tirto.id - Tawa renyah tiga anak berderai bersama debur ombak Laut Banda yang memantai ke pesisir. Baru saja mereka menyaksikan adegan komedi situasi yang diperagakan piawai dan memakan korban seorang opsir Belanda yang mati angin.
Latarnya sederhana. Ketiga anak itu tengah berkreasi mengecat sampan mereka dengan dua warna: merah dan putih. Dua paman yang karib sekali dengan mereka menyertai pula.
Tiba-tiba seorang opsir Belanda datang dan mencak-mencak.
“Tuan harus memberikan warna biru di sampan itu. Tidak boleh hanya merah dan putih.”
Tentu saja, yang dihardik terkejut, tetapi seorang dari dua paman itu menangkis, “Bagaimana aku bisa memberikan warna biru pada perahu ini, sementara laut sendiri sudah berwarna biru? Menjadi aneh jika ada warna biru di sampan saat berlayar di laut yang juga biru!”
Sang opsir kelihatan gusar. Ia pun balik kanan. Berderailah tawa tiga anak yang menyaksikan “kemenangan” paman mereka atas argumentasi opsir Belanda itu. Itu baru satu cerita.
Kali lain, satu dari tiga anak bersaudara itu tengah bermain kasti di halaman rumah. Tak tahu karena kelebihan energi atau terlalu bersemangat, satu kali si anak memukul bola itu keras-keras dan.... prang!
Bencana besar kini tampak depan matanya: vas bunga di atas meja pecah, dan air dalam vas tumpah membasahi sebuah buku yang persis di sebelahnya. Sang paman yang dikenal sangat telaten merawat buku tentu terperanjat dan geram bukan kepalang melihat buku basah yang sudah mirip diangkat dari kolam itu.
Apa boleh buat, anak-anak itu kian takut ketika sang paman menggerutu marah, “Selain bahasa Belanda, matematika, dan sejarah, anak-anak harus diajarkan pula bagaimana menghargai sebuah buku!”
Warna Baru bagi Pulau Pengasingan
Pernak-pernik dua kejadian di atas tentu berada di ambang fiksi dan fakta. Sergius Sutanto pun menukilnya dalam novel biopik Hatta: Aku Datang Karena Sejarah (2014) sebagai kisah kecil menggambarkan hubungan Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, dan tiga anak angkat mereka dari keluarga Baadila: Des Alwi, Mimi, dan Lily. Masih ada dua anak lain dari keluarga yang sama yang tidak masuk dalam semesta pengisahan novel itu, yakni Does dan Ali.
Kehidupan Hatta dan Sjahrir sebagai tahanan politik di Banda Neira melengkapi riwayat pembuangan Tjipto Mangoenkoesoemo dan Iwa Koesoema Soemantri yang sudah lebih dahulu ditahan di pulau ini.
Tjipto menjadi tahanan politik pertama yang dikirim pemerintah kolonial ke Banda Neira pada 1927 karena dianggap terlibat Pemberontakan 1926. Sementara Iwa tiba pada 1929 karena aktivitasnya sebagai anggota Partai Nasional Indonesia (PNI) yang mengajak pekerja-pekerja kebun karet Deli untuk berserikat. Masing-masing datang membawa keluarga dan menghuni sebuah rumah sewaan.
Iwa maupun Tjipto cepat dikenal masyarakat pulau yang hanya seluas 3 kilometer persegi itu sebagai tokoh. Perubahan pun tampak dalam diri keduanya.
Sejak dibuang, Iwa mendalami agama dan tekanan dari luar membuatnya menjadi agak dogmatis dan tidak lagi terbuka sebagai nasionalis. Lain kisah dengan Tjipto yang memilih meninggalkan pembicaraan tentang politik dan mendalami mistisisme Jawa, antara lain tentang ajaran manunggaling kawula gusti.
“Tjipto merupakan tokoh aneh di pulau itu. Dia tidak mampu mengompromikan antara ‘cita-cita’ dan ‘kenyataan’. Dia tampaknya keras kepala yang ketinggalan zaman. Misalnya, dia menolak tawaran Belanda untuk pembebasannya dari pengasingan, kecuali pejabat Belanda mengakui bahwa mereka pertama-tama salah ketika mereka meragukan maksud baiknya,” catat Rudolf Mrazek dalam biografi Sjahrir: Politik dan Pengasingan di Indonesia (1996, h. 318).
