Menuju konten utama

Bappeda Akui Program Pengentasan Kemiskinan DKI Berjalan Stagnan

Kepala Bappeda DKI Jakarta Tuty Kusumawati mengungkapkan program pengentasan kemiskinan DKI dari tahun ke tahun seolah berjalan stagnan.

Bappeda Akui Program Pengentasan Kemiskinan DKI Berjalan Stagnan
Warga beraktivitas di pemukiman yang berdiri di pinggir rel keretan Jalan terusan Rusun Benhil, Jakarta, Senin (04/12/2017). tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Badan Perencana Pembangunan Daerah (Bappeda) DKI Jakarta menyatakan garis kemiskinan di ibu kota dengan pendekatan standar biaya pengeluaran, terus meningkat, lebih tinggi daripada rata-rata nasional. Artinya, tuntutan untuk meningkatkan kualitas masyarakat Jakarta lebih tinggi dari kota-kota lain di Indonesia.

Namun, Kepala Bappeda DKI Jakarta Tuty Kusumawati mengungkapkan program pengentasan kemiskinan DKI dari tahun ke tahun seolah berjalan stagnan. Padahal, menurutnya, Pemprov DKI sudah berusaha mengintervensi untuk warganya mendapatkan kesejahteraan.

“Stagnannya pengentasan kemiskinan di Jakarta dari tahun ke tahun adalah PR bersama kita yang perlu dipecahkan ke depannya.” ujar Tuty kepada Tirto pada Selasa malam (12/12/2017).

Data Badan Pusat Statistik (BPS), Garis Kemiskinan (GK) DKI Jakarta pada Maret 2017 sebesar Rp536.546 per kapita per bulan, lebih tinggi dibandingkan dengan GK September 2016 sebesar Rp520.690 per kapita per bulan, dan dari GK Maret 2016 sebesar Rp510.359 per kapita per bulan.

“Garis kemiskinan BPS itu bukan pendapatan, tapi pendekatannya pengeluaran rata-rata per kapita per bulan. Jadi misalnya, kalau 1 rumah tangga ada 4 anggota, maka 4 dikali Rp510 ribu jadi Rp2 jutaan lebih per bulan per rumah tangga. Kalau untuk apa saja yang dikeluarkan dari Rp510 ribu ini ada golongan pangan dan non-pangan,” kata dia.

Untuk itu, Tutty menuturkan, Bappeda menyiapkan strategi untuk mengurangi biaya pengeluaran dengan diberikannya berbagai bantuan. Di antaranya, Kartu Jakarta Pintar (KJP) Plus untuk mengurangi biaya keperluan sekolah, ada untuk subsidi pangan, dan bantuan untuk naik bus gratis.

Selain itu, dipersiapkan pula terobosan pelatihan pemberdayaan life skill masyarakat dengan kriteria usia produktif, melalui program unggulan Gubernur Anies Baswedan dan Wakil Gubernur DKI Sandiaga Uno, One Kecamatan One Centre of Entrpreneurship (OK OCE), atau program lainnya yang sudah ada.

“Yang mampu diberdayakan itu masyarakat usia produktif, tapi tidak tertutup kemungkinan lansia juga bisa diberdayakan. Tentu saja sasaran utama penduduk usia produktif,” ucapnya.

Jumlah masyarakat usia produktif yang bisa diberdayakan, Tuty mengatakan, berdasarkan Basis Data Terpadu (BDT) saat ini terdapat 1 juta jiwa. “Kalau sekarang di sana ada satu jutaan yang akan kita entaskan. Itu sasara berdasarkan BDT. Ke depannya akan dicoba terus dimutakhirkan secara mandiri ataupun yang mampu dipertanggungjawabkan,” ujarnya.

Di sisi lain Tuty mengungkapkan bahwa selain perlu disusunnya strategi program, jug aperlu diperhatikan ketepatan sasaran penerima bantuan. Menurutnya, ketepatan sasaran menjadi hal yang krusial.

“Mengingat bahwa sasaran yang ada di BDT itu di jumlah tertentu, tapi yang sudah kita intervensi itu sebenarnya jauh lebih tinggi dari yang ada di BDT,” ungkapnya.

Sehingga, ke depan tantangan jajaran Bappeda adalah mengejar tingkat standar kemiskinan DKI Jakarta sejalan dengan menyiapkan tingkat ketepatan dalam distribusi bantuan kepada masyarakat yang membutuhkan.

“Mereka [masyarakat] yang perlu dientaskan itu memang dientaskan secara tepat sasaran atau tidak ini yang krusial kita perlu evaluasi dan perbaiki dan perkuat data basisnya ini. Kalau kita punya data basis yang kuat dan kita lakukan intervensi, maka tingkat keakuratan pengentasan kemiskinan ini akan semakin kuat,” jelasnya.

Baca juga artikel terkait ANGKA KEMISKINAN atau tulisan lainnya dari Yuliana Ratnasari

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Shintaloka Pradita Sicca
Penulis: Yuliana Ratnasari
Editor: Yuliana Ratnasari