tirto.id - Kamis, 19 Oktober lalu, Kapolri Jenderal Tito Karnavian membuat pernyataan kontroversial kepada BBC Indonesia bahwa penyidik perlu menanyakan apakah “korban nyaman atau tidak” saat diperkosa. Pernyataan ini menyulut reaksi keras terutama dari aktivis perempuan, yang dinilai “tidak sensitif” terhadap korban.
Sebagaimana klarifikasi Tito kepada BBC Indonesia, istilah “nyaman” dan “tidak nyaman” adalah “bahasa operasional” yang dipakai penyidik buat “memastikan akurasi dan bukti,” menepis klaim palsu, dan mencari tahu apakah tindakan itu berdasarkan persetujuan atau tidak.
Pertanyaannya: Bagaimana sebenarnya penanganan korban kekerasan seksual dan perkosaan oleh kepolisian?
Untuk menjawabnya, kami mendatangi Polsek Pesanggrahan Jakarta Selatan pada 17 November lalu. Kami bertemu Bripka Imam Syaifudin, penyidik dari reserse kriminal yang juga menangani Sub Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA). Divisi ini baru berjalan aktif sejak dua tahun lalu dan di Pesanggrahan adalah segelintir Polsek di daerah Metro Jaya yang memilikinya.
Sub unit PPA Polsek Pesanggrahan memiliki ruang pemeriksaan khusus, seluas 4 x 3 meter persegi, dan ada sebuah meja dan tiga kursi. Satu kursi untuk penyidik dan dua kursi untuk terperiksa.
Dalam penanganan kasus korban perkosaan, baik anak maupun dewasa, unit PPA memiliki dua polisi wanita sebagai penyidik pembantu. Biasanya, polisi memeriksa pelapor lebih dulu lewat metode wawancara. Tujuannya, mengetahui kondisi psikologis korban apakah sudah siap menjalani proses pemeriksaan secara menyeluruh. Setelahnya, korban diberi surat pengantar untuk melakukan visum.
Menurut Bripka Imam, ada perbedaan signifikan untuk mengetahui seseorang telah mengalami perkosaan atau tidak berdasarkan hasil visum.
“Untuk hubungan seks yang dilakukan 'suka sama suka', bukaan liang sanggama tampak lebih teratur. Sementara hasil tindak perkosaan akan terlihat tidak beraturan karena ada perlawanan,” katanya. Hasil visum itu dipakai sebagai salah satu bukti untuk menganalisis kasus.
Namun, hasil visum berdasarkan penilaian macam itu bisa gugur seketika bila korban tak sadarkan diri. “Itu artinya ada fakta lain. Misal, korban dibuat tak sadarkan diri. Berarti kejadian hubungan seks itu, kan, bukan atas kemauan korban. Itu bisa jadi bahan analisis kami,” kata Imam.
Soal pertanyaan-pertanyaan dalam Berita Acara Pemeriksaa alias BAP, terutama untuk poin yang dinilai kalangan aktivis perempuan “tidak sensitif” terhadap korban, Imam tak mengamini tapi juga tak menampik. Ia menunjukkan salah satu BAP korban perkosaan anak. Pada poin ketujuh dari BAP lima halaman itu, tertulis:
Apa yang saudari rasakan saat saudari disetubuhi oleh terlapor? Jelaskan!
Di bawahnya, tersedia kolom untuk diisi jawaban korban. Pertanyaan itu harus diajukan, kata Imam, “untuk keperluan analisis polisi apakah kasus tersebut termasuk ke dalam tindak pidana perkosaan atau [hubungan] 'suka sama suka'.”
“Tentu hal itu dilakukan dengan teknik khusus. Pemeriksaan dilakukan di ruang tertutup dan biasanya yang menangani adalah polwan karena kebanyakan korban adalah perempuan. Dengan begitu, korban bisa lebih nyaman,” ujar Imam.
