tirto.id - “Selama pemberlakuan PSBB, setiap orang wajib:
[…] b. menggunakan masker di luar rumah.”
Demikian perintah yang termaktub di Pasal 3 butir 3 Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 27 tahun 2020 dan Pasal 5 butir 3 Peraturan Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 33 tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dalam penanganan penyebaran virus Corona (COVID-19) di wilayah mereka masing-masing.
Intinya, PSBB tidak melarang orang keluar rumah, bukan seperti lockdown yang diterapkan di beberapa negara, seperti Italia, China, atau India. Beberapa negara yang menerapkan lockdown juga mengharuskan warga mempunyai surat izin untuk pergi keluar rumah dan ke luar kota. Dibandingkan itu, Indonesia punya aturan yang sangat toleran. Orang masih boleh berseliweran dengan bebas. Yang sangat dilarang adalah aktivitas berkumpul dalam jumlah banyak.
Peneliti pada Pusat Pemodelan Matematika dan Simulasi (P2MS) Institut Teknologi Bandung (ITB) membuat perkiraan dengan situasi Indonesia hanya menerapkan imbauan agar orang bekerja dari rumah, puncak pandemi Corona di Indonesia akan terjadi pada akhir Maret 2020 sampai medio April 2020.
Tim yang dipimpin oleh dosen Program Studi Matematika ITB Dr Nuning Nuraini, Kamal Khairudin, dan Dr. Mochamad Apri memperkirakan bahwa situasi terberat Indonesia suatu saat adalah mendeteksi 600 kasus positif Corona per hari.
Kian mendekati hari yang diramalkan, makin akurat pula prediksi itu. Pada 27 Maret 2020, penambahan kasus per hari untuk pertama kalinya mencapai angka di atas 100, yakni 153. Seterusnya, jumlah itu tak banyak menurun, berturut-turut per hari kasus bertambah 109, 130, 129, 114, 149, 113, dan 196 pada 4 April 2020. Puncaknya adalah 12 April 2020 di mana kasus mencapai angka 399.
Jika dihitung dari hari saat penambahan korban posif Corona di atas 100 orang sampai dengan 399, maka ada penambahan kasus positif Corona 14,95 (15) orang setiap harinya. Hitungan pakar PSM ITB memang sedikit meleset. Namun jika tren ini terus bertahan, Indonesia bisa mendapat tambahan 669 kasus dalam satu hari pada akhir April 2020.
Tanpa lockdown, PSBB jadi harapan utama pemerintah Indonesia, pusat dan daerah, termasuk juga masyarakat Indonesia agar penyebaran kasus Corona di Indonesia bisa menurun. Sejauh ini DKI Jakarta, dan lima wilayah di Jawa Barat sudah mendapat persetujuan menerapkan PSBB selama dua minggu. Tangerang Raya juga sudah mendapat persetujuan PSBB dari Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto dan akan berlaku mulai 18 April 2020.
“Mudah-mudahan tanpa harus memperpanjang (PSBB), mudah-mudahan kita bisa lewati, kita akan kembali bisa beraktivitas dan kita lebih dekat dengan tetangga kembali bekerja torehkan prestasi," kata Anies di Balai Kota hari Kamis (9/4/2020).
Masker Mencegah Lockdown
Rekomendasi memakai masker bagi setiap orang berangkat dari anjuran World Health Organization (WHO) dan teori bahwa orang terjangkit Corona bisa saja terlihat sehat dan baik-baik saja tanpa gejala apapun, sebutannya carrier. WHO sendiri belum mengetahui dengan pasti apakah pemakaian masker ini bisa menekan angka penyebaran Corona secara efektif. Dalam publikasinya, WHO menyerahkan keputusan pemakaian masker kepada masing-masing negara.
