tirto.id - Di Istana Negara, hari Rabu (5/12), Presiden Joko Widodo memerintahkan Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto dan Kapolri Jenderal Tito Karnavian mengejar dan menangkap kelompok bersenjata yang diduga menembak karyawan PT Istaka Karya hingga tewas.
Jokowi menilai perbuatan kelompok bersenjata sebagai tindakan biadab dan tidak berperikemanusiaan. Jokowi menekankan instruksinya adalah menangkap, bukan menembak mati kelompok tersebut.
Instruksi Presiden tersebut direspons Kapolda Papua Irjen Pol Martuani Sormin. Selaras dengan Presiden, ia juga mengatakan tugas mereka hanya menangkap dan bukan akan menembak kelompok bersenjata.
“Kami akan laksanakan [instruksi] presiden. Sebagai penegak hukum, saya berlaku untuk menangkap, memproses dan mengadili secara hukum,” kata dia ketika dihubungi reporter Tirto, Kamis (6/12/2018).
“Anggota saya sudah tahu kapan harus menembak. Tapi intinya, semua pelaku kejahatan akan saya tangkap dan proses hukum,” ujar Martuani menambahkan.
Namun, instruksi Presiden tampaknya “kurang disepakati” TNI. Wakil Kepala Penerangan Komando Daerah Militer XVII/Cenderawasih Letkol Inf Dex Sianturi menyatakan, tindakan yang akan diambil jajarannya tetap bergantung situasi di lapangan.
“Bila pembunuh tersebut memiliki senjata dan nyata memberikan ancaman yang membahayakan bagi nyawa aparat dan orang lain, tindakan diskresi bisa dilakukan,” kata Dex.
Dalam konteks hukum humanitarian, tambah Dex, objek yang bisa dijadikan sasaran adalah orang-orang yang termasuk kategori kombatan. Kelompok ini dianggap berbahaya karena mereka memiliki senjata dan amunisi. Jika terjadi baku tembak, mau tidak mau aparat akan membalas.
Ada SOP untuk Menembak
Dosen Hukum Acara Pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar menilai instruksi Presiden kepada aparat untuk menangkap pelaku dinilai sudah tepat. Sebab, di internal TNI dan Polri, sudah ada SOP bagi aparat untuk menembak pelaku.
Presiden, kata dia, justru akan melanggar HAM apabila memberikan perintah untuk menembak.
“Tanpa ada instruksi, ada SOP aparat untuk menembak dalam keadaan tertentu. Tidak ada masalah. Namun, tembak di tempat tidak bisa menjadi perintah dari presiden,” kata Fickar kepada reporter Tirto.
Fickar mengatakan perintah menghukum mati merupakan yuridiksi pengadilan. Karena itu dibutuhkan pendekatan hukum kepada kelompok bersenjata. “Tidak bisa memerintahkan tembak di tempat. Orang itu harus ditangkap dan diproses secara hukum untuk diadili,” terang dia.
Jika ada status kelompok bersenjata dinyatakan sebagai pemberontak, lanjut Fickar, pendekatan militer yang harus dilakukan adalah perang. “Perang itu menembak atau ditembak. Itu merupakan konsekuensi,” tambah dia.
Dihubungi terpisah, pengamat pertahanan dari LIPI, Muhammad Haripin berbeda pendapat dengan Fickar. Haripin lebih sepakat dengan pendapat Dex Sianturi soal diskresi di lapangan.
“Jika diserang, personel keamanan dapat mengambil tindakan yang diperlukan," kata Haripin kepada reporter Tirto.
Namun begitu, Haripin menjelaskan diskresi menembak tak bisa dilakukan sembarang. Menurutnya, ada rules of engagement (RoE) dalam setiap operasi keamanan.
“Biasanya ada batas minimum maupun maksimum untuk penanganan situasi konflik dengan eskalasi tinggi. Misal ada ketentuan menembak. Hal itu dibagi lagi; menembak untuk melumpuhkan atau mematikan,” ujar Haripin.
===
Catatan: Redaksi melakukan perubahan judul dari Beda Sikap TNI Polri Soal Instruksi Jokowi Tangani Pembunuhan Nduga pada Selasa, 11 Desember 2018, pukul 19.30 WIB.
Penulis: Abul Muamar
Editor: Mufti Sholih