Menuju konten utama

Bappenas Sebut Konsumsi Rokok Dorong Tingginya Angka Kemiskinan

Pola belanja atau konsumsi barang yang tidak produktif seperti rokok dapat mendorong tingkat kemiskinan seseorang.

Bappenas Sebut Konsumsi Rokok Dorong Tingginya Angka Kemiskinan
Ilustrasi perokok. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Menteri Perencanaan Pembangunan/Bappenas Bambang Brodjonegoro menyebutkan pola belanja/konsumsi adalah satu faktor penentu tingkat kemiskinan seseorang, selain inflasi negara. Pola belanja atau konsumsi barang yang tidak produktif dapat mendorong tingkat kemiskinan seseorang.

Adapun barang tidak produktif itu adalah rokok. Bambang menyebutkan, rokok menyumbang urutan kedua terbesar nasional penyumbang angka kemiskinan di Indonesia setelah beras.

Angka kemiskinan karena konsumsi rokok di tingkat perkotaan sebesar 9,98 persen, sedangkan di tingkat pendesaan lebih besar, yaitu 10,70 persen. Sementara itu, tingkat kemiskinan Indonesia pada data terakhir September 2017 mencapai 10,12 persen atau 26,58 juta orang.

“Konsumsi tidak produktif bisa bikin orang miskin. Konsumsi aja yang enggak buat orang susah. Uang rokok enggak cuma bisa mengurangi penghasilan bulanan, tapi juga menurunkan kesehatan,” ujar Bambang di kantor Bappenas Jakarta, Selasa (9/1/2018).

“Jangan anggap rokok bisa bikin orang miskin karena penetapan kenaikan harganya,” katanya menambahkan.

Beberapa komoditas makanan yang mempengaruhi tingkat kemiskinan, memang memberikan besaran pengaruh yang berbeda di pedesaan dan di perkotaan. Misalnya, beras di perkotaan menyumbang 18,80 persen, di pedesaan 24,52 persen.

Daging sapi di perkotaan menyumbang 5,71 persen, di pedesaan 2,83 persen. Telur ayam ras di perkotaan menyumbang 3,63 persen, di pedesaan 3,18 persen. Daging ayam ras menyumbang kemiskinan di perkotaan sebesar 3,36 persen, di pedesaan 2,22 persen. Lalu, ada mie instan menyumbang kemiskinan di perkotaan sebesar 2,24 persen, di pedesaan 2,11 persen.

“Kalau harga beras enggak dijaga bisa mendorong kenaikan garis kemiskinan. Pedesaan tentu lebih berpengaruh karena 24,52 persen lebih tinggi dari perkotaan. Jadi lebih penting untuk bisa menjaga harga di tingkat pedesaan,” ungkapnya.

Mi Instan dan Daging Sapi Punya Intervensi pada Kemiskinan

Sementara itu, ada beberapa faktor komoditas yang menarik diungkapkan Bambang, yaitu mi instan. Meski tidak memiliki kandung gizi yang cukup baik, nyatanya mi instan memiliki intervensi terhadap tingkat kemiskinan masyarakat Indonesia.

Bahkan pengaruhnya lebih tinggi ketimbang komoditas bawang merah di perkotaan 1,47 persen sementara di pedesaan 1,83 persen; roti yang diperkotaan 1,63 persen sedangkan di pedesaan 1,75 persen; tempe yang diperkotaan 1,50 persen namun di pedesaan 1,45 persen.

“Kita lihat netral aja walaupun mi instan enggak bergizi banget, tapi juga banyak dikonsumsi sebagai sumber makanan pengganti. Makanya, pabrik mi instan jangan semena-mena naikkan harga,” ucapnya.

Sementara itu, merujuk pada data Bappenas, mulai September 2016 daging sapi muncul sebagai faktor penentu tingkat kemiskinan yang cukup tinggi di peringkat lima besar. Pada data September 2016 pengaruhnya di perkotaan sebesar 4,98 persen, di pedesaan 3,47 persen.

Menurut Bambang itu adalah hal menarik yang diartikannya positif, bahwa mulai muncul kesadaran masyarakat untuk mengkonsumsi sumber gizi yang baik.

“Daging mulai muncul 2016. Ini adalah hal bagus. Sapi udah menjadi kebutuhan karena menganggap menjadi sumber protein. Di desa tidak setinggi di kota pengaruhnya. Desa hanya menggantikan mi instan, itu bisa menjadi proses yang bagus bahwa pemahamannya daging sapi menggantikan kebutuhan mi instan,” terangnya.

Baca juga artikel terkait KEMISKINAN atau tulisan lainnya dari Shintaloka Pradita Sicca

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Shintaloka Pradita Sicca
Penulis: Shintaloka Pradita Sicca
Editor: Yuliana Ratnasari