tirto.id - Rabu (26/9/2018) lalu, seekor harimau betina liar mati terjerat kawat baja di perbatasan Desa Muara Lembu dan Pangkalan Indarung, Kabupaten Kuantan Singingi, Riau. Ia ditemukan tergantung di pinggir jurang sebab tali jerat yang melilit perutnya tersangkut di semak.
Setelah dilakukan nekropsi atau bedah bangkai, tim medis menemukan janin yang sudah mulai terbentuk utuh. Harimau tersebut ternyata mengandung dua anak dan diperkirakan akan melahirkan dalam waktu 10 hari ke depan.
Menangkap dengan jerat adalah cara yang jamak dilakukan pemburu untuk mendapatkan satwa dilindungi ini. Gara-gara praktik tersebut, jumlah harimau di Indonesia tak bertambah secara signifikan. WWF dan Global Tiger Forum mengatakan pada tahun 2016 ada 371 ekor harimau yang hidup di Indonesia. Status Harimau Sumatera oleh International Union for Conservation of Nature (IUCN) kini masih masuk dalam kategori sangat terancam punah.
Mencegah perburuan harimau dengan demikian menjadi langkah kunci agar hewan tersebut tetap bisa hidup di alam liar. Di sisi lain, Direktur Kebijakan, Keberlanjutan, dan Transformasi WWF Indonesia Aditya Bayunanda mengatakan bahwa pemerintah mesti memastikan habitat harimau tak berkurang. Upaya seperti menjauhkan harimau dari konflik agar tak terbunuh juga perlu dilakukan untuk menjaga populasi.
Apabila langkah di atas dijalankan dengan komitmen, Aditya mengatakan penambahan jumlah Harimau Sumatera bisa cepat terjadi. Hal ini dikarenakan cara berkembang biak hewan tersebut sama dengan kucing peliharaan.
Usaha India dan Nepal
Pada 2016, WWF dan Global Tiger Forum mengumumkan bahwa ada 3.890 harimau di seluruh dunia yang masih hidup. Jumlah ini mengalami peningkatan sebab pada tahun 2010 hanya ada 3.200 ekor harimau di alam liar. Menurut The New York Times, negara seperti India dan Nepal berhasil meningkatkan populasi harimau lewat upaya konservasi dan penambahan wilayah saat penyelenggaraan survei nasional. Terdapat 2.226 ekor dan 198 ekor harimau yang hidup di India dan Nepal.
India Timesmelaporkan bahwa India mulai menaruh perhatian pada harimau pada tahun 1973 ketika Perdana Menteri Indira Gandhi meluncurkan program Project Tiger. Saat itu, jumlah harimau di negara tersebut hanya 268 ekor. Maraknya perburuan, konflik dengan manusia, dan aktivitas trophy hunting atau berburu untuk rekreasi membuat populasi harimau semakin sedikit.
Salah satu agenda Project Tiger adalah memastikan habitat harimau berupa cagar alam tetap ada. Di tahun 1973 hingga 1974, sebanyak lima cagar alam ditetapkan oleh pemerintah. Namun, seiring berjalannya waktu jumlahnya bertambah menjadi 50 cagar alam.
Pemerintah memandang perlu memperluas habitat harimau sebab binatang tersebut mempunyai daya jelajah yang luas. Selain itu, langkah ini diambil untuk mengurangi konflik dengan manusia yang menjadi salah satu penyebab utama berkurangnya populasi harimau.
Tak hanya itu, pemerintah India juga mengetatkan keamanan cagar alam dari aktivitas perburuan. Harimau yang hidup pun ditandai dengan tracking collar agar aktivitas satwa itu dapat terus dipantau.
Seperti yang dilaporkan The Huffington Post, cagar alam yang menjadi habitat harimau mesti terbebas dari populasi ternak dan manusia. Relokasi warga dari area inti cagar alam pun dilakukan dan aktivitas ini menjadi program terpenting Project Tiger yang sekarang ditangani oleh The National Tiger Conservation Authority (NTCA). Dengan adanya langkah tersebut, mangsa harimau yang ada di cagar alam tak lagi berkurang karena aktivitas manusia sehingga populasi kucing besar tersebut menjadi bertambah.
Sama halnya dengan India, Nepal pun telah lama memberikan perhatian lebih pada konservasi harimau dan binatang liar. WWF mengatakan bahwa upaya penyelamatan satwa tersebut dimulai ketika National Park and Wildlife Conservation Act dibuat pada tahun 1950.
Prabin Poudel dalam The Diplomatmengatakan lebih dari 23 persen dari area total di Nepal ditetapkan sebagai wilayah yang dilindungi. Ada 12 taman nasional, satu cagar alam, satu kawasan berburu, dan enam daerah konservasi. Setiap taman nasional dalam hal ini mempunyai buffer zone atau kawasan penyangga yang berfungsi melindungi area inti konservasi dari perbuatan negatif manusia.
Lebih lanjut, Prabin menjelaskan bahwa dari enam daerah konservasi yang ada, tiga di antaranya dikelola oleh LSM. Dua kawasan konservasi lain menjadi tanggung jawab pemerintah Nepal. Sementara itu, satu wilayah konservasi dikelola oleh masyarakat lokal.
Ia lantas mengatakan bahwa organisasi non-pemerintah seperti WWF, International Trust for Nature Conservation (ITNC), Zoological Society of London (ZSL) dan National Trust for Nature Conservation (NTNC) turut membantu pemerintah Nepal dalam hal teknis ketika melakukan konservasi. Mereka turut mengambil andil dalam hal pengamanan daerah konservasi dari aktivitas perburuan.
Di Nepal, kelompok bernama Community Based Anti-Poaching Units (CBAPUs) dibentuk di berbagai daerah dengan keanekaragaman hayati yang perlu dilindungi. Komunitas ini digerakkan oleh perkumpulan pemuda dan dipandu oleh LSM dan komite pengguna hutan masyarakat untuk mencegah aktivitas perburuan di kantong-kantong habitat satwa liar.
Selain regu anti-perburuan dan kebijakan soal pengaturan kawasan konservasi, pemerintah Nepal juga memanfaatkan teknologi agar upaya penyelamatan berjalan maksimal. Alat seperti Spatial Monitoring and Reporting Tool (SMART), GPS, Global Information System (GIS), dan drone dalam hal ini dipakai ketika berpatroli atau saat melakukan aktivitas pengawasan lain.
Editor: Maulida Sri Handayani