“Yang jelas sekarang riset terkait itu sangat terbatas,” kata Direktur Jenderal WHO, Tedros Adhanom Ghebreyesus seperti dilansir New York Post.“Kami mendorong negara-negara untuk mempertimbangkan penggunaan masker kepada seluruh masyarakat untuk mempelajari efeknya.”
Tapi setidaknya Korea Selatan berhasil menjadi contoh nyata keberhasilan kebijakan penggunaan masker bagi seluruh rakyat terhadap pencegahan penyebaran virus Corona. Meski sempat tersandung krisis kekurangan masker karena ekspor ke negara lain, pemerintah Korea segera memerintahkan 130 perusahaan manufaktur untuk membuat masker KF-94 yang sebanding dengan kriteria masker N95.
Masker itu didistribusikan dengan harga diskon ke rumah sakit dan penyedia alat kesehatan, kemudian ke apotek di seluruh Negeri Ginseng. Menurut Trudy Rubin dari Foreign Policy Research Institute (FPRI) dalam paparannya di Inquirer keberhasilan pemerintah Korea juga tak lepas dari pengusaha swasta yang rela bekerjasama mendorong produksi dan penyebaran masker.
Korea Selatan juga mengatur alur pembelian masker. Mereka yang lahir di tahun dengan akhiran angka 1-6 bisa membeli di hari Senin, 2-7 di hari Selasa, dan seterusnya. Akhir minggu diperuntukkan bagi mereka yang belum punya waktu membeli di hari kerja.
Dengan kebijakan ini, maka Korea Selatan tidak menerapkanlockdown dan kegiatan perekonomian berjalan tanpa pembatasan berlebih meski sebagian menerapkan kebijakan kerja dari rumah. Rumah makan dan pusat perbelanjaan tetap buka, tetapi menerapkan pengecekan kesehatan terhadap pengunjung.
Pengujung Februari 2020, penderita Corona di Korea Selatan meningkat drastis dari 12 hingga 3.000 orang. Empat belas hari kemudian, jumlahnya kembali membengkak sampai 8.086 pasien. Namun sampai 11 April, peningkatannya hanya mencapai 10.480 orang. Jika dibanding sebelum tanggal 15 Maret, ketika perintah penggunaan masker bagi seluruh warga negara diterapkan, kenaikan pasien positif Corona cenderung lebih rendah. Sekitar jumlahnya mencapai 88 orang setiap harinya.
Saat Korea Selatan mendistribusikan masker kepada seluruh warga, Indonesia bertindak lain. Aparat dan pemerintah bukan membawa masker untuk dibagikan atau dijual kepada masyarakat dengan harga murah, tapi justru membuat warga lebih bugar: menghukum mereka yang tak memakai masker dengan push-up supaya jera.
Ancaman Gagalnya PSBB
Solusi pencegahan penyebaran virus Corona di Korea Selatan tak bisa disederhanakan sebagai masalah ketersediaan masker semata. PSBB demi mencegah penyebaran Corona berada di ambang bahaya jika poin penting lainnya tidak diperhatikan, antara lain keseriusan pemerintah dalam melakukan tes untuk mendeteksi masyarakat yang mungkin terpapar virus Corona.
CNN mencatat Korea Selatan merupakan salah satu negara yang paling ambisius melakukan pengujian kepada masyarakat untuk deteksi Corona secara gratis dan mudah. Di Goyang, kota yang berjarak sekitar 15 kilometer dari Seoul, tenaga kesehatan punya cara yang kreatif, yakni melakukan tes swab atau polymerase chain reaction (PCR) berbasis lantatur. Pengendara dites tanpa turun dari mobil atau motor mereka.
Pada 10 Maret 2020, pemerintah Korea Selatan mengklaim mampu melakukan 15 ribu tes setiap harinya dan sudah berhasil memeriksa 196 ribu orang warganya. Sekarang jumlahnya naik lagi menjadi 514.621.
