun. Sementara itu, BBNKB pada tahun yang sama berkontribusi sebesar 7,76 persen terhadap APBD.
Memakai proporsi bea dan pajak itu terhadap APBD sebagai patokan juga kurang tepat. Padahal, di dalam kerangka APBD, pendapatan daerah provinsi disumbang dari tiga sektor: pendapatan asli daerah (PAD), dana perimbangan, dan pendapatan lain yang sah. Komponen PKB dan BBNKB termasuk ke dalam pos PAD.
PAD merupakan sumber pendapatan asli, sedangkan dua pos pendapatan lainnya mencakup bantuan alokasi dari pemerintah pusat seperti dana alokasi umum (DAU), dana alokasi khusus (DAK), serta dana otonomi daerah. Artinya, PAD mencerminkan kemandirian keuangan pemerintah daerah itu sendiri.
Pendapatan daerah sendiri lebih banyak ditopang dana perimbangan dan pendapatan lain yang sah. Deskripsi dan Analisis APBD 2014 (PDF) yang diterbitkan Kementerian Keuangan mencatat lebih dari setengah anggaran provinsi di seluruh Indonesia ditopang dana perimbangan yang banyak berasal dari pemerintah pusat, sedangkan PAD hanya sekitar 23 persen.
Oleh karena itu, lebih tepat apabila pendapatan dari PKB dan BBNKB dilihat kontribusinya terhadap PAD.
Kontribusi PKB-BBNKB
Dalam laporan realisasi anggaran pada 5 provinsi yang dipilih secara acak, kontribusi PKB terhadap PAD cukup beragam. Umumnya ada pada rentang 13-30 persen. Sulawesi Tenggara merupakan provinsi dengan rerata terkecil. Pada periode 2013-2017, PKB di provinsi tersebut setiap tahunnya rata-rata menyumbang 14,96 persen terhadap PAD.
Lain halnya dengan Jawa Tengah. PKB di provinsi tersebut rata-rata menyumbang 28,35 persen terhadap pendapatan asli daerah setiap tahunnya. Adapun PKB di provinsi ibu kota, DKI Jakarta, setiap tahunnya rata-rata menyumbang 17,75 persen terhadap PAD.
Realisasi BBNKB terhadap PAD pun tidak berbeda jauh. Dari realisasi anggaran 5 provinsi, kontribusi BBNKB terhadap PAD berkisar pada 15-29 persen. Di Kalimantan Selatan, kontribusi BBNKB terhadap PAD yang paling kecil, rata-rata 15,40 persen setiap tahunnya.
Kontribusi BBNKB terhadap PAD paling besar ada di Jawa Tengah. Di provinsi tersebut, setiap tahunnya BBNKB rata-rata menyumbang sekitar 29,35 terhadap pendapatan asli daerah. Bahkan, pada 2013 dan 2014, kontribusi BBNKB lebih dari 30 persen.
Meskipun bukan gambaran yang mewakili keadaan keuangan semua provinsi di Indonesia, realisasi anggaran lima provinsi tersebut dapat menunjukkan besaran kontribusi PKB dan BBNKB terhadap pendapatan asli daerah.
Jika diakumulasikan, kontribusi PKB dan BBNKB terhadap pendapatan asli daerah pada 5 provinsi tersebut berkisar pada 30-57 persen setiap tahunnya. Bahkan, di daerah tertentu seperti Jawa Tengah, dua pos pajak tersebut menjadi sumber utama pendapatan asli daerah karena angkanya bisa mencapai setengah dari total PAD.
Itulah sebabnya pemerintah provinsi beberapa kali menggelar operasi pemutihan pajak yang berlaku bagi PKB dan BBNKB. Hal itu jugalah yang dilakukan pemprov DKI pada 2017 lalu, bekerja sama dengan tiga instansi, dengan tujuan mengoptimalisasi penerimaan pendapatan daerah.
"Kita berharap dengan empat instansi [Pemprov DKI, Bank DKI, Ditlantas Polda Metro Jaya, dan Jasa Raharja] ini pendapatan daerah melalui sektor pajak akan signifikan naik, dan targetnya bisa terpenuhi. Lalu tadi (Rp)12,9 triliun itu, karena ini kan sudah kita distribusi program [penghapusan sanksi administrasi PKB dan BBNKB] di 2017. Sayang kalau tidak mencapai target," ujar Sekretaris Daerah DKI Jakarta Saefullah di Balai Kota Jakarta, Jumat (11/8/2017).
Jika pos pajak tersebut dihapus, tentu pendapatan daerah akan terpengaruh. Belanja daerah bisa tak optimal jika pendapatannya lebih kecil. Pemerintah provinsi harus mencari pendapatan dari pos lain untuk menutupi kekurangan tersebut. Atau, pilihan lainnya adalah menambal dari pemerintah pusat yang disalurkan dari pos-pos anggaran seperti DAU, DAK, atau dana otonomi daerah.
Apabila pilihan itu yang diambil, imbasnya adalah masalah baru bagi pemerintah pusat atau APBN. Dalam Nota Keuangan APBN 2018 saja, pemerintah pusat menganggarkan Rp706,16 triliun untuk transfer ke daerah, atau 31,8 persen dari total belanja negara sebesar Rp2.220,66 triliun. APBN saat ini saja masih terus defisit yang harus ditambal dari utang.
Editor: Maulida Sri Handayani