Tetapi kita menemukan kompleksitas lain: bagaimana jika aktivitas seksual itu terjadi karena hasil bujuk rayu pelaku?
Polisi tentu bakal kesulitan untuk menyimpulkan kasus itu sebagai perkosaan karena “kurang bukti” yang cukup.
Alhasil, polisi biasanya hanya akan memakai pasal persetubuhan ketimbang perkosaan. Bila kasus ini terjadi pada orang dewasa, alias di atas 18 tahun, pelaku bisa bebas—kecuali salah satu atau kedua orang ini “terikat dalam perkawinan”, yang bisa diusut pasal zina sepanjang ada pengaduan dari pasangan resmi.
Di tingkat kotamadya, kami menyambangi kantor Polres Metro Jakarta Selatan pada 10 November lalu. Kami bertemu AKP Nunu Suparmi, Kanit V PPA Polres Metro Jakarta Selatan. Kami mengonfirmasi pernyataan Kapolri. Nunu mengiyakan bahwa dalam prosedur penanganan korban perkosaan, polisi memang menanyakan apakah pelapor “menikmati berhubungan seks atau tidak.”
“Untuk kepentingan penyidikan. Untuk kasus dengan korban orang dewasa, unsur kekerasan, perlawanan, atau ancaman kekerasan harus terpenuhi,” kata Nunu.
Ia memperlihatkan salah satu contoh BAP. Dalam poin kesembilan, pertanyaannya: Apakah saudari menikmati berhubungan seks atau tidak?
Pertanyaan ini ditujukan untuk mengetahui apakah ada unsur persetujuan (consent) atau tidak dalam kejadian tersebut.
Selain pertanyaan itu, petugas Unit Pelayanan Perempuan dan Anak kerap menanyakan detail kronologis. Misalnya, jika peristiwa terjadi di hotel, akan ditanyakan: Siapa yang mengajak ke hotel? Siapa yang memesan hotel? Siapa yang masuk duluan?
“Masak kalau diperkosa dia mau masuk hotel? Terlebih kalau ternyata korban yang memesan dan mengajak ke hotel tersebut,” kata Nunu.
Pertanyaan polisi juga mendetil hingga posisi saat berhubungan seks.
“Kalau posisi korban di atas, bisa jadi itu bukan perkosaan,” tambah Nunu.
Alasan Polisi: Untuk Menghindari Klaim Palsu
Tidak satu-dua kali Nunu menangani kasus laporan palsu perkosaan. Misalnya, ia pernah menangani sebuah perempuan yang melaporkan diperkosa hingga hamil oleh sang pacar, dan menuntut pertanggungjawaban. Namun, hasil visum menggambarkan bahwa korban baru berhubungan badan dengan pelaku selama 23 minggu. Sementara hasil USG menunjukkan usia kehamilan korban sudah memasuki minggu ke-34.
“Ternyata motifnya harta. Si terlapor ini orang kaya. Hal-hal seperti ini yang kami hindari. Kami lebih baik melepas 10 orang bersalah ketimbang menahan satu orang tidak bersalah,” kata Nunu.
Menanggapi hal itu, Jackie Viemilawati dari Yayasan Pulih menyebut kasus seperti itu, meski ada tetapi sedikit secara statistik.
“Berapa sih perempuan yang berani melakukan itu? Sementara di kami, ada jauh lebih banyak korban yang bahkan untuk melapor saja sudah sangat berat bagi mereka. Apalagi sampai buat laporan palsu,” ujar Jackie.
Azriana, Ketua Komnas Perempuan, menyatakan bahwa pengusutan polisi yang harus membuktikan ada “penetrasi dengan pemaksaan” justru “melukai korban”. Ia bilang hukum soal pemerkosaan harus direvisi, harus memasukkan unsur “relasi kuasa yang timpang” sehingga “korban dalam situasi tak berdaya.”
