Menuju konten utama

Bagaimana TVRI Bisa Berpotensi Gagal Bayar Seperti Jiwasraya?

Helmy Yahya dipecat terkait penyiaran Liga Inggris dan Badminton tanpa seizin Dewas TVRI.

Bagaimana TVRI Bisa Berpotensi Gagal Bayar Seperti Jiwasraya?
Direktur Utama LPP TVRI nonaktif Helmy Yahya menunjukkan surat pemberhentian dari jabatannya oleh Dewan Pengawas LPP TVRI saat menggelar konferensi pers di Jakarta, Jumat (17/1/2020). ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso/foc.

tirto.id - Komisi I DPR RI melakukan rapat dengar pendapat (RDP) dengan Dewan Pengawas TVRI untuk membahas kasus pemecatan Helmy Yahya sebagai direktur utama TVRI, Selasa (21/1/2020) siang.

Ketua Dewan Pengawas TVRI Arief Hidayat Thamrin mengatakan salah satu alasan pemecatan Helmy Yahya karena adanya program asing berbiaya besar yang memiliki utang yang cukup besar. Pemaparan itu kemudian dilanjutkan oleh Anggota Dewan Pengawas TVRI Pamungkas Trishadiatmoko.

"Surat SPRP Helmy Yahya tidak memberikan jawaban khususnya mengenai program asing berbiaya besar. Sehingga kami.." kata Moko saat paparan di ruang rapat Komisi I, DPR RI, Selasa.

Tiba-tiba, Wakil Ketua Komisi I DPR RI Fraksi PKS Abdul Kharis Almasyhari memotong paparan dan mempertanyakan program apa yang dimaksud.

"Sebentar saya potong. Program apa yang berbiaya besar karena kami tidak tahu," kata Abdul Kharis. Moko mengatakan bahwa program yang dimaksud adalah Liga Inggris selama tiga session 2019 sampai 2022 dan program badminton.

"Maaf, Liga Inggris itu ketika disampaikan kepada kami tidak bayar. Tidak beli. Tolong sampaikan," kata Abdul Kharis melanjutkan.

Moko berjanji akan menjelaskan detail bagaimana penggunaan hak siar Liga Inggris di TVRI membikin televisi pelat merah tersebut memiliki utang yang membengkak. Ia bahkan mengatakan TVRI memiliki potensi akan berkasus serupa dengan Jiwasraya.

"Izin saya meneruskan. Nanti pada paparan detail setelah beberapa tahapan, saya akan mencoba men-summary-kan kenapa Liga Inggris itu bisa menjadi salah satu pemicu gagal bayar ataupun munculnya utang yang seperti Jiwasraya. Sehingga kami akan paparkan urutannya," kata dia.

Potensi Gagal Bayar Rp69 Miliar

Dewas kemudian merinci bagaimana proses penayangan siaran Liga Inggris dapat berpotensi gagal bayar seperti Jiwasraya. TVRI membeli hak siar Liga Inggris selama tiga session multiyears. Totalnya, kata Moko, mencapai Rp126 miliar.

"Total Liga Inggris selama tiga sesi adalah 9 juta USD, atau Rp126 miliar di luar pajak, dan biaya lainnya. Untuk kontrak tiga sesi. Ini multiyears," kata Moko saat pemparan, Selasa sore.

Moko juga mengklaim pembelian hak siar Liga Inggris juga tanpa permintaan tertulis kepada Dewan Pengawas TVRI untuk membelanjakan program multiyears 2019-2020. Untuk satu sesi Liga Inggris memiliki jangka waktu sekitar 9-10 bulan.

"Untuk setiap sesi berbiaya 3 juta USD dengan kontrak 76 pertandingan atau senilai hampir satu kali tayangan Rp552 Juta. Kalau di-equivalen program rata-rata di TVRI yang disampaikan kepada kami Rp15 juta per episode. Ini bisa membiayai 37 episode atau dua bulan program lainnya," kata dia.

Ia juga mempertanyakan TVRI yang hanya mendapatkan minimum hak dua pertandingan per minggu. Lalu jam tayangnya disesuaikan.

"Sebagai contoh, MNC TV yang menayangkan Liga Inggris sebelumnya, berbiaya 10 juta USD, untuk seluruh tayangan. 10 pertandingan. Tidak bisa mungkin diukur apple to apple," katanya.

Mahalnya pembelian hak siar Liga Inggris, menurut Moko, tak dibarengi dengan analisa untung rugi secara sosial dan budaya. Belum lagi ada tunggakan pajak sebesar Rp27 miliar dari hak siar tersebut yang jatuh tempo pada 15 November 2019.

Namun, dalam Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP) 2020, tidak disebutkan mengenai rencana pembayaran pajak tersebut. Padahal, kata Moko, pada 2020 nanti kewajiban pajak itu akan terakumulasi. Pada Maret 2020, akan ada kewajiban 1,5 juta USD atau Rp21 miliar di luar pajak.

“Sehingga ada potensi gagal bayar Rp69 miliar di luar pajak,” jelas Moko.

Menyoal klaim hak siar Liga Inggris disebut gratis juga disanggah oleh Dewan Pengawas TVRI.

"Dalam negosiasi ini tidak ada berkas yang disodorkan kepada kami. Tidak ada dokumen yang disampaikan kepada kami," katanya.

Liga Inggris sudah disiarkan sejak 10 Agustus 2019, tapi kontrak penyiaran baru didapatkan Dewas pada 5 Desember 2019. Itu pun bentuknya hanya merupakan perjanjian pokok.

