Menuju konten utama
Misbar

Balada Cinta Mati Rasa dalam Love Ice Cream

Love Ice Cream menghadirkan kisah ringan untuk diikuti. Namun, caranya mencapai konklusi terkesan terburu-buru.

Balada Cinta Mati Rasa dalam Love Ice Cream
Header Misbar Love Ice Cream. tirto.id/Quita

tirto.id - Es krim adalah salah satu metafora terbaik untuk mengekspresikan cinta. Maka apa jadinya bila rasa es krim itu mendadak hambar? Apakah itu tanda bahwa cinta telah mati rasa tanpa aba-aba?

Demikianlah kira-kira permainan narasi dan visual yang ditampilkan dalam serial Love Ice Cream yang tayang di kanal streaming Vidio. Kisah keseluruhannya sendiri cukup sederhana dan straight to the point. Tontonan yang ringan dan santai untuk mengisi waktu luang.

Kita bakal dipertemukan dengan seorang perempuan bernama Irene (Mawar de Jongh). Dia bekerja sebagai chief designer di Adore, sebuah perusahaan rintisan produsen es krim bercita rasa natural yang dipimpin oleh Bianca (Sahila Hisyam).

Irene memiliki reputasi mentereng sebagai peracik es krim. Resep-resep dan rasa yang dia buat disukai pelanggan dan turut melambungkan reputasi jenama Adore di kancah bisnis FMCG. Namun, di balik kecemerlangan itu, dia selalu merasa rendah diri.

Hobi Irene adalah makan sehingga tubuhnya gemuk. Konsekuensinya, kepercayaan dirinya begitu rendah di muka umum. Dia tak pernah pacaran dan hanya menghabiskan waktu bersama dua sahabatnya, Adam (Philip de May) dan Clara (Defni Yani).

Suatu hari, Bianca melibatkannya dalam sebuah proyek untuk menciptakan produk es krim baru. Proyek tersebut lantas mempertemukan Irene dengan Greg (Krisjiana Baharudin), seorang chef muda yang lama berkarier di Amerika Serikat.

Irene jatuh cinta pada pandangan pertama dan perlahan berobsesi memenangkan perhatian Greg. Obsesi itu lantas memicunya untuk melakukan transformasi drastis pada penampilan fisiknya.

Namun, ada hal yang Irene belum sadari saat itu. Bahwa keputusan yang dia ambil dan jalur yang kini dia tempuh sejatinya membawa konsekuensi besar yang berdampak signifikan terhadap perkembangan kepribadiannya di kemudian hari.

Emosi Visual

Dalam upaya menggambarkan dinamika transisi batiniah Irene dari waktu ke waktu, Adhyatmika selaku sutradara memilih es krim sebagai representasi utama. Es krim lumer, misalnya, mewakili emosi negatif, lalu topping melimpah untuk emosi positif, serta cone yang patah atau remuk untuk gangguan emosi yang luar biasa.

Pilihan estetik ini sesungguhnya cukup menarik. Tahun lalu, film Like and Share turut menerapkan konsep serupa untuk menampilkan kondisi psikologis dan dinamika relasi di antara sepasang protagonisnya.

Yang membuat pendekatan dalam serial ini agak berbeda adalah kemunculan manuver secara tiba-tiba di pertengahan serial. Lidah Irene mendadak mati rasa, tepat setelah dia berhasil menguruskan badan.

Kegagalan sang chief designer mencicipi racikannya sendiri berakibat fatal. Es krimnya menjadi asam dan varian baru gagal tercipta. Dia pun kalah dalam kompetisi daring, padahal sudah susah payah mereplikasi resep rahasia milik mendiang ayahnya.

Puncaknya, Irene terpaksa menerima desakan Bianca untuk menggunakan produk tertentu yang berlawanan dengan esensi produk Adore selama ini. Sesuatu yang terbukti membuatnya masuk jurang di sepertiga akhir serial.

Di lain sisi, hubungan Irene dengan kedua sahabatnya tak pelak menjadi tegang. Komunikasi yang buruk membuat kesalahpahaman kerap melanda, memicu Irene untuk mempertanyakan ulang tujuan sesungguhnya yang hendak dia kejar.

Dalam kondisi terpuruk semacam itu, obsesinya terhadap Greg pun nyaris runtuh akibat sikap sang pria yang amat plin-plan guna menentukan langkah hidup selanjutnya. Irene praktis kehilangan sandaran dan lidahnya terasa semakin kelu.

Sampai pada titik tersebut, permainan visual yang tampak di layar cukup konsisten mengiringi pengalaman batin Irene yang naik turun. Namun, manuver lain—yang sebenarnya amat mengganggu progresi kisahnya—ternyata telah menunggu di tikungan terakhir jelang klimaks.

Konklusi yang Dipaksakan

Serial Love Ice Cream terdiri atas delapan episode. Namun, menurut hemat saya, tujuh episode saja sebenarnya sudah cukup untuk menarasikan keseluruhan kisah. Pasalnya, episode pamungkas hanya berisi plot yang dipacu secara terburu-buru.

Salah satu hal yang mencolok pada episode terakhir adalah ketiadaan alegori visual yang relevan. Penonton tidak lagi mendapati es krim sebagai perwakilan perasaan para karakter utama sebab semuanya kini serba verbal.

Langkah ini terang merusak apa yang sudah dibangun sang sineas sejak awal serial. Lagi-lagi, ia seakan terburu-buru ingin selesai.

Momen penyelesaian seluruh konflik dalam serial, khususnya bagian mengenai resolusi kisah asmara Irene dengan Greg, bahkan berakhir cukup mengenaskan. Terlebih, keterbatasan durasi pada akhirnya malah mengabaikan proses sehingga keduanya terkesan mengalami lompatan emosional yang tidak masuk akal.

Perubahan tekstur visual serta arsitektur narasi yang sedemikian drastis tentu saja rawan membuat audiens kesal. Kenapa harus muncul beberapa side plotting di akhir, sementara jelas sekali satu episode berdurasi 35 menit mustahil mampu mengakomodasi pengembangan karakter serta progresi naratifnya?

Side plotting sebenarnya sah-sah saja ditambahkan dengan tujuan menjadi solusi untuk mengisi ruang kosong sepanjang final intermediate. Namun, ia jadi masalah lantaran dikisahkan bersamaan dengan lompatan tahapan relasional di antara dua protagonis utama serial ini. Pun, hal itu dilakukan tanpa eksplanasi apapun.

Para kreator mengambil langkah berisiko itu agaknya karena ingin menutup serial ini dengan konklusi yang bulat. Namun, sungguh disayangkan bila progresi naratif yang natural malah dikorbankan.

Bukankah lebih baik menghadirkan open ending melalui tahapan yang “masuk akal” daripada menggenjot laju narasi agar segera mencapai happy ending yang sangat terkesan dipaksakan?

Pada kesudahannya, bukan perihal cinta saja yang mati rasa. Kenikmatan menonton yang berbasis rasionalitas pun turut dikorbankan secara harfiah, entah untuk alasan apa.

Baca juga artikel terkait MISBAR atau tulisan lainnya dari Jonathan Manullang

tirto.id - Film
Kontributor: Jonathan Manullang
Penulis: Jonathan Manullang
Editor: Fadrik Aziz Firdausi