Menuju konten utama
Mozaik

Barbar, dari Panggilan Rasis Menjadi Kosakata Gaul

Istilah barbar berasal dari bahasa Yunani, bárbaros, yang artinya "pengicau". Bagi mereka, ucapan bangsa lain terdengar sebagai onomatope "barbarbar".

Barbar, dari Panggilan Rasis Menjadi Kosakata Gaul
Header Mozaik Barbar. tirto.id/Parkodi

tirto.id - "7 Pemain Sepak Bola Paling Barbar di Dunia," demikian judul artikel yang saya temukan saat mencari berita tentang Kepler Laveran Lime Ferreira alias Pepe, bek Real Madrid yang kerap mencederai lawan.

Lima tahun lalu, istilah barbar tidak digunakan sesering saat ini, setidaknya dalam pengertian yang sekarang kerap digunakan. Dua sampai tiga tahun terakhir, istilah tersebut semakin marak diucapkan, khususnya di kalangan Gen Z, untuk menyebut sesuatu yang tidak lazim, di luar batas, atau keterlaluan.

Dikutip dari laman froyonion.com, soal mengapa Gen Z gemar memopulerkan istilah gaul, sebagaimana kata barbar dengan pengertian di atas, Wikipediawan Ivan Lanin yang dikenal rajin memperkenalkan padanan Indonesia untuk kosakata asing memiliki jawabannya.

Hal tersebut, menurutnya, disebabkan paparan, status, dan kebutuhan mereka. Gen Z terpapar bahasa gaul dan bahasa Inggris melalui interaksi di dunia nyata dan maya. Penggunaan kedua bahasa itu membuat mereka merasa status sosialnya meningkat karena mengikuti tren dan sesuai dengan lingkungannya sehari-hari.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), lema "barbar" merupakan adjektiva yang artinya "tidak beradab". Kosakata tersebut semakna dengan istilah dalam bahasa Inggris "barbaric" yang artinya "keji, kejam, dan tidak seperti yang diharapkan dari orang-orang yang terpelajar dan saling menghormati".

Berbeda dengan barbar dalam bahasa Indonesia, barbaric dalam bahasa Inggris tidak mengalami pergeseran makna. Sebagai contoh, pada 2022 rumah produksi 20th Century Studio merilis film berjudul Barbarian. Ia seakar dengan kata barbaric, artinya "seseorang yang berperilaku buruk dan tidak menghargai seni, pendidikan, dan lainnya".

Film Barbarian (2022) menceritakan seorang wanita (Tess Marshall, diperankan Georgina Campbell) yang berencana menginap di sebuah homestay yang secara kebetulan sudah ditempati penyewa lain (Keith Toshko, diperankan Bill Skarsgård).

Ketika keduanya sepakat berbagi ruangan, mereka tidak menyadari seorang wanita kotor, buruk rupa, mengalami gangguan mental, dan haus darah yang merupakan produk inses multigenerasi seorang pemerkosa dan pedofil menghuni bungker rumah tersebut.

Istilah barbar berasal dari bahasa Yunani βάρβαρος (bárbaros) yang artinya "pengicau". Di telinga orang Yunani, ucapan bangsa lain terdengar sebagai onomatope "barbarbar". Kata ini kemudian berubah menjadi bárbaros. Ketika orang Romawi meminjam istilah tersebut, mereka melafalkannya menjadi barbaria.

Sikap Anti-Yunani

Semula orang-orang Yunani menyebut bangsa selain dirinya, mulai bangsa Mesir, Persia, India, Kelts, Jermania, Punisia, Etruria, Makedonia, Kartagena, Viking, dan Goth dengan istilah bárbaros, tanpa konotasi negatif.

Pergeseran makna mulai terjadi setelah pecah Perang Persia (492-449 SM), saat Kekaisaran Persia yang tengah memuncaki kejayaan menggempur polis-polis Yunani. Pertempuran paling penting dari rangkaian perang tersebut adalah invasi sepanjang 490 hingga 479 SM atas titah Darius Yang Agung.

Perang Persia tidak meletus begitu saja. Semua bermula pada 559 SM, ketika Cyrus II mendirikan dinasti Achaemenian dan mencanangkan perluasan wilayah tanpa henti sampai para penggantinya berhasil menaklukkan wilayah yang terbentang antara lembah Sungai Indus (Pakistan) hingga Laut Aegea (Yunani).

Ancaman Persia mulai nyata setelah Cyrus II mengalahkan raja Lydia yang bernama Croesus. Sebelum konflik dengan Cyrus II, Croesus adalah penguasa negara-kota yang berpusat di dekat pantai Ionia, wilayah di pesisir barat Turki saat ini. Setelah pecah perang pada 546 SM dengan kekalahan di pihak Croesus, Cyrus II menjadi penguasa baru daerah tersebut.

Hingga 490 SM, pertempuran demi pertempuran antara Persia dan polis-polis Yunani terus berlangsung. Beberapa wilayah Yunani yang jatuh ke tangan musuh antara lain Carystus, Cyclades, Eretria, Marathon, dan Pulau Naxos.

Sebelum invasi pasukan Persia, sejumlah polis Yunani bertikai satu sama lain. Konflik tersebut berakhir setelah mereka menyepakati gencatan senjata dan bekerja sama memperkuat angkatan perang untuk menghadapi balatentara Persia.

