tirto.id - Baru-baru ini beredar video yang berisi ajakan Jokowi kepada para pendukungnya untuk mengenakan baju putih saat pencoblosan pilpres pada 17 April 2019.
“[…] 17 April nanti berbondong-bondong ke TPS. Jangan biarkan satu orang pun golput. Ajak mereka semuanya ke TPS memakai baju putih! Memakai baju putih! Karena yang akan dicoblos itu bajunya juga putih! Karena putih adalah kita. Kita adalah baju putih. Jangan nanti diambil yang lain, kita udah baju putih sejak awal, mau dipakai yang lain. Enak aja,” ucap Jokowi.
Perkataan Jokowi ini kemudian diamplifikasi lewat sebuah foto secarik kertas yang bertuliskan ajakan tersebut. “Putih itu juga melambangkan kejujuran, orang bersih dan jujur,” kata Usman Kansong, Direktur Komunikasi Politik Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma’ruf.
Sementara kubu lawannya tentu saja bereaksi sebaliknya. Ferdinand Hutahaean, Juru Bicara Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandiaga mengatakan, ajakan Jokowi itu berpotensi membuat konflik horizontal di tengah masyarakat saat berada di TPS pada hari pencoblosan.
Ia menambahkan, nanti para pendukung Prabowo ketika melihat yang berbaju putih di TPS, akan merasa bahwa yang memakai baju putih itu adalah lawannya.
“Ini bahaya bahwa Jokowi sedang menebarkan konflik di tengah masyarakat kita,” ujarnya.
Selain itu, Ferdinand juga menyampaikan, ajakan memakai baju putih ke TPS juga mencerminkan bahwa Jokowi tidak mengerti azas pemilu, yakni bebas dan rahasia.
“Dengan identifikasi tertentu seperti menggunakan baju putih, artinya menabrak asas pemilu yang tidak lagi rahasia, karena kita sudah tahu bahwa yang datang ke TPS itu, baju putih itu [seolah pendukung] Jokowi,” imbuhnya.
Ia juga menuding ajakan memakai baju putih adalah upaya pihak lawan untuk membenarkan kecurangan.
“Maka akan dipotret, oh ini baju putih ramai. Ya, wajar dong menang padahal itu bukan pemilih Jokowi, tetapi justru pemilih Prabowo. Jadi ini ada upaya-upaya, kami lihat untuk menjadikan pembenaran sebuah kecurangan,” ucapnya.
Kuningisasi Ala Golkar
Politik warna ini semakin membuat hari-hari jelang Pilpres 2019 makin ingar. Dan ini bukan yang pertama kali. Pada era Orde Baru, politik warna pernah terjadi di Jawa Tengah jelang Pemilu 1997, saat provinsi tersebut diserang warna kuning.
Golkar yang secara nasional tak pernah kalah, bahkan selalu menang dengan angka yang sangat telak, rupanya nyalinya sempat mengkeret—setidaknya di Jawa Tengah, provinsi yang pada zaman Orde Lama dimenangkan oleh PNI.
Sekali waktu dalam rangka menyambut HUT RI yang ke-50, taman, gapura, kios, toko, rumah, kantor pemerintah, dan pagar sepanjang jalan protokol, semuanya dicat warna kuning. Mendadak, Solo, Sukoharjo, Magelang, Blora, dan daerah lainnya berubah warna menjadi kuning.
“Sebagai rakyat kecil, saya cuma menurut perintah. Pagarnya disuruh dicat dengan warna kuning, ya dicat saja. Karena, kalau tak begitu, nanti bisa dikira tak memenuhi perintah dari pemerintah,” ucap seorang warga di Kabupaten Sukoharjo seperti dilansir Gatra edisi 1 Mei 1995.
Soewardi, Gubernur Jawa Tengah saat itu, merupakan Ketua Dewan Pembina Golkar wilayah Jawa Tengah. Lawan-lawan politiknya tentu saja menuding ia sebagai biang keladi kuningisasi di provinsi yang ia pimpin.
“Kuningisasi itu terencana dan merupakan kampanye terselubung. Itu sudah bermuatan politis seperti halnya warna hijau yang lekat dengan PPP dan merah untuk PDI,” kata Muhammad Taufiq, anggota FPP DPRD Kota Solo, masih dikutip dari Gatra.
Sementara Sumianto dari Fraksi PDI DPRD Kota Solo, secara resmi melayangkan protes kepada Pemerintah Daerah Solo, dan meminta untuk menghentikan kuningisasi kota tersebut.
Namun, Pemerintah Daerah Solo membantahnya. Menurut mereka, pengecatan warna kuning di sejumlah tempat bukan instruksi dari Pemerintah Provinsi Jawa Tengah, dan tak ada kaitannya dengan Golkar.
Penjelasan Soewardi setali tiga uang. Menurutnya, Pemda Jawa Tengah hanya mengimbau masyarakat untuk mengecat ulang rumahnya dalam rangka menyambut HUT RI yang ke-50.
