Menuju konten utama
Hasil Debat Cawapres

Benang Kusut Sistem Magang Luput Dibahas Ma'ruf vs Sandiaga

Indef menilai argumen yang disampaikan Ma'ruf dan Sandiaga masih terlalu normatif dan luput dalam hal perlindungan tenaga kerja.

Benang Kusut Sistem Magang Luput Dibahas Ma'ruf vs Sandiaga
Cawapres nomor urut 01 K.H. Ma'ruf Amin (kiri) berbincang dengan Cawapres nomor urut 02 Sandiaga Uno (kanan) usai mengikuti Debat Capres Putaran Ketiga di Hotel Sultan, Jakarta, Minggu (17/3/2019). Debat Capres Putaran Ketiga yang menampilkan hanya kedua Cawapres tersebut bertemakan Pendidikan, Kesehatan, Ketenagakerjaan serta Sosial dan Kebudayaan. ANTARA FOTO/Wahyu Putro A.

tirto.id - Isu ketenagakerjaan yang dibahas dalam debat antara cawapres Ma'ruf Amin dan Sandiaga Uno, Minggu malam (18/2/2019), menyisakan banyak persoalan yang belum terjawab. Salah satunya soal sistem pemagangan yang memungkinkan para lulusan baru untuk praktik kerja di beberapa perusahaan mitra pemerintah, lembaga pendidikan, atau Lembaga Pelatihan Kerja (LPK).

Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Ahmad Heri Firdaus menilai, argumen yang disampaikan kedua cawapres masih terlalu normatif dan luput dalam hal perlindungan tenaga kerja.

Padahal, kata Heri, masalah ini telah banyak dikemukakan terutama oleh kalangan buruh lantaran hingga saat ini banyak rekan mereka belum terikat kontrak kerja yang jelas dan masih dibayar dengan upah magang.

Cawapres nomor urut 02 Sandiaga Uno, misalnya, hanya berujar bahwa kubunya telah menyiapkan program rumah siap kerja yang akan melatih para lulusan agar punya skill yang sesuai dengan kebutuhan perusahaan.

Sementara Ma'ruf Amin, cawapres nomor urut 01, terlalu fokus pada program kartu Pra-Kerja yang sebelumnya telah dikampanyekan oleh capres yang didampinginya, Joko Widodo.

"Padahal di banyak negara, program magang ini jadi win-win solution antara dunia industri dengan pemerintah, tapi karena di Indonesia perlindungan tenaga kerjanya kurang diperhatikan, sistem ini jadi tidak efektif," ujar Heri kepada reporter Tirto, Senin (18/3/2019).

Tepat pada perayaan hari buruh 2017 atau may day dua tahun lalu, Tirtopernah menurunkan laporan berseri tentang sistem magang yang jadi celah sejumlah perusahaan “licik” untuk mempekerjakan tenaga magang dengan dan menghemat ongkos produksi.

Perusahaan-perusahaan tersebut bermitra dengan sejumlah LPK yang juga "memalak" para lulusan baru agar bisa diterima kerja praktik di beberapa perusahaan yang memakai jasa mereka.

Upah Murah Kerja Susah

Pola-pola perekrutan pekerja magang sebenarnya diatur secara legal lewat Peraturan Menteri Ketenagakerjaan 36/2016 tentang Penyelenggaraan Magang di Dalam Negeri [PDF]. Aturan itu memuat secara eksplisit bahwa para pencari kerja bisa ikut program magang perusahaan di kawasan industri.

Namun, temuan reporter Tirto di lapangan menunjukkan bahwa banyak perusahaan yang menggunakan beleid tersebut untuk mempekerjakan tenaga magang pada bagian penunjang produksi.

Ditambah lagi, kontrak kerja yang tak jelas dengan tidak adanya pengangkatan. Para pekerja magang umumnya menjalani masa kontrak antara 3 bulan hingga 1 tahun.

Setelahnya, kontrak diputus dan diperpanjang lagi lewat perjanjian baru pemagangan. Pola ini terus-menerus dipakai sebagai lingkaran setan yang menjerat para buruh sehingga menghindari pengusaha membayar hak-hak buruh, seperti tunjangan kesehatan atau pesangon.

Menurut Heri, cara-cara seperti itu harusnya dievaluasi oleh pemerintah agar output dari program magang sesuai dengan yang diharapkan. Dengan demikian, industri-industri baru tak kesulitan suplai tenaga kerja dengan skill yang dibutuhkan.

Jika program magang bagi lulus SMK hanya ditempatkan pada bagian penunjang produksi dengan tugas bersih-bersih dan semacamnya, maka yang didapat hanya pengalaman kerja dan bukan peningkatan kemampuan.

Aplikasi, program SMK, dan Vokasi yang link and match dengan perusahaan baru digencarkan akhir-akhir ini. Sementara sekolah atau lembaga pendidikan yang sudah ada belum punya fasilitas memadai untuk menunjang praktik para siswa atau anak didik mereka.

"Kan, terbukti dari data BPS kalau tingkat pengangguran terdidik kita saat ini cukup tinggi. Karena memang praktik dan teori yang dilakukan di sekolah saja tidak cukup," ucap Heri.

Pengamat Ketenagakerjaan Payaman Simanjuntak mengatakan, evaluasi program magang memang mendesak untuk dilakukan. Sebab, hingga saat ini, jumlah sekolah vokasi yang dibangun langsung oleh perusahaan masih sedikit.

Sehingga, kata dia, magang yang jadi solusi pemerintah untuk mengurangi pengangguran memperhatikan aspek perlindungan terhadap tenaga kerja baru.

Ia menyarankan agar pengawasan terhadap sistem pemagangan diperketat terutama dari lembaga-lembaga penyalur serta pelatihan tenaga kerja. Di samping itu, perusahaan yang membuka program magang juga harus diseleksi agar output yang dihasilkan sesuai kebutuhan.

"Kalau bisa yang perusahaan besar saja yang buka sistem permagangan. Kalau dia enggak bisa serap, ya dikasih sertifikat supaya anak-anak itu bisa diarahkan dan terserap ke industri-industri yang kecil," ucapnya.

Di samping itu, ia juga mendorong pemerintah untuk memberikan insentif bagi perusahaan yang mau memberikan kesempatan pelatihan magang untuk para lulusan baru.

Dengan demikian, praktik-praktik penempatan magang di sektor penunjang produksi yang rentan diperas tenaganya bisa diminimalisir.

"Mereka harusnya diberikan keringan lah, pajak misalnya, karena mereka juga kan sudah keluarkan modal untuk biayai pendidikan atau pelatihan itu," ucap mantan pejabat senior kementerian tenaga kerja itu.

Baca juga artikel terkait DEBAT CAWAPRES 2019 atau tulisan lainnya dari Hendra Friana

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Hendra Friana
Penulis: Hendra Friana
Editor: Abdul Aziz