“Polisi tinggal mengacu unsur-unsur tidak berdaya terpenuhi tidak. Kita enggak bisa hanya bergantung pada penegak hukum, misalnya polisi agar tidak diskriminasi. Tetap saja, kalau yang dibuktikan harus kekerasan fisik, akan kembali lagi pemeriksaannya ke arah sana,” kata Azriana.
Kesenjangan Jumlah Polwan Capai 95 Persen
Di tingkat provinsi, kami menemui AKP Endang Sri Lestari, Kanit PPA Polda Metro Jaya. Meski terletak di salah satu pojok terpencil kawasan Polda Metro, tetapi Unit PPA Polda tampak lebih ramah anak ketimbang di Polres ataupun Polsek.
Di dekat pintu masuk ada ayunan dan perosotan untuk bermain anak. Dekorasi pintu masuk dihiasi pot tanaman dan gambar-gambar lucu. Cat merah muda mendominasi ruangan kanit.
Ada dua ruangan yang saling terhubung. Satu ruang pemeriksaan diisi satu sofa panjang dan sofa kecil. Satu ruang bermain anak-anak, lengkap dengan mainan dan boneka.
Fakta lain: interior ini baru dibangun setahun lalu, itu pun dari kocek pribadi sang kanit. Endang berkata, unit PPA “tak punya anggaran khusus” untuk membuat ruang pemeriksaan yang nyaman dan ramah anak.
Sama seperti di Polsek dan Polres, kami mengonfirmasi soal penanganan korban perkosaan. Endang tak menampik bahwa pertanyaan-pertanyaan yang “tidak sensitif” korban memang diajukan demi kepentingan penyidikan.
“Namun kita bisa menjamin hal itu sudah kita lakukan sehumanis mungkin,” ujar Endang, awal November lalu
Unit PPA Polda Metro Jaya saat ini memiliki dua polwan penyidik dan tujuh polisi laki-laki. Endang masih membutuhkan tenaga polwan tambahan untuk terutama menangani sejumlah kasus perkosaan.
“Program 7.000 polwan itu berpencar semua. Ada yang Ditlantas, intel, Sabhara. Padahal, tadinya program itu diprioritaskan untuk mengisi pos PPA di Polres maupun Polsek,” katanya.
Dari data Biro Bina Karir Mabes Polri yang kami terima mengenai sebaran polwan di seluruh daerah, hingga saat ini ada sekitar 23 ribu personel polwan dari lebih 400 ribu personel polri. Artinya, jumlah polwan hanya sampai lima persen dari keseluruhan anggota polri. Jumlah yang amat minim ini harus disebar lagi ke sejumlah divisi.
Kombes Rakhmad Setiadi, kepala bagian penugasan khusus Mabes Polri, menyatakan pembagian polwan di sejumlah fungsi “sudah sesuai prosedur,” dengan mekanisme assessment dan kompetensi personel.
“Jadi bukan berarti polwan harus ditempatkan di PPA. Kalau dia berbakat di bidang lain, ya kami akan arahkan ke sana. Lagi pula, masak sekian banyak polwan ditempatkan di PPA semua?” kata Rakhmad.
Rakhmad berkata “isu kesetaraan gender sudah selesai di institusi Polri.”
“Tak perlu dibicarakan lagi. Sekarang yang bicara adalah kompetensi,” kata dia.
Ia menyatakan perlakuan diskriminatif petugas kepolisian terhadap korban perkosaan “hanyalah ulah sebagian oknum.”
“Kami sudah memberikan pembekalan terhadap semua personel penyidik, terutama polwan. jika ada yang melanggar, ya akan kami kenakan sanksi etik.”
Visum Masih Harus Dibayar Korban Perkosaan
Masalah lain dalam kasus perkosaan adalah visum. Hingga saat ini biaya visum masih dibebankan kepada korban. Jika ingin gratis, visum harus dilakukan di RS Polri atau harus ikut kepesertaan Jaminan Kesehatan Nasional. Padahal korban perkosaan bisa berasal dari daerah mana saja dan belum tentu pemegang kartu BPJS Kesehatan.
