Menuju konten utama

Bagaimana Rakyat Percaya Pemerintah Jika Menteri Diam Kena Corona?

Ketidakterbukaan Airlangga adalah preseden buruk dalam penanganan wabah. Bisa menurunkan kepercayaan kepada pemerintah.

Bagaimana Rakyat Percaya Pemerintah Jika Menteri Diam Kena Corona?
Airlangga Hartarto bin Hartarto Sastrosoenarto. ANTARA FOTO/Nova Wahyudi/wsj.

tirto.id - “Sebagai bentuk rasa syukur karena sudah diberikan berkah kesehatan, sembuh dari COVID-19, maka Beliau (Airlangga Hartarto) mendonorkan plasma konvalesen untuk membantu percepatan tingkat kesembuhan pasien Covid-19 lain,” kata Jubir Kemenko Perekonomian Alia Karenina dalam keterangan tertulis yang diterima Tirto, Selasa (19/1/2021).

Wartawan pun bertanya-tanya. Kapan Menteri Koordinator Perekonomian (Menkoperek) sekaligus Ketua Komite Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPC-PEN) ini terinfeksi corona?

“Menko Perekonomian Airlangga Hartarto sempat terdeteksi positif COVID-19 di 2020 lalu. Dan saat itu, sudah diterapkan 3T (testing, tracing dan treatment) secara optimal,” jelas Alia dalam rilis yang sama.

Kabar ini tidak diketahui publik.

Airlangga memang menghilang secara tiba-tiba. Dia tidak banyak lagi muncul dalam pertemuan tatap muka. Kehadiran dalam rapat virtual pun kadang hanya tapping atau rekaman. Tirto telah berupaya menghubungi Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono Moegiarso, tetapi tak kunjung memperoleh tanggapan.

Konfirmasi keadaan Airlangga yang pertama sudah pernah disampaikan pada 16 November 2020 dan ditanyakan kembali pada 5 Desember 2020. Tirto juga sempat meminta konfirmasi serupa pada 18 Januari 2021, tetapi tak kunjung dijawab.

Alia Karenina saat itu tak mau buka mulut. Dia bungkam ketika dihubungi pada 16 November 2020 dan 5 Desember 2020. Baik pertanyaan tertulis maupun sambungan telepon, tak ada yang direspons.

Pada 7 Desember 2020 poster Airlangga akan menghadiri acara Serap Aspirasi Implementasi Undang-undang Cipta Kerja di Bandung beredar. Namun, pada hari pelaksanaan, Airlangga hanya memberi keterangan secara virtual, padahal banyak peserta yang hadir secara tatap muka dengan protokol kesehatan.

Airlangga baru muncul di publik pada 10 Desember 2020 di kantor DPP Golkar, Slipi, Jakarta Barat. Lima hari kemudian, Airlangga nongol lagi. Dia berangkat ke Korea Selatan untuk menjajaki investasi perusahaan Hyundai, LG, dan POSCO di Indonesia.

Tapi Airlangga “positif” tidak pernah terkonfirmasi. Baik staf Kemenkoperek maupun Airlangga tidak ada yang mengakui itu. Tiba-tiba saja Airlangga memberikan sumbangsih plasma darah konvalesen COVID-19 pada Senin (18/1/2021).

Kemenkoperek masih bungkam juga pada hari itu. Alia baru memberikan keterangannya sehari setelah Airlangga mendonor. Sebelum Kemenkoperek, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Muhadjir Effendy sudah memberikan keterangan.

"Yang saya hormati Menko Perekonomian Bapak Airlangga Hartarto yang pada hari ini menjadi salah satu penyintas yang mendonorkan plasma konvalesennya," kata Muhadjir, Senin (18/1/2021).

Selain Muhadjir, Ketua Umum Palang Merah Indonesia (PMI) Muhammad Jusuf Kalla juga telah membeberkannya.

“Ini merupakan rasa syukur, Pak Airlangga di sini hadir untuk menyumbangkan plasmanya sebagai tanda syukur bahwa dia telah sembuh; dan sebagai tanda syukur telah sembuh, itu maka dia menyumbangkan plasmanya kepada yang belum sembuh,” kata Jusuf Kalla seperti dilansir Antara.

Logikanya, seseorang yang mendonorkan plasma konvalesen memang pasti pernah terjangkit virus COVID-19. Kendati sia-sia, tetap saja Kemenkoperek dan Airlangga berusaha menutup-nutupi fakta tersebut sampai 19 Januari 2021.

“Ini adalah ungkapan rasa syukur saya, karena termasuk orang-orang yang mampu bertahan dari serangan COVID-19. Dengan mendonorkan plasma konvalesen, saya berharap bisa menolong pasien COVID lainnya untuk segera sembuh,” kata Airlangga, Selasa (19/1/2020).

Mengapa Menutupi Informasi?