“Meningkatkan kapabilitas pengujian Corona sangat penting karena dengan begitu deteksi bisa segera dilakukan pada orang yang sudah terjangkit. Kemudian kita bisa membatasi penyebaran virus itu,” kata Menteri Kesehatan Korea Selatan, Park Neunghoo.
Namun tanpa kebijakan pemakaian masker bagi seluruh warga negara, pengujian massal belum tentu efektif, apalagi jika dilakukan terlambat. Italia dan Amerika Serikat adalah contoh nyatanya.
Dilansir dari Our World in Data, Amerika Serikat diperkirakan telah melakukan pengetesan terhadap 2,67 juta warganya, sedangkan Italia 963.473 orang. Namun kasus Corona di AS justru paling banyak, yakni 557.043 pasien dan Italia 156.363 per 12 April 2020.
Menurut situs organisasi yang sama, Indonesia baru melakukan pengujian pada 27.075 orang saja sampai 12 April 2020. Jika dibuat persentase, maka Indonesia hanya melakukan pengetesan kepada 99 orang dari satu juta penduduk Indonesia. Yang menjadi persoalan lainnya, tes kebanyakan melalui sampel darah atau rapid test dengan risiko menampakan hasil yang meleset.
Indonesia kini punya alat untuk melakukan tes PCR sebanyak 20 unit pada 8 April 2020. Alat itu juga baru bisa didistribusikan ke 11 provinsi di Indonesia. Berapa banyak provinsi terdampak Corona di Indonesia? Semuanya, 34 provinsi.
Keberadaan alat itu selayaknya bukan jaminan Indonesia bisa bebas dari penyebaran Corona dalam waktu singkat. Beda dengan rapid test yang bisa menunjukkan hasil cepat dan dilakukan secara massal dalam sehari, 20 alat PCR hanya mampu menguji orang kemungkinan terjangkit Corona sebanyak 10 ribu per harinya. Ini juga belum ditambah dengan puluhan atau mungkin ratusan ribu orang yang sebelumnya sudah melakukan rapid test, tapi perlu pengujian ulang dengan PCR.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) melalui survei tahun 2015, diperkirakan penduduk Indonesia mencapai 269,6 juta jiwa. Jika setiap hari Indonesia mampu menguji 10 ribu orang, maka sekiranya butuh 26.960 hari alias 73,86 tahun untuk memeriksa seluruh penduduk Indonesia. Bahkan untuk menyamai jumlah pengetesan di Korea Selatan saja, Indonesia masih butuh 52 hari atau hampir dua bulan lamanya.
Seandainya Indonesia berhasil melakukan pengetesan massal dan membagikan masker, ada dua hal paling dasar yang menjadi ancaman Indonesia gagal menangkal Corona. Pertama, fakta bahwa sebentar lagi lebaran tiba dan pemerintah tak kunjung melarang mudik alih-alih hanya membatasinya.
Pada tahun 2019, lalu lalang pemudik bisa mencapai 7,2 juta orang. BBC memprediksi kemungkinan penularan Corona akibat pemudik mampu menewaskan ratusan ribu orang Indonesia.
Sebab kedua adalah inkonsistensi pemerintah terhadap kebijakan social atau physical distancing. Setelah PSBB di Jakarta melarang ojek berbasis aplikasi mengangkut penumpang, pelaksana tugas Menteri Perhubungan, Luhut Binsar Panjaitan mengeluarkan Peraturan Menteri Perhubungan yang menganulir aturan PSBB DKI Jakarta.
“Inti dari aturan ini adalah untuk melakukan pengendalian transportasi dalam rangka mencegah penyebaran COVID-19, dengan tetap memenuhi kebutuhan masyarakat akan sarana transportasi khususnya bagi yang tidak bisa melakukan kerja dari rumah dan untuk pemenuhan kebutuhan logistik rumah tangga,” ujar Juru Bicara Kemenhub, Adita Irawati pada hari Minggu (12/4/2020).
Editor: Windu Jusuf