Hal ini yang dirasakan Rara, 32 tahun, saat memroses kasus perkosaan yang menimpanya 14 tahun lalu. Saat itu ia harus membiayai visum di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo dengan biaya sekitar Rp1 juta.
Belakangan, angin segar berembus dari Pemprov DKI Jakarta yang mengeluarkan Pergub 1564 tahun 2017. Surat tertanggal 22 Agustus 2017 ini menyebut bahwa pemprov akan memfasilitasi dan membiayai visum terhadap korban tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak di Puskesmas atau RSUD di DKI Jakarta.
Tetapi, di luar Jakarta, masih ada 32 provinsi yang belum dibebaskan dari biaya visum korban kekerasan. Terlebih di daerah-daerah yang akses kesehatannya terbatas. Padahal angka kekerasan seksual dan perkosaan justru paling banyak di daerah.
Sejak 2011 hingga 2013, Sumatera Utara menduduki peringkat teratas provinsi dengan kasus perkosaan terbanyak sebesar 284 kasus. Sementara 2014 hingga 2015, statistik bergeser ke Provinsi Riau dengan jumlah kasus yang sama.
Polwan Belum Tentu Sensitif Menangani Kasus Perkosaan
Ada asumsi: bila polwan yang menangani kasus kekerasan terhadap perempuan di unit PPA, maka ia bisa membantu banyak proses advokasi. Karena sama gendernya, orang serta merta menganggap polwan akan lebih memahami kondisi para pelapor, sehingga pelapor akan merasa lebih nyaman saat membuat BAP.
Praktiknya, belum tentu polwan-polwan yang bertugas di PPA bisa cakap dan melek isu gender dalam menangani kasus korban perkosaan.
Dalam Perempuan di Persidangan: Pemantauan Peradilan Berperspektif Perempuan (2006), Irianto dan Nurtjahyo mengungkapkan bahwa tak semua petugas kepolisian laki-laki tidak sensitif gender; begitupun sebaliknya. Artinya, pemahaman gender tidak mengenal jenis kelamin.
Perempuan-perempuan pun masih banyak yang salah kaprah menginterpretasi kekerasan terhadap kaumnya. Detail-detail yang diceritakan penyintas macam posisi saat disetubuhi atau reaksi penyintas, sangat mungkin dikategorikan bukan perkosaan, baik oleh polisi laki-laki maupun perempuan.
Pola memang bisa ditangkap—liang sanggama terkoyak atau korban melawan; sebagaimana yang ingin dicari tahu oleh polisi dalam proses penyidikan—tetapi ia tidak menjadi pembenaran untuk digeneralisasi dalam setiap kasus kekerasan seksual.
Komnas Perempuan, yang merilis publikasi Sistem Peradilan Pidana Terpadu yang Berkeadilan Gender dalam Penanganan Kasus Kekerasan terhadap Perempuan, mencantumkan temuan-temuan lain soal bagaimana para penegak hukum tak sensitif terhadap korban perkosaan. Di instansi kejaksaan, misalnya, penuntut justru tidak membela penyintas jika ada pertanyaan memojokkan dari pengacara terdakwa saat petsidangan.
Dalam Perempuan di Persidangan, ada contoh penuntut umum yang tidak sensitif terhadap penyintas. Dalam kasus pencabulan kakek terhadap dua bocah SD di daerah Jakarta Timur, penuntut umum bahkan sempat berulang kali menanyakan tentang bagaimana jari-jari pelaku memainkan alat kelamin penyintas. Pertanyaan serupa pun diucapkan oleh hakim yang menangani kasus ini.
Irianto dan Nurtjahyo menilai, pertanyaan-pertanyaan macam ini adalah bentuk pengulangan kekerasan terhadap korban. Para penyintas dipaksa lagi untuk mengenang detail peristiwa yang sangat ingin mereka lupakan.
Penulis: Restu Diantina Putri
Editor: Fahri Salam