Menuju konten utama

Belajar Jadi Ayah Generasi Milenial yang Berbahagia

Para generasi milenial punya pandangan dalam menjalankan peran sebagai seorang ayah. Keseimbangan hidup untuk mencapai kebahagiaan jadi hal penting bagi mereka. Hari ini, diperingati sebagai hari ayah, dan para ayah milenial tentunya juga ingin terus memberikan kebahagiaan kepada anak dan istrinya.

Belajar Jadi Ayah Generasi Milenial yang Berbahagia
Ilustrasi [Foto/Free Pic]

tirto.id - Arif Budiarto memulai hari kerjanya sama seperti kebanyakan kelas pekerja lain. Pukul 5 pagi dia bangun. Kemudian bermain dengan anaknya yang baru berusia 8 bulan. Mandi, sarapan, dan pukul 6 dia dan istrinya sudah di atas motor, menuju Jakarta, sekitar 30 kilometer dari rumahnya di kawasan Sawangan, Depok.

Budi, panggilan akrabnya, juga mengakhiri hari dengan sama. Kalau tak ada lembur, pukul 5 sore dia sudah bisa meninggalkan kantor. Kalau lembur, jam 9 baru bisa pulang. Kalau tak ada lembur, maka dia pulang bareng dengan sang istri. Tapi Rere, istrinya, juga bukan tipe perempuan yang harus dijemput. Dia sudah terbiasa dengan hidup keras ala Jakarta. Kalau suaminya harus lembur, maka dia pulang sendirian.

Ketika akhir pekan tiba dan tak ada acara, mereka akan menghabiskan waktu di rumah. Bermain bersama anak. Budi juga bukan tipikal lelaki patriarkis. Dia adalah tipe ayah generasi milenial yang memahami pembagian kerja yang sama dan setara antara suami istri. Sering, Budi yang memasak sedangkan Rere membersihkan rumah. Atau Rere yang menyetir mobil, sementara Budi menggendong Arka, sang buah hati hingga tertidur di jok belakang.

Ayah generasi milenial kerap mempunyai pandangan yang menarik sekaligus berbeda terhadap nilai-nilai dalam keluarga. Di Indonesia, pembagian peran yang sering terlihat dan dianggap paling "normal" adalah: suami mencari uang, istri mengasuh anak dan mengerjakan tugas domestik.

Tapi Budi, sebagai salah satu ayah generasi milenial, jauh dari pembagian kerja seperti itu. Dia tidak merasa berat mengerjakan tugas seperti memasak, cuci piring, atau membersihkan popok anak.

"Aku juga terbantu karena di keluargaku selalu diajarkan untuk mandiri. Jadi meskipun sudah punya istri dan anak, aku tak merasa apa-apa harus dilayani," kata Budi.

Infografik Ayah Milenial

Budi adalah satu dari jutaan ayah generasi milenial yang ada di dunia. Ayah dari generasi ini banyak yang mewakili nilai-nilai baru dalam keluarga. Beberapa waktu lalu, empat peneliti dari Boston College Center for Work & Family mengadakan penelitian tentang ayah generasi milenial. Hasilnya memang lumayan mengejutkan. Ada banyak sekali nilai-nilai keluarga generasi sebelumnya yang sudah mulai diabaikan, atau ditinggalkan sepenuhnya.

Misalkan tentang menjadi jadi bapak rumah tangga. Sekitar 51 persen ayah generasi milenial mengatakan mereka tak masalah menjadi bapak rumah tangga kalau pasangan mereka bisa menghasilkan uang yang cukup. Tentu nilai seperti ini nyaris asing bagi generasi sebelumnya, di mana menjadi bapak rumah tangga kerap dipandang sebagai "aib" karena tak mampu atau mau bekerja.

Dalam mencari pekerjaan, para ayah generasi milenial juga tidak hanya sekadar mencari gaji. Yang paling dipertimbangkan adalah kesempatan perkembangan karir. Sekitar 83 persen ayah generasi milenial menganggapnya amat penting atau sangat penting. Gaji malah ada di bawah kriteria tentang keseimbangan antara kerja dan kehidupan sosial. Sekitar 75 persen ayah generasi milenial menganggap keseimbangan kerja sebagai kriteria yang amat penting. Sedangkan hanya 74 persen ayah milenial yang menganggap gaji itu penting.