Irma Hidayana, koordinator LaporCovid19, organisasi relawan pemantau wabah corona, menganggap Airlangga tidak jujur dan tidak punya tanggung jawab moral sebagai pejabat. Seharusnya, sejak awal dia segera mengumumkan kepada publik.

“Pak Airlangga bukan contoh pemimpin atau menteri yang baik. Dia tidak memegang prinsip demokrasi ya, sebab tidak jujur, tidak terbuka. Artinya membohongi publik bahwa dia pernah terinfeksi. Ini namanya tidak bertanggung jawab," kata Irma kepada Tirto, Selasa (19/1/2021).

Irma menilai tindakan Airlangga justru mengukuhkan stigma corona sebagai aib dan mengendorkan kewaspadaan masyarakat. Padahal pemerintah biasanya selalu mengimbau orang agar jujur bila terjangkit virus COVID-19, termasuk juga pejabat publik.

"Selain mengukuhkan stigma juga bikin masyarakat tidak waspada. Harusnya kalau terbuka, masyarakat jadi tahu bahwa laju penularan ini sudah cepat sekali, sehingga siapa pun bisa kena. Jadi kita semua bisa tingkatkan kewaspadaan lebih," ujarnya.

Apa yang dilakukan Airlangga juga membuka peluang dan kesempatan bagi masyarakat untuk tidak mengakui apabila terjangkit virus COVID-19. Ini tentu saja akan menyulitkan proses tracing atau pelacakan kontak erat.

"Itu pengaruhi tracing. Orang-orang sekitar dia yg mungkin kontak erat kan jadi enggak tahu. Nah ini malah menyengsarakan orang lain," tambah Irma.

Epidemiolog dari Universitas Airlangga, Laura Navika Yamani, juga beranggapan Airlangga bukan pejabat publik yang memberi contoh baik. Padahal menurut Laura, tidak ada alasan Airlangga harus menyembunyikan hasil tesnya dari publik. Justru dengan mengabarkan kepada publik, maka bisa jadi ajang evaluasi diri sendiri, masyarakat, dan pemerintah terkait penerapan protokol kesehatan.

Jika tidak disampaikan, justru situasi akan sulit di masa mendatang. Bagaimana masyarakat mau percaya pemerintah jika menteri yang terpapar COVID-19 saja tidak jujur?

"Kalau ditutupi dan masyarakat tahu dan pejabat tidak transparan ini akan sulit ketika pemerintah mengeluarkan kebijakan yang menginginkan agar masyarakat mengikuti. Untuk kalangan pejabat saja tidak melakukan pemberitahuan ketika terpapar COVID-19 sementara masyarakat disuruh jujur," kata Laura kepada Tirto, Jumat (22/1/2021).

Infografik Diam-diam covid

Infografik Diam-diam covid. tirto.id/Rangga

Sementara Kepala Kantor Staf Presiden Moeldoko menganggap Airlangga tidak keliru mengambil keputusan. Alasannya, karena kinerja menteri hanya melibatkan sebagian kecil orang, maka tracing bisa dilakukan tanpa perlu memberitahu publik.

"Kita punya instrumen kesehatan yang bisa setiap saat diberi tahu untuk melakukan tracing dan seterusnya, dan mudah dikontrol. Jadi dalam konteks ini saya pikir case-nya yang kita lihat," kata Moeldoko. "Kalau terjadi di menteri ya cukup beberapa orang yang tahu."

Ketidakterbukaan Airlangga seperti mewakili tindak-tanduk pemerintah secara umum yang tidak transparan dalam penanganan pandemi. Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Ibnu Nadzir Daraini, dalam tulisan berjudul "Data Transparency and Misinformation of COVID-19 in Indonesia" (2020), mencatat penanganan COVID-19 menunjukkan sisi kelemahan administrasi Jokowi.

“Pemerintah Indonesia tidak hanya gagal dalam menyajikan data yang transparan, tapi bahkan bisa juga menyampaikan misinformasi kepada masyarakat. Tindakan ini memperpanjang dampak Covid-19 di Indonesia,” catat Ibnu.

Tim investigasi Narasi Newsroom juga menemukan kejanggalan dalam pencatatan data kematian akibat COVID-19. Berdasarkan temuan mereka, ada kematian probable atau kemungkinan karena COVID-19 sebanyak 7.490 yang tidak dicatat oleh pemerintah. Bahkan angka ini hanya mencakup periode September-Desember. “Karena itulah, tak menutup kemungkinan angka kematian COVID-19 di lapangan sebetulnya lebih banyak,” catat Narasi.

Presiden Jokowi dalam acara 11th Kompas CEO Forum yang digelarpada Kamis (21/1/2021) menyebut bahwa “tracing dan treatment” harus diperbaiki. Entah Jokowi sadar atau tidak, pekerjaan rumah itu bisa mulai diselesaikan dari depan matanya sendiri.

Baca juga artikel terkait MENTERI JOKOWI atau tulisan lainnya dari Felix Nathaniel

tirto.id - Politik
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Ivan Aulia Ahsan