tirto.id - James Comey, bekas direktur FBI yang sempat dituduh sebagai biang keladi kekalahan Hillary Clinton itu kini jadi pahlawan Demokrat. Mei lalu, James Comey, yang menyelidiki turut campur Rusia dalam pemilu Amerika Serikat pada 2016 silam, dipecat oleh Presiden Trump.
Pada Kamis (8/6/2017) Comey bersaksi di hadapan Komite Intelijen Kongres. Ia menyatakan bahwa Trump dua kali meminta bekas bos FBI itu bersumpah setia pada sang presiden dalam sebuah jamuan malam, tujuh hari setelah pelantikan. Trump mengklaim bahwa dalam satu pertemuan Comey mengatakan “Anda tidak sedang diselidiki” kepada dirinya—yang juga dibantah Comey.
Dilansir dari New York Times, Dalam kesaksiannya, Comey mengatakan ia selalu mencatat pembicaraannya dengan Presiden Trump. Ia yakin, Trump tak bisa dipercaya dan pembohong. Catatan-catatan ini kemudian ia serahkan ke Robert Mueller, penasihat khusus Departemen Kehakiman, yang memiliki kewenangan untuk menyelidiki pemecatan Comey dan upaya-upaya untuk menghalangi penyelidikan yang dilakukan oleh FBI.
Pilpres AS yang sukses mendudukkan Donald Trump di Gedung Putih rupa-rupanya berbuntut panjang dan ruwet.
Pada 5 Juli 2016, Comey mengumumkan dia tidak akan merekomendasikan tuntutan hukum atas hilangnya ribuan email capres Hillary Clinton. Hillary menggunakan server email pribadi selama menjabat menteri luar negeri selama periode pertama pemerintahan Obama (2008-2012), yang sebenarnya dilarang demi keamanan nasional. Namun pada 28 November, dua minggu menjelang pencoblosan, melalui surat Comey memberitahu Kongres bahwa FBI tengah melakukan penyelidikan atas kumpulan email Hillary, yang kemudian ia tegaskan lagi pada 6 November, tiga hari sebelum pemungutan suara. Banyak pengamat menyatakan tindakan Comey secara langsung mengakibatkan kekalahan Hillary.
Meskipun dianggap membawa kekalahan Hillary, Comey juga menjadi kerikil bagi Trump. Dalam wawancara pertamanya sebagai presiden terpilih pada 13 November 2016, Trump mengatakan ia belum memutuskan apakah Comey akan tetap mengepalai FBI. Pada saat bersamaan, perkara dugaan intervensi Rusia belum selesai. Orang-orang di sekitar Trump sendiri memiliki riwayat hubungan dengan pejabat, pengusaha, dan oligarki Rusia. Trump menyatakan bahwa isu koneksi Rusia adalah karangan orang-orang Demokrat untuk menjatuhkan pamornya semasa pilpres 2016.
Pada bulan Desember, Presiden Obama mengusir 35 diplomat Rusia. Letnan Jenderal Michael Flynn, penasihat dan anggota tim transisi Trump, segera mengontak dubes Rusia untuk AS Sergey Kislyak guna membicarakan sanksi Obama. Tindakan Flynn ini lantas jadi blunder kubu Trump, karena meskipun sudah terpilih, melakukan kontak dengan pejabat pemerintahan asing sebelum menjabat tidak diperbolehkan. Flynn sendiri dikenal sebagai seorang jenderal lapangan dengan reputasi yang bermasalah saat memegang jabatan di Defense Intelligence Agency. Pada 13 Februari 2017, menyusul tekanan publik, Flynn mengundurkan diri sebagai Penasihat Keamanan Nasional.
Comey di FBI
Bagaimana dengan Comey?
Jurnalis Branco Marcetic punya catatan panjang tentang rekam jejak Comey di FBI. Di bawah Comey, FBI melakukan penyelidikan atas penyusupan elemen-elemen suprematis kulit putih di tubuh aparat kepolisian--suatu ancaman serius di tengah masifnya agitasi kelompok-kelompok rasis di tengah masyarakat pasca terpilihnya Trump. FBI juga menahan teroris-terosis yang berencana menyerang komunitas muslim AS.
Namun, ketika citra imparsial melekat pada Comey belakangan ini, kebijakan-kebijakan yang diambilnya tak jarang membahayakan kebebasan sipil. Pada 2007, sebelum duduk di pucuk tertinggi FBI, Comey pernah menolak pengembangan program pengawasan domestik di bawah pemerintahan Bush. Namun, begitu menjabat sebagai pimpinan lembaga kepolisian federal itu pada 2013, Comey menekan perusahaan Apple agar melonggarkan sistem enkripsi mereka sehingga otoritas bisa mendapat kesempatan untuk membaca isi telepon genggam siapapun yang dikehendaki. Menurut Marcetic, sudah sejak lama Comey memusuhi enkripsi, dengan alasan sistem tersebut mempersulit kerja-kerja aparat. Tak hanya pengawasan daring. Maret lalu The Guardian menyebutkan, program pencegahan radikalisasi yang dijalankan FBI pun berkembang menjadi program pengawasan dan pengumpulan data intelijen atas muslim AS.
Comey juga mengutuk penyebaran video-video kekerasan polisi terhadap warga sipil, khususnya setelah meletusnya kerusuhan besar di kota Ferguson menyusul pembunuhan seorang laki-laki kulit hitam oleh polisi pada Agustus 2014. Ia mengklaim, penyebaran video menyusahkan aparat untuk mengambil tindakan yang diperlukan karena takut direkam dan berakhir jadi tontonan di Youtube.
Kasus pemecatan Comey ini membuat Trump terancam pemakzulan. Dipecatnya Comey juga menjadi sinyal bahwa Trump mengalami kesulitan mengkonsolidasikan kekuasaannya dengan cara memanfaatkan lembaga-lembaga negara. Persoalan ini tidak hanya dihadapi Trump. Selama dua periode memerintah, Obama mengalami persoalan serupa dengan sejumlah lembaga negara dan agensi. Kegagalan menggolkan calon pengganti hakim agung pengganti Antonin Scalia yang meninggal pada 2016, misalnya. Atau kesulitan-kesulitan lazim yang berkaitan dengan penolakan aparatur hukum di sejumlah negara bagian untuk menikahkan pasangan sesama jenis, yang sudah legal pada 2015.
Dalam hal FBI, Trump mewarisi sebuah agensi dengan wewenang pengawasan yang sangat besar. Dengan menuduh Obama melakukan penyadapan atas Trump Tower, mendesak bawahannya untuk bersumpah setia, dan mundurnya Flynn dari jabatannya, Trump jelas gagal menolong dirinya sendiri.
Penulis: Windu Jusuf
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti