tirto.id - Uni Eropa sangat memperhatikan nasib petaninya, yang menjadi penerima manfaat terbesar dari Kebijakan Pertanian Bersama atau Common Agricultural Policy (CAP). Pada dasarnya, kebijakan ini mengatur subsidi langsung untuk pendapatan petani. Namun, CAP tidak terbebas dari kritik dan kontroversi. Anggarannya yang bombastis dinilai kurang efektif untuk pemerataan kesejahteraan petani dan menjaga lingkungan. Dampak CAP terhadap industri pertanian di negara-negara berkembang pun turut dipertanyakan.
Keterbatasan pangan menjadi salah satu cobaan terberat yang dihadapi Eropa setelah ekonominya luluh lantak oleh Perang Dunia II. Kerjasama strategis di bidang pertanian pun mulai direncanakan seiring dengan terbentuknya Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE) atau cikal bakal Uni Eropa melalui Perjanjian Roma tahun 1957. Pada momen historis ini, enam negara pendiri MEE, yakni Jerman Barat, Perancis, Italia, Belanda, Belgia dan Luksemburg, merancang suatu sistem pasar tunggal atau Pasar Bersama untuk membebaskan pergerakan modal, barang dan jasa, serta tenaga kerja di wilayah MEE.
Kebijakan Pertanian Bersama atau CAP resmi diluncurkan pada 1962. Tujuan utamanya adalah memenuhi kebutuhan bahan pangan untuk masyarakat Eropa, sekaligus menciptakan taraf hidup yang lebih baik bagi petaninya.
Awalnya, CAP fokus pada intervensi pemerintah dalam mengontrol harga komoditas pangan, yaitu dengan menjamin standar harga tinggi (di atas harga pasar dunia) untuk produk pertanian Eropa. Apabila petani gagal menjual produk di pasar, pemerintah akan membeli komoditas mereka dan menyimpannya di dalam gudang atau mengekspornya. Pada saat bersamaan, petani disokong oleh subsidi ekspor yang cukup besar, mengingat komoditasnya dihargai tinggi di dalam Eropa tapi dijual lebih murah untuk pasar internasional.
Akibatnya, petani terdorong untuk memproduksi lebih banyak hasil tani maupun olahan ternak. Sebagaimana diwartakan oleh New York Times pada 1986, surplus komoditas pertanian di Eropa pun tidak terhindarkan. Terdapat total jutaan ton kelebihan mentega, susu, daging sapi, gandum, sampai 300 juta galon alkohol hasil fermentasi tak layak konsumsi, yang sempat populer dengan istilah “danau anggur”.
Di balik kacaunya penerapan CAP kala itu, anggaran yang terlampau tinggi juga menjadi sorotan. Pada 1985 misalnya, alokasi dana untuk CAP mencapai 74 persen (PDF) dari total anggaran belanja Uni Eropa, yang saat itu masih beranggotakan 10 negara. Semenjak itulah anggaran CAP diperketat dan sejumlah langkah reformasi dilakukan.
Sejak 1992, sistem proteksi harga perlahan ditinggalkan. Sebagai gantinya, petani diberi kompensasi dalam bentuk pembayaran langsung. Kemudian, tahun 2003, CAP didesain agar lebih berorientasi pasar: sistem pembayaran berdasarkan volume hasil tani mulai diallihkan menjadi subsidi per luas lahan pertanian. Kepatuhan petani melindungi alam dan kesejahteraan ternaknya pun turut menjadi prasyarat untuk menerima bantuan langsung.
CAP sebagai subsidi untuk petani
Seiring dengan perombakan yang menyertainya, CAP pun menjadi semakin matang. Setidaknya terdapat tiga substansi penting di dalam CAP modern, yaitu pembayaran langsung, regulasi pasar dan program pembangunan desa.
Pembayaran langsung untuk petani merupakan fitur utama sekaligus komponen terbesar di dalam CAP. Menurut Komisi Eropa, petani perlu disokong oleh pemerintah karena pendapatannya berada di bawah rata-rata gaji tenaga kerja di Uni Eropa. Tercermin dari data sepanjang 2007-2016, penghasilan petani Eropa tak sampai 40 persen dari total rata-rata pendapatan pekerja dari sektor industri lainnya. Pada 2017, Layanan Riset Parlemen Eropa (PDF) melaporkan petani kecil sebagai kelompok sosio-ekonomi di kawasan desa atau pinggiran kota yang rentan jatuh dalam kemiskinan, di samping etnis Roma dan perempuan.
Tidak bisa dipungkiri bahwa tradisi bertani penuh dengan risiko. Petani membutuhkan modal besar, seperti traktor atau mesin-mesin pertanian, sistem irigasi, pupuk dan pestisida atau skema ramah lingkungan lainnya yang berbiaya tinggi. Sektor pertanian juga rentan merugi karena serangan hama dan ketergantungan pada musim dan cuaca. Petani pun masih dibuat pusing oleh liberalisasi perdagangan dan tidak menentunya harga komoditas pasar karena permintaan dan penawaran yang fluktuatif. Kompensasi berupa pembayaran langsung dinilai dapat menjamin kesejahteraan petani, sebagaimana para pemangku kebijakan di Brussels merumuskannya dalam CAP selama ini.
Setiap anggota negara Uni Eropa punya kewenangan dan fleksibilitas untuk mengatur bagaimana CAP disalurkan, seberapa besar santunan maupun syarat luas lahan pertanian. Merujuk publikasi Komisi Eropa tahun 2017 , pembayaran langsung tidak dapat dicairkan apabila nominalnya di bawah 100 sampai 500 euro (Rp1,6-8 juta) atau jika luas tanah pertanian kurang dari 0,3 sampai 5 hektar. Hanya petani aktif yang punya lahan produktif yang boleh mengajukan permohonan subsidi setiap tahunnya.
Masih dilansir dari publikasi Komisi Eropa, para petani bisa mengakses pembayaran langsung melalui skema wajib (pembayaran dasar per hektar, insentif untuk pertanian ramah lingkungan, tunjangan bagi petani muda) plus pilihan (misalnya subsidi berdasarkan jumlah produksi hasil tani). Atau, bagi petani yang tanahnya tidak terlalu luas, bisa mengikuti Skema Petani Kecil. Nominal bantuan langsung untuk skema ini ditentukan oleh masing-masing negara, namun jumlahnya tidak melebihi 1.250 euro (sekitar Rp20 juta).
Selama 2014-2020, dana sekitar 408 milyar euro dialokasikan untuk 28 negara anggota, termasuk Inggris Raya. Artinya, anggaran CAP nyaris mencapai 38 persen dari total belanja Uni Eropa. Bagian untuk CAP juga merupakan yang terbesar, bahkan di atas program sosial-ekonomi. Sedikitnya 71 persen dari anggaran CAP diberikan untuk subsidi petani.
Bagaimana realisasi belanja CAP dalam satu tahun? Sepanjang 2018, 41 milyar euro atau sekitar Rp700 triliun digelontorkan sebagai pembayaran langsung (Perancis menjadi penerima jatah paling besar, diikuti Spanyol, Jerman dan Italia). Kemudian, sebesar 2,7 milyar euro (sekitar Rp46 triliun) digunakan untuk membiayai regulasi pasar, seperti intervensi pemerintah dalam menstabilkan harga komoditas. Sementara itu, agenda pembangunan desa mendapatkan 14,3 milyar euro (sekitar Rp240 triliun).
Kritik untuk CAP
Komisi Eropa mencatat sejumlah kemajuan yang berkaitan dengan penerapan program-program CAP antara tahun 2016-2017. Misalnya, di area pedesaan, tingkat kemiskinan turun dari 26 persen jadi 24 persen, sementara presentase angkatan kerja naik dari 66 persen menjadi 68 persen.
Luas lahan pertanian organik pun dilaporkan semakin bertambah, dari yang awalnya hanya 11,9 juta hektar atau 6,7 persen dari total luas tanah pertanian menjadi 12,6 juta hektar. Area pertanian yang mendukung biodiversitas ikut mengalami kenaikan dari 11,1 juta hektar menjadi 11,4 juta hektar. Emisi gas amonia dari aktivitas pertanian juga berhasil direm, dari 3,6 juta ton tahun 2015 menjadi 3,61 juta ton pada tahun berikutnya.
Namun demikian, para aktivis dan kaum akademisi tampak kecewa dengan dampak kinerja CAP terhadap keberlangsungan lingkungan dan kesejahteraan petani. Pada 2019, lembaga advokasi agro-ekologi SlowFood (PDF) dan sejumlah organisasi lingkungan meminta Parlemen Eropa untuk mengubah sistem pertaniannya menjadi lebih sustainable atau berkelanjutan.
Permohonan senada disampaikan oleh sekelompok organisasi konservasi hewan, termasuk European Ornithologists Union dan Butterfly Conservation Europe. Organisasi ini mengutip sebuah hasil penelitian yang menyatakan turunnya lebih dari 55 persen populasi burung di lahan pertanian daratan Eropa sepanjang tahun 1980 sampai 2015.
Sedikitnya 3.600 ilmuwan memberikan dukungan terhadap rekomendasi yang dihasilkan dalam kajian ilmiah “Action needed for the EU Common Agricultural Policy to address sustainability challenges" (2020). Studi ini salah satunya menganjurkan kompensasi bantuan agar disesuaikan dengan performa petani dalam mempraktikkan pertanian ramah lingkungan, alih alih berdasarkan kepemilikan lahan per hektar ataupun kuantitas produksi.
Sistem pembayaran per kepemilikan luas lahan memang problematis. Selain dikritik tidak menginspirasi gerakan cinta lingkungan, teknik tersebut dinilai tidak pro terhadap petani kecil. Berdasarkan data dari Komisi Eropa tahun 2015 (PDF), diketahui bahwa 80 persen subsidi langsung diterima oleh 20 persen petani yang memiliki lahan seluas 100-500 hektar. Sementara itu, 20 persen dana sisanya diberikan untuk 80 persen petani kecil yang luas lahannya kebanyakan di bawah 5 hektar.
Di Inggris Raya misalnya, investigasi oleh Unearthed mengungkap sejumlah barisan elite dan aristokrat ada di antara 100 penerima subsidi CAP terbesar pada tahun 2015, mulai dari milyarder Sir James Dyson sampai Duke of Westminster dan Lord Iveagh dari keluarga bangsawan Guinness yang mewarisi berhektar-hektar lahan pertanian dari generasi sebelumnya.
Menurut penelitian (2020) oleh Scown, Nicholas dan Brady, subsidi langsung CAP pada tahun 2015 memang lebih banyak menyokong daerah-daerah yang pertaniannya relatif sudah makmur. Akibatnya, CAP justru memperparah ketimpangan upah antara petani kaya dan miskin. Studi ini di antaranya menyarankan agar subsidi untuk daerah yang pendapatannya sudah di atas median upah Uni Eropa dialihkan untuk strategi biodiversitas, atau untuk mengembangkan pertanian hijau di kalangan petani kecil yang lebih membutuhkan dukungan.
Dampak CAP terhadap Negara Berkembang
Di balik berbagai tuntutan reformasi CAP agar lebih inklusif dan pro-lingkungan, pada intinya CAP tetaplah sebuah sistem kebijakan yang proteksionis. CAP bertujuan memenuhi kebutuhan pangan di Uni Eropa sekaligus menjaga kemakmuran petaninya, atau dengan kata lain mengurangi ketergantungan impor. Melalui sistem pemberian subsidi, CAP senantiasa mendorong petani Uni Eropa untuk terus memproduksi lebih banyak, yang kelebihan hasilnya selalu bisa diekspor.
Hal itu pun turut berdampak pada aktivitas pertanian negara di luar Uni Eropa. Seperti disampaikan Thomas Fritz dalam laporan “Globalising Hunger” (PDF, 2011), perjanjian perdagangan bebas selama ini telah “mendorong negara-negara berkembang agar membuka pasarnya untuk surplus produksi Eropa”. Petani di kawasan negara-negara berkembang yang tak kuasa bersaing dengan produk-produk sokongan Uni Eropa akhirnya dihadapkan pada “risiko disingkirkan oleh kompetisi yang tidak adil”.
Dilansir dari Euractive yang meliput hasil kajian tahun 2019 oleh asosiasi riset GRET dan jaringan lembaga swadaya internasional Coordination SUD, “dampak merusak” CAP bisa disaksikan pada praktik dumping untuk harga gandum dan susu bubuk di Afrika Barat. Laurent Levard dari GRET menyampaikan kepada Euractive bahwa harga susu bubuk impor di Afrika Barat bisa ditekan sampai 40 persen lebih murah dibandingkan harga susu lokal, sehingga masyarakat setempat memilih untuk beli susu impor daripada berinvestasi pada produksi susu lokal.
Selain itu, Uni Eropa selama ini diketahui suka mengimpor kacang kedelai dan produk olahannya untuk pakan ternak. Masih dikutip dari laporan GRET-Coordination SUD, model peternakan yang intensif di Uni Eropa punya andil sebagian dalam meningkatkan ekspansi lahan pertanian kedelai di negara-negara Amerika Selatan, seperti Brasil dan Argentina. Alokasi lahan untuk memenuhi kebutuhan bahan pangan lokal di negara-negara berkembang pun otomatis jadi berkurang. Singkatnya, perubahan yang ditimbulkan oleh regulasi CAP terhadap aktivitas pertanian di Uni Eropa kelak berdampak pula terhadap ketahanan tani dan pangan di belahan dunia lain.
Pertanian, Sektor Andalan
Alokasi dana CAP untuk periode 2021-2027 mencapai sedikitnya 356 milyar euro, lebih kecil dari jatah periode sebelumnya. Keluarnya Inggris Raya dari keanggotan Uni Eropa sedikit-banyak mempengaruhi turunnya dana CAP karena mereka tidak lagi menyumbang untuk anggaran bersama.
Terlepas bahwa anggaran CAP cenderung turun dari masa ke masa, jumlahnya tetaplah signifikan. Artinya, bagi Uni Eropa, sektor pertanian dan pangan masih jadi andalan yang patut diperjuangkan. Sebagaimana disampaikan oleh Paolo de Castro, anggota Kelompok Aliansi Progresif Sosialis dan Demokrat di Parlemen Eropa pada bulan Juli silam kepada Euronews, anggaran CAP yang mahal “bukan hanya untuk 10 juta petani” melainkan juga “untuk 450 juta orang” yang hidup di penjuru Uni Eropa.
Editor: Windu Jusuf