Terlambat Bayar Honor Karyawan Demi Rebranding

Masalah lain yang juga disebutkan Dewas TVRI dalam Rapat Dengar Pendapat saat itu ialah mengenai keterlambatan pembayaran SKK Karyawan sebesar Rp7,6 miliar pada Desember 2018.

"Inilah pangkal awalnya," kata Arief Hidayat.

Keterlambatan itu kemudian direspons dengan mogoknya karyawan dan penghentian siaran pada 10 Januari 2019 dan berujung pemberian surat teguran kepada direktur utama oleh Dewas TVRI.

Dewas kemudian membahas persoalan rebranding TVRI yang menurutnya tidak sesuai dengan ketentuan Rencana Kerja dan Anggaran Tahunan (RKAT). Anggota Dewas Maryuni Kabul Budiono menjelaskan program rebranding itu sudah ada dalam rencana TVRI.

"Nilai kontraknya lebih dari Rp970 juta oleh konsultan brand TVRI dan dilaksanakan hingga 8 Desember 2018," ujar Maryuni.

Namun, pada 2019 ada implementasi dari rencana tersebut dengan menggunakan anggaran sebesar Rp8,2 miliar yang diambil dari mata anggaran Direktorat Program dan Berita, Direktorat Pengembangan Usaha dan Direktorat Umum.

"Yang paling besar diambil dari Direktorat Program dan Berita sebesar Rp6,2 miliar yang tadinya diperuntukkan untuk membayar honor SKK karyawan," terang Maryuni.

Sehingga, hal inilah yang menyebabkan keterlambatan pembayaran honor hingga enam kali.

Ada Beda Pendapat di Dewas

Dalam rapat tersebut, salah satu anggota Dewan Pengawas TVRI, Supra Wimbarti, menyampaikan pendapat berbeda dari empat anggota Dewas lainnya soal pemecatan Helmy Yahya sebagai direktur utama TVRI.

Ia mengatakan bahwa seluruh alasan yang disampaikan Dewas TVRI lainnya hingga berujung pemecatan Helmy kurang bijak dan tidak tepat.

"Perlu saya sampaikan dari lima Dewas, mungkin saya yang paling aneh. Karena saya satu-satunya anggota Dewas yang melakukan dissenting opinion atau beda pendapat. Ada alasan tertentu," kata Supra saat pemaparan, Selasa sore.

Ia menilai, harusnya Dewas TVRI menggali lebih dalam argumen-argumen pembelaan yang disampaikan Helmy terkait pemecatannya.

Supra meminta, Dewas TVRI tak sekadar berdasar asumsi memecat Helmy Yahya sebagai direktur utama TVRI.

"Saya tidak ada maksud membela Pak Helmy, tapi jernih daripada hasil rapat yang kami lakukan, pembelaan dari Helmy satu per satu saya challenge, saya tantang, mana buktinya, mana notulen rapatnya. Sampai saat ini saya belum mendapatkan hal-hal yang disampaikan dalam rapat kami," katanya.

Ia menjelaskan, soal dana honor sebanyak Rp27 miliar yang belum dibayarkan, maka Supra pun memilih menelusuri dan mengidentifikasi ke direktur keuangan TVRI.

Supra menilai, Dewas harus mengelaborasi alasan keterlambatan pembayaran honor tersebut.

Ia juga menganulir pernyataan empat Dewas TVRI lainnya yang memprotes program Liga Inggris yang ada sejak Helmy menjabat. Menurut dia, Liga Inggris merupakan monster program atau killer program, yang artinya televisi lain tak berhasil membelinya.

Supra menyebut banyak televisi swasta yang ingin membeli tapi tidak memiliki cukup banyak uang.

"Di situlah peran dari saudara Helmy Yahya bagaimana harga itu bisa sangat turun, itulah sebabnya saya mem-propose, mbok digali lagi oleh Dewas," katanya.

Jika anggota Dewas TVRI lain beranggapan Liga Inggris akan menyebabkan potensi gagal bayar dan hutang, namun menurut Supra, berdasarkan keterangan direksi dan Helmy, Liga Inggris tidak akan menimbulkan gagal bayar dengan negosiasi tertentu.

"Saya tidak bisa menceritakan karena saya bukan pembela mereka, tapi menurut saya itu harus di-explore lebih lanjut oleh Dewas, sebetulnya bagaimana," katanya.

Supra juga mengkritik poin keberatan Dewas TVRI soal Kuis Siapa Berani. Anggota Dewas lain menyebut kuis tersebut sudah mencapai 200 episode.

Namun, Supra menyebut, kuis tersebut baru sampai 56 episode.

"Ini kan menandakan bahwa masih ada miskomunikasi antara Dewas dan Dirut yang saya propose itu digali lagi sebelum ada keputusan akhir," katanya.

Kata Supra, seharusnya Dewas melakukan musyawarah dengan Helmy Yahya soal tudingan yang dialamatkan. Namun sayangnya, pada rapat kami terakhir, usulan Supra ditolak oleh empat anggota dewas lainnya.

"Diperlukan hearing atau dengar pendapat dengan mengundang bapak Helmy Yahya untuk memperjelas pembelaan yang telah disampaikan. Kalau dirasa masih banyak info yang belum terlihat menurut saya harus dikonfrontir, lalu buktinya mana. Saya pribadi tidak suka bekerja dengan asumsi," katanya.

Baca juga artikel terkait KISRUH TVRI atau tulisan lainnya dari Restu Diantina Putri

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Haris Prabowo
Penulis: Restu Diantina Putri
Editor: Abdul Aziz