Karenanya, pemindahan Hatta dan Sjahrir dari Digoel ke Banda Neira memberi gradasi baru bagi pulau pengasingan itu, meski motif sebenarnya adalah upaya menjauhkan keduanya dari tokoh-tokoh komunis yang dibuang di sana.
Harapannya, apabila Hatta dan Sjahrir sebagai eksponen gerakan nasionalis berada di lokasi yang jauh, mereka tidak bisa menyusun rencana pemberontakan baru dengan orang komunis di Digoel.
Makna lain pemindahan ini adalah perbaikan kualitas hidup secara signifikan.
“Banda yang indah telah dihuni dan dibangun oleh penduduk, sedangkan Digul masih hutan belantara dengan penduduk asli yang belum mengenal peradaban,” catat Deliar Noer dalam Mohammad Hatta: Biografi Politik (1990, h. 140).
Tiba di Banda pada awal Januari 1936, Hatta dan Sjahrir cepat larut dalam persahabatan dengan keluarga Iwa dan keluarga Tjipto. Dijemput seorang utusan di dermaga, rumah pertama yang mereka tempati di malam kedatangan adalah rumah Iwa.
“Mr. dan Nyonya Iwa Koesoema Soemantri menerima kami dengan gembira. Keluarga itu pada masa itu mempunyai 3 orang anak yang masih kecil, dua perempuan dan yang paling kecil anak laki-laki,” ungkap Hatta dalam Mohammad Hatta: Memoir (1979, h. 367).
Esoknya, baru mereka pergi ke kantor gezaghebber, administrasi pemerintah, untuk melaporkan kedatangan. Kepala kantor yang menerima mereka menyambut ramah lalu merundingkan jumlah uang saku yang akan mereka peroleh setiap bulan, hingga disepakatilah nominal f 75.
Untuk nominal itu, mereka dapat menyewa sebuah rumah berukuran besar selain memenuhi kebutuhan pokok seperti beras, lauk-pauk, dan sebagainya yang dapat diperoleh di toko milik Ho Kok Tjai di Pecinan Neira.
Sebuah rumah besar milik seorang Belanda bernama De Vries disewa Hatta dan Sjahrir dengan biaya f 12.50 sebulan. Tanpa perabotan, rumah besar itu diatur Hatta dan Sjahrir untuk mereka berdua, mulai dari kamar tidur, ruang makan, hingga ruang tengah.
Mereka pun dibantu oleh keluarga Iwa untuk mengurus persiapan tinggal di rumah itu, mulai dari memasang lampu gas, memasang gorden dan tirai, hingga mencarikan juru masak yang bersedia digaji f 10 dan pembantu dengan gaji f 6 sebulan.
Sesudah meja kursi dan dipan terpasang, Iwa meminta pada seorang keturunan Arab, Bahalwan, untuk mengadakan doa selamatan rumah baru itu sekaligus jamuan makan siang pertama yang diadakan Hatta dan Sjahrir di Banda Neira.
Kegiatan Hatta dan Sjahrir
Tak ubahnya dengan kehidupan sewaktu diasingkan di Digoel, Hatta menata kehidupannya di Banda dengan disiplin waktu. Pagi-pagi ia bangun pukul 05.00, lantas mandi dan sembahyang hingga pukul 06.00. Membaca sambil menyesap kopi tubruk sampai pukul 07.00 dilanjut sarapan hingga pukul 08.00.
Sesudahnya Hatta belajar sampai tengah hari, tidur siang, dan sore hari ia gerak badan dengan menyusuri kebun pala atau ke tepi pantai. Rutinitas ini dibuat secara sistematis untuk memastikan kegiatannya teratur.
Belakangan, Hatta diminta untuk menulis di sejumlah berkala seperti surat kabar Pemandangan, majalah bulanan Sin Tit Po, dan majalah Nationale Commentaren yang dipimpin Sam Ratulangi. Honorarium tulisan ini bisa menambah uang saku bulanannya, selain dipakai memesan buku dari Belanda.
