tirto.id - Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan berhasil menindak empat kontainer berisi 1.628 koli pakaian jadi, barang elektronik, kosmetik, dan barang lainnya dengan total nilai barang sebesar Rp18,6 miliar.
Selain itu, pada periode Oktober hingga November 2024, Bea dan Cukai juga telah berhasil menindak 1 kontainer berisi 1.117 roll kain tenun dengan nilai barang mencapai Rp9,8 miliar.
Menteri Koordinator (Menko) Bidang Politik dan Keamanan (Polkam), Budi Gunawan, mengatakan banyaknya produk selundupan ini yang kemudian membuat industri dalam negeri, salah satunya industri tekstil dan produk tekstil (TPT) tertekan.
“Selama ini industri dalam negeri kita telah mengalami tekanan yang sangat luar biasa, karena harus bersaing dengan produk-produk dari negara lain, terutama produk-produk selundupan. Dari data intelijen keuangan, selama kurun waktu 4 tahun terakhir, total transaksi penyelundupan telah mencapai kurang lebih Rp216 triliun,” kata Budi dalam Konferensi Pers Pengungkapan Hasil Penindakan Kepabeanan dan Cukai 2024, di Kantor Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan, Rawamangun, Jakarta Timur, Kamis (14/11/2024).
Meski total transaksi tersebut berasal dari berbagai komoditas, termasuk mesin, barang elektronik, rokok, minuman keras, narkotika, dan lain sebagainya, penyelundupan tekstil diakui menjadi salah satu yang terbesar.
Pada kesempatan yang sama, Menteri Keuangan, Sri Mulyani, mengungkapkan, dari 12.490 penindakan yang dilakukan sejak Januari-November 2024 di bidang impor, komoditas yang dominan ditindak adalah produk TPT. Pun di bidang fasilitas ekspor, DJBC juga telah berhasil melakukan 178 penindakan dengan nilai Rp38 miliar.
“178 penindakan untuk barang TPT, tekstil dan produk tekstil nilainya Rp38 miliar,” paparnya.
Menurut Ani, sapaan Sri Mulyani, banyaknya impor produk TPT yang masuk ke Indonesia, salah satunya karena kelebihan produksi yang terjadi di negara lain, sehingga memungkinkan produk tersebut dijual dengan harga miring.
Dengan kondisi ini, saat negara tujuan ekspor dari negara produsen menerapkan tarif bea masuk tinggi, praktis dia akan mencari negara lain untuk memasarkan produk TPT mereka.
“Sehingga kemudian barang yang berlebihan itu juga salah satunya adalah muntah dalam bentuk illegal activity (aktivitas ilegal) di Indonesia,” beber dia.
Karena itu, bersama Kementerian Perindustrian dan Kementerian Perdagangan, Kementerian Keuangan masih terus menyelaraskan aturan terkait industri TPT nasional. Sebab, dengan kondisi industri TPT yang saat ini sedang melambat, baik di sisi hulu maupun hilir industri membutuhkan perlindungan yang sepadan.
“Kalau diproteksi tinggi di jenis hulunya, maka produksi garmen (hilir) di dalam negeri juga akan mengalami dampak. Karena berarti (harga) bahan bakunya naik. Kalau kita lepaskan di hulunya, hilirnya senang, hulunya tidak senang. Jadi ini yang koordinasi kami untuk beberapa komoditas yang waktu itu sudah dibahas di bawah Menko Perekonomian,” jelas Ani.
Selain TPT, koordinasi untuk menyusul perlindungan terhadap hulu dan hilir industri juga dilakukan terhadap industri keramik hingga barang-barang elektronik yang berpotensi tersapu tren penyelundupan barang ilegal.
“Karena instrumen seperti bea masuk atau tarif atau bahkan kuota itu kami yang mengeluarkan. Namun sebetulnya itu formulasi kenapa itu dikeluarkan adalah dari kementerian terkait. Jadi kita perlu dan akan terus berkoordinasi, tidak mungkin dari kami mengeluarkan sendiri,” pungkas Ani.
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Bayu Septianto