tirto.id - Pemindahan ibu kota ke Kalimantan Timur berpotensi membawa berkah sejumlah pengembang properti di Indonesia. Sebab, sejumlah baron properti telah memiliki tabungan tanah (land banking) dan memulai pembangunannya, jauh sebelum lokasi pusat pemerintahaan baru itu diputuskan.
Wakil Ketua Dewan Pengurus Pusat Real Estate Indonesia (REI), Hari Gani, bahkan menyebut sebagian raja-raja properti di Kalimantan Timur sudah memiliki tanah sejak 15 tahun yang lalu. "Jadi selama ini, lahan itu kan belum berkontribusi,” kata dia.
Salah satunya adalah Agung Podomoro Land, yang tengah menggarap Borneo Bay City di Balikpapan. Proyek di atas lahan reklamasi seluas 5 hektare itu akan dikembangkan dengan konsep superblock yang menggabungkan hunian berupa apartemen, hotel, hingga pusat perbelanjaan mewah.
Dalam sebuah iklan di media cetak tanah air, satu unit apartemen di Borneo Bay City dijual dengan embel-embel 'Ibu Kota Baru'. Harga properti ditawarkan untuk mulai dari Rp700 juta.
Jaraknya ke Penajam Paser Utara, yang digadang-gadang sebagai lokasi baru Ibu Kota juga tak terlalu jauh, yakni sekitar 40 km.
Sebagai salah satu baron properti di tanah air, kinerja keuangan emiten berkode APLN ini juga cukup moncer dan berpotensi merambah bisnisnya di Kalimantan Timur.
Berdasarkan laporan keuangannya di keterbukaan informasi Bursa Efek Indonesia (BEI), APLN sudah mengantongi laba sebesar Rp143,38 miliar dalam 6 bulan pertama tahun 2019. Keuntungan itu ditopang oleh tingginya nilai penjualan dan pendapatan usaha yang pada semester I 2019 tercatat sebesar Rp1,95 triliun.
Selain Agung Podomoro, ada pula Ciputra Grup, yang mengembangkan kawasan perumahan di Jalan MT Haryono Balikpapan. Melalui anak usahnya, Citra Bukit Indah Balikpapan, Ciputra menwarkan hunian berupa rumah dua hingga tiga lantai. Kabarnya, hunian yang dilego seharga Rp800 juta-an itu sudah ludes terjual.
Kinerja perusahaan yang fokus di bidang pengembangan kawasan dan hunian ini juga terbilang cemerlang. Emiten berkode saham CTRA ini membukukan laba bersih sebesar Rp283,1 miliar yang didongkrak oleh kinerja penjualan dan pendapatan usaha sebesar Rp1,64 triliun sepanjang kuartal pertama 2019.
Tak hanya Balikpapan, kota-kota di sisi Utara yang akan berbatasan dengan ibu kota baru juga telah dirambah oleh banyak pengembang. Perusahaan pelat merah Wika Realty, misalnya, sudah masuk lewat proyek Tamansari Grand Samarinda yang berdiri di atas lahan seluas 100 hektare. Di dalam proyek itu, Wika tak hanya membangun kawasan hunian melainkan juga kawasan sentra niaga.
Selain BUMN, ada pula emiten swasta yakni PT Bakrie Land Development yang tengah mengembangkan hotel dan resort degan brand Grand Elty. Namun, Chief Corporate Affairs Bakrie Land Yudi Rizard Hakim belum mau berkomentar apakah bisnisnya bakal merambah ke Kutai Kartanegara dan Penajam Paser Utara, dekat Ibu Kota Baru.
"Masih terlalu dini, lah, kalau mengenai itu," ucapnya saat dihubungi Tirto, Kamis (29/8/2019).
Head of Research and Consultancy Savills Indonesia Anton Sitorus mengatakan, industri properti di dua kota tersebut memang bakal paling banyak diuntungkan. Apalagi, dua kota itu dihubungkan oleh jalan tol Balikpapan-Samarinda yang progres konstruksinya sudah 98,54 persen.
Pembangunan jalan tol sepanjang 99,350 kilometer tersebut akan dilengkapi empat Gerbang Tol (GT) yang ditargetkan rampung akhir 2019. Infrastruktur ini, menurut Anton, berpengaruh pada harga jual tanah di wilayah Ibu Kota Baru. Fakta itu, kata Anton, jelas memberi keuntungan tersendiri bagi pengembang properti di sekitar Balikpapan dan Samarinda.
“Sebenarnya, mereka [pengembang] sudah ada di situ. Tapi dengan adanya pengumuman dari Presiden Jokowi, mereka memanfaatkannya jadi gimmick marketing pakai embel-embel ibu kota baru,” jelas dia.
Masyarakat Berpendapatan Rendah Tersingkir
Kendati demikian, berkah bagi para pengembang justru menjadi kabar kurang sedap bagi masyarakat setempat. Gara-gara rencana ibu kota baru itu, peluang harga tanah dan properti meningkat sangat terbuka.
Menurut CEO Indonesia Property Watch (IPW), Ali Tranghanda, berkah dari pemindahan ibu kota tak selalu bisa dinikmati oleh masyarakat. Sebab, kerap kali, pesatnya pembangunan properti baik hunian maupun kawasan komersial dapat mendongkrak nilai tanah di kawasan tersebut.
Hal ini dapat berakibat pada gentrifikasi atau tersingkirnya masyarakat berpendapatan rendah karena tak dapat membeli atau membayar harga sewa rumah dan pajak yang semakin meningkat.
"Karena sudah pasti yang bisa tinggal di sana masyarakat yang penghasilannya di atas rata-rata," pungkasnya.
Tren harga properti di Balikpapan dalam tiga tahun terakhir ini memang terus merangkak naik. Hal itu terlihat dari indeks harga properti residensial (IHPR) dari Bank Indonesia.
Untuk diketahui, data IHPR ini diperoleh dari survei Harga Properti Residensial (SHPR) yang dilakukan secara triwulanan untuk memperoleh informasi mengenai perkembangan properti residensial, baik pada triwulan bersangkutan maupun perkiraan triwulan berikutnya.
IHPR untuk rumah segmen kecil di Balikpapan naik 0,58 persen pada kuartal II/2019 dari kuartal II/2017. Sementara untuk rumah menengah naik 0,5 persen pada kuartal II/2019 dari kuartal II/2017.
Namun, jika dibandingkan dengan Jakarta, perkembangan harga properti di Balikpapan terbilang pelan. Di Jakarta, IHPR rumah kecil pada kuartal II/2019 naik 5,3 persen dari kuartal II/2017. Begitu juga dengan rumah menengah, naik 5,7 persen.
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Hendra Friana