Sementara kegiatan Sjahrir di Banda ialah membuka sekolah nonformal sebagai kesempatan belajar bagi anak-anak yang tidak dapat mendaftar di Hollands Inlandsche School (HIS) yang menjadi satu-satunya tempat belajar di Banda waktu itu.
“Kebanyakan kami belum sekolah karena orang tua harus gelijkgesteld (disamakan dengan orang Eropa secara Hukum) untuk dapat masuk ke sekolah Belanda,” tulis Lily Gamar Sutantio dalam “Kenang-kenangan Akan Jasa-Jasa Baik Oom Sjahrir, Pencinta dan Sahabat Anak-anak” yang dimuat dalam bunga rampai Mengenang Sjahrir (2010, h. 52).
Mula-mula, animo penduduk Banda cukup besar untuk mendaftarkan anak-anak mereka ke sekolah anggitan Sjahrir ini. Akan tetapi, sesudah otoritas Belanda memperingatkan bahwa Sjahrir termasuk orang bembang (bahasa Banda untuk buangan), satu per satu penduduk pun menarik diri dan menyisakan anak-anak keluarga Baadilla, terdiri dari Des Alwi, Lily, Does, dan Mimi sepupu Des.
Sjahrir sendiri yang turun tangan mengurus kegiatan pembelajaran yang materinya berkisar antara sejarah, membaca, berhitung, dan bahasa Belanda.
Di luar pembelajaran reguler, Sjahrir mengajar anak-anak dengan metode eksperimental.
“Apabila tidak sedang menulis surat atau karangan atau mempelajari buku-buku studi, anak-anak diajak jalan-jalan, atau mendaki gunung di Pulau Gunung Api di seberang Pulau Banda,” cerita Lily.
Tujuan Sjahrir ialah menumbuhkan kecintaan anak-anak pada alam. Hal berani lain yang juga diajarkan Sjahrir pada anak-anak itu ialah menumbuhkan bibit nasionalis sejati.
“Dan di pantai yang sunyi kami diajar menyanyi Indonesia Raya dengan keras, leluasa, dan bebas, karena toh tidak didengar orang,” kenang Lily.
Selain sekolah, Sjahrir juga menyediakan jasa menjadi “pokrol bambu”, yakni advokasi legal untuk orang-orang yang buta hukum dan tersandung masalah dengan aparat pemerintah setempat.
Mengandalkan kekuatan getok tular, konsultasi gratisan yang diberikan Sjahrir menarik kunjungan cukup banyak orang yang terbantu sewaktu harus diadili di Landraad. Namun lagi-lagi, dengan peringatan otoritas Belanda bahwa Sjahrir adalah orang buangan, jumlah orang yang meminta bantuan berangsur-angsur berkurang.
Sjahrir tidak kurang akal agar tetap dapat membantu mereka. Ia mengandalkan seorang temannya yang pensiunan KNIL, Bing Versteeg, untuk menjadi perantara yang menyampaikan data-data dan pembelaan kasus-kasus yang ditangani Sjahrir.
Lain itu, dengan pengetahuannya tentang organisasi, Sjahrir juga membantu membuatkan anggaran dasar untuk badan baru yang menyatukan perkumpulan sepak bola dari seluruh Banda yang diberi nama Perbamoe, akronim Persatoean Banda Moeda.
Riwayat Banda Neira sebagai pulau pengasingan berakhir satu demi satu jelang akhir dekade 1930-an. Dimulai dari pemindahan Iwa Koesoema Soemantri ke Makassar pada 1939, disusul setahun berikutnya dengan pembebasan Tjipto Mangoenkoesoemo karena sakit asma yang dia derita cukup parah.
Hatta dan Sjahrir baru dipindahkan pada awal 1942 dengan perkenan untuk mengangkat Des, Lily, dan Mimi sebagai anak angkat, hanya beberapa bulan sebelum Hindia Belanda runtuh ditaklukkan balatentara Jepang dalam Perang Pasifik.
Penulis: Chris Wibisana
Editor: Irfan Teguh Pribadi