“Mungkin sebelum mengecat rumahnya, rakyat tanya dulu ke sana ke mari tentang warna kesukaan Gubernur. Dan saya memang suka warna kuning Golkar, karena saya Ketua Dewan Pembina Golkar di Jawa Tengah,” imbuhnya.
Tentu saja apa yang diucapkannya tidak akan dipercaya sedikit pun oleh lawan-lawan politiknya. Dua tahun kemudian setelah warna kuning hampir meringkus seluruh Jawa Tengah, sejumlah kader Partai Persatuan Pembangunan (PPP) di Solo melakukan serangan balik.
Mereka mengganti warna kuning yang menempel pada trotoar, badan pohon, marka jalan, dan pagar besi yang melingkari pohon beringin di alun-alun Solo dengan cat warna putih. Pemda Solo, pengurus, dan kader Golkar kota tersebut langsung marah.
Menghadapi reaksi tersebut, Ketua PPP Cabang Solo saat itu, Mudrick Setiawan Sangidoe, segera melakukan langkah preventif. Ia meminta Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum Universitas Islam Indonesia (LKBH-UII) menjadi penasihat hukumnya.
“Jangan sembarangan melihat reaksinya. Usut dulu pangkal aksinya. Ihwal kuningisasi itu sendiri harus dilihat secara proporsional, karena Ketua Umum Golkar sendiri mengatakan, gejala itu lahir dari ide kader [Golkar] yang kebablasan,” kata Riswandha, ahli ilmu pemerintahan UII, menanggapi kemarahan para pengurus Golkar seperti dilansir Gatra.
Insiden di Kota Solo, hanya salah satu contoh dari ketegangan horizontal di hampir seluruh Jawa Tengah saat Golkar melakukan proyek kuningisasi jelang Pemilu 1997.
Dan akibat dari kuningisasi tersebut, masyarakat Jawa Tengah sebagian menjadi tidak simpati kepada peserta pemilu penyokong utama rezim Orde Baru. Hasil pemilu 1997 menunjukkan, meski di Jawa Tengah Golkar tetap menang telak dengan raihan suara sebanyak 68,27 persen, tapi angka tersebut masih di bawah target yang ditetapkan DPP Golkar sebesar 70 persen.
Posko PDI Perjuangan Merahkan Jawa Tengah
Kerawanan terjadinya konflik horizontal antarpendukung kontestan Pemilu 1997 akibat Golkar bernafsu menguningkan Jawa Tengah, kemudian melahirkan semacam gerakan balas dendam dari partai lain pada Pemilu 1999.
Seperti dilansir Kompas edisi Kamis, 14 Januari 1999, Jawa Tengah yang semula didominasi warna kuning, tiba-tiba berbalik menjadi merah karena para pendukung PDI Perjuangan membangun ribuan Posko Gotong Royong di hampir seluruh wilayah provinsi itu jelang Pemilu 1999.
Di Kota Semarang misalnya, terdapat 813 posko, di Kendal 843, di Kudus 627, Demak 400, Jepara dan Pati sekitar 750, bahkan di Cilacap sekitar 1.200 posko.
Kesan balas dendam menguar dari pembangunan posko-posko berwarna merah tersebut setelah sebelumnya, setidaknya dalam empat tahun terakhir sebelum pemilu pertama di era reformasi digelar, justru warna kuning yang berkuasa.
“Tetapi yang jelas, tak ada fasilitas umum termasuk perkantoran, marka jalan, yang berubah warna jadi merah. Bahkan rumah pribadi anggota dan pengurus PDIP tidak ada yang dicat merah. Jadi itu bukan balas dendam,” bantah Ketua DPD PDIP Jateng, Suratal.
Terlepas dari motif PDI Perjuangan memerahkan Jawa Tengah lewat pembangunan ribuan Posko Gotong Royong, yang jelas politik warna sempat mengiringi perjalanan pemilu di negeri ini yang berpotensi melahirkan konflik horizontal, yang kini kembali diusung oleh salah satu kontestan Pilpres 2019.
Sebuah kelucon sempat ditulis Felicia N.S. dalam Humor Politik Indonesia (2009) tentang kuningisasi yang dilakukan Golkar.
Dikisahkan, suatu kali seorang petinggi Golkar yang bernama Kasmo, yang mengampanyekan kuningisasi hendak melihat pelaksanaannya di sebuah daerah. Saat ia berkunjung ke sebuah rumah sakit jiwa (RSJ), ternyata RSJ itu pun sudah berwarna kuning, termasuk baju para pasiennya.
Namun, saat ia menengok halaman belakang rumah RSJ, ia mendapati lima orang pasien yang tidak memakai baju kuning. Ia pun bertanya kepada Direktur RSJ.
“Pak, mengapa mereka tidak pakai baju kuning?”
Direktur RSJ berbisik, “Menurut dokter, mereka sudah sehat, sehingga tidak perlu pakai baju kuning.”
Ya, namanya juga lelucon.
Editor: Nuran Wibisono