Budi juga merasakan hal yang sama. Di satu sisi, dia menyukai pekerjaannya. Tapi gajinya dianggap kurang untuk memenuhi kebutuhan tiap bulan. Namun, dia juga mencintai pekerjaannya karena memberikan keseimbangan kerja yang terjaga. Ini artinya, jadwal kerjanya tertata. Ada dua hari libur dalam seminggu. Ada jatah cuti yang cukup panjang, plus jatah libur tahunan. Dia tak kesusahan membagi waktu antara kerja dan keluarga, juga kehidupan sosial.

"Jadi hari Sabtu dan Minggu aku pasti menghabiskan waktu bersama keluarga atau keluar ramai-ramai bareng teman," kata Budi.

Hal ini juga sejalan dengan banyak ayah generasi milenial. Sekitar 60 persen mengaku mereka setuju bahwa membagi waktu antara kerja dan kehidupan personal itu mudah. Hanya sekitar 19 persen saja yang kesusahan membagi waktu. Ini berkaitan dengan sistem kerja yang mereka pilih.

Tirto.id pernah menuliskan tentang pekerjaan generasi milenial. Sebagian besar dari generasi ini menyukai pekerjaan yang fleksibel. Perusahaan-perusahaan yang membutuhkan jasa mereka pun paham bahwa generasi milenial amat berbeda dari generasi sebelumnya. Yang mereka cari bukan sekadar gaji besar, melainkan juga kebahagiaan yang bisa dicapai dengan kombinasi antara: gaji pantas, kerja berbasis target juga prestasi dan bukan absensi, ditambah dengan adanya waktu untuk kehidupan personal.

Kehidupan yang seimbang ini menghasilkan ayah-ayah yang merasa berbahagia. Budi, meski di satu sisi masih berambisi untuk mengembangkan karir dan mengejar gaji yang lebih besar, dia merasa bahagia dengan kehidupannya sekarang. Dia punya istri dan anak yang sangat disayanginya. Kehidupan kerjanya menyenangkan dengan banyak keuntungan kerja. Plus, dia tidak kesusahan mencari waktu untuk menjalani kehidupan sosial, baik bersama keluarga ataupun teman.

Meski bahagia, tak bisa diingkari kalau kebanyakan ayah generasi milenial masih mengalami konflik antara keinginan untuk menjadi ayah yang lebih banyak menghabiskan waktu bersama keluarga, dan keinginan untuk mengembangkan karir.

"Sebagian besar lelaki mengalami konflik ini. Tapi hal ini juga sudah dialami kebanyakan ibu yang juga wanita karir, yang pasti kerap bertanya: apakah aku bisa mencapai karir sekaligus punya waktu yang lebih banyak bersama keluarga?"

Yang perlu diperhatikan adalah ayah-ayah yang berada dalam golongan "conflicted". Ini adalah kutub tengah antara ayah tradisional (yang menginginkan istrinya lebih sering di rumah dan mengurus pekerjaan domestik) dan ayah egalitarian (yang menganggap pekerjaan rumah tangga seharusnya dikerjakan bersama. Ayah tradisional dan ayah egalitarian ini memiliki kepuasan hidup yang lebih tinggi ketimbang ayah yang berkonflik. Ayah yang berkonflik ini sebenarnya ingin mengambil bagian dalam pekerjaan domestik, tapi merasa enggan mengerjakannya.

"Maka penting supaya ayah yang punya konflik ini mencari jalan keluar terbaik, karena jelas-jelas konflik itu memengaruhi kebahagiaannya, dan kebahagiaan pasangannya," tulis para peneliti dari Boston itu.

Baca juga artikel terkait MILENIAL atau tulisan lainnya dari Nuran Wibisono

tirto.id - Gaya hidup
Reporter: Nuran Wibisono
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Suhendra