Koalisi polis-polis Yunani nyatanya merepotkan pasukan Persia dan membuat mereka menderita kekalahan beruntun. Meski dalam pertempuran Thermopylae pasukan Persia berhasil menaklukkan Athena dan membumihanguskannya, mereka dikalahkan pasukan gabungan Yunani dalam pertempuran Salamis pada 480 SM.

Satu tahun berikutnya dalam pertempuran Plataea, koalisi pasukan Yunani mengakhiri mimpi dinasti Achaemenian untuk menguasai wilayah tersebut. Sisa-sisa armada perang mereka berhasil dihancurkan dalam pertempuran Mycale. Terakhir, pasukan Persia benar-benar harus pulang ke negerinya setelah diusir dari Sestos dan Byzantium.

Pertempuran demi pertempuran yang berlangsung satu abad dengan pasukan Persia membuat bangsa Yunani menambahkan makna baru pada kata bárbaros atau barbar,yaitu sikap anti-Yunani, sebuah sikap rendah yang mereka sematkan pada bangsa Persia, seperti serakah, pengecut, kejam, culas, dan tidak beradab.

Hipokrisi Romawi

Ketika bangsa Romawi menyerap istilah bárbaros dan melafalkannya menjadi barbaria, pergeseran makna kembali terjadi. Bagi mereka, barbaria adalah semua bangsa yang tidak mengadopsi budaya Greco-Roman, khususnya bangsa yang terus memberikan ancaman di perbatasan wilayah mereka, baik berasal dari Eropa maupun Asia.

Di mata orang Romawi, barbar adalah suku atau bangsa yang berbeda, yang rendah dan tidak beradab, yang mengancam eksistensi mereka. Beberapa yang bisa disebut adalah Suku Hun di Kazakhstan, suku Vandal di Skandinavia, suku Pict di Britania, suku Jermania di Swiss, Belgia, Luxemburg, dan Jerman, juga suku Sarmatia di Iran.

Sejarawan Romawi, Tacitus, menggambarkan karakter bangsa Jermania dalam karyanya yang berjudul Germania dengan orang-orang yang lebih memilih perang dan menyabung nyawa dari pada mengolah lahan pertanian dan bersabar menunggu musim panen tiba.

Bagi mereka, lanjut sejarawan yang hidup pada abad pertama itu, bercocok tanam adalah pekerjaan orang yang lemah, rendah, dan tidak memiliki gairah hidup. Tacitus percaya bahwa orang barbar, khususnya Jermania, lebih suka mencuri, merampok, dan membunuh untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dibanding menanam sendiri.

Infografik Mozaik Barbar

Infografik Mozaik Barbar. tirto.id/Parkodi

Seturut Ludwig Heinrich Dyck dalam The Roman Barbarian Wars (2015: XVI), meski ada benarnya, stereotipe yang disematkan bangsa Romawi terhadap suku-suku barbar menunjukkan hipokrisi. Bagaimanapun imperium Romawi juga dibangun melalui agresi, penaklukan, perbudakan, dan pembantaian bangsa lain.

Sejarah juga mencatat bangsa Romawi kerap mengadakan pertunjukan skala besar, terutama dari segi kekejamannya, yang tidak pernah diadakan bangsa lain di dunia. Ribuan gladiator, tawanan perang, budak, juga binatang buas secara rutin diadu, disiksa, dan dibunuh demi menghibur rakyatnya yang "memiliki peradaban adiluhung".

Pandangan rasis bangsa Romawi juga mengabaikan realitas bangsa Jermania yang terdiri dari banyak suku, yang masing-masing memiliki motif beragam dalam berinteraksi dengan bangsa Romawi. Ada suku yang menjalin kontak dagang, ada yang membentuk aliansi politik, ada yang terlibat konflik, dan ada yang memilih tidak berhubungan sama sekali.

Meski demikian, harus diakui dominasi politik dan militer imperium Romawi mulai mengalami erosi sejak suku-suku barbar membangun konfederasi dan melakukan migrasi besar-besaran ke wilayah Romawi dengan menyeberangi Rungai Rhine pada akhir 406.

Migrasi suku-suku barbar, dikenal juga dengan Invasi Barbar, di antaranya suku Jermania, Hun, Avar, dan Slavia, merupakan periode sejarah yang sangat penting di Eropa. Peristiwa tersebut menandai kemunduran imperium Romawi (Barat) dan dimulainya periode penuh gejolak serta runtuhnya tatanan Romawi di banyak provinsi.

Para sejarawan bersilang pendapat tentang penyebab migrasi suku-suku barbar. Satu pendapat menyatakan mereka ingin menjarah kota-kota Romawi.

Pendapat lain menyatakan mereka mengungsi akibat entitas politik yang lebih kuat, sebagaimana suku Hun yang mengungsi ke barat pasca pembangunan Tembok Besar Cina, yang membawa efek domino berupa migrasi suku-suku Jermania ke wilayah Romawi.

Baca juga artikel terkait MOZAIK atau tulisan lainnya dari Firdaus Agung

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Firdaus Agung
Penulis: Firdaus Agung
Editor: Irfan Teguh Pribadi