tirto.id - Ingar bingar hajatan Pilpres 2019 belum berakhir. Hasil real count KPU dan quick count lembaga survei sejauh ini menunjukkan keunggulan berada di kubu Paslon 01 Jokowi-Ma'ruf.
Hasil hitung suara sementara versi real count yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) menggambarkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden Joko Widodo-Ma’ruf Amin memperoleh 54,30 persen. Perolehan tersebut unggul sementara dari pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno yang memperoleh 45,70 persen suara, per 21 April pukul 17.30 WIB.
Hitungan suara diambil dari 91.514 Tempat Pemungutan Suara (TPS) dari 813.350 TPS yang tersebar di seluruh Indonesia. Hitungan tersebut setara dengan 11,25 persen.
Selisih perolehan suara yang berkisar antara 9-10 persen dari hasil quick count, disambut baik oleh investor. Misalnya saja di pasar saham. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada penutupan perdagangan 18 April 2019 atau sehari setelah pelaksanaan Pilpres bergerak positif.
Menurut perkiraan Muhammad Nafan Aji Gusta, analis Binaartha Sekuritas, penguatan IHSG turut dipengaruhi oleh sentimen quick count Pilpres 2019 yang dimenangkan oleh pasangan Jokowi-Ma’ruf. Meski baru disampaikan melalui metode hitung cepat, namun investor sudah menangkap sinyal kemenangan Jokowi.
“Quick count memberikan gambaran dan akurasi yang lebih tinggi, karena menghitung hasil Pemilu langsung dari TPS target, bukan berdasarkan persepsi atau pengakuan responden. Maka dari itu, real count pun juga akan sama hasilnya dengan quick count sehingga akan direspons positif oleh para pelaku investor,” kata Nafan Aji melansir pemberitaan Tirto sebelumnya.
Selain pasar saham, nilai tukar rupiah juga menguat terhadap dolar AS. Melansir situs Bank Indonesia, kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) pada 18 April 2019 juga menguat 50 poin setara 0,35 persen. Nilai tukar rupiah diperdagangkan pada kisaran 14.016 per dolar AS.
Selain itu, berbagai lembaga pemeringkat dan juga lembaga keuangan internasional merespons baik kabar keunggulan sementara Jokowi-Ma’ruf versi hitung cepat maupun real count KPU. FitchRatings misalnya, menilai bahwa hasil hitung cepat menandakan adanya keberlanjutan kebijakan ekonomi Indonesia. Dengan fokus pada stabilitas ekonomi makro, pembangunan infrastruktur, dan upaya meningkatkan rasio pajak pemerintah yang masih rendah.
Kebijakan moneter dan fiskal pemerintah Indonesia yang disiplin telah mendorong ketahanan terhadap guncangan eksternal yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir.
“Kami mengasumsikan fokus berkelanjutan pada stabilitas makro dan investasi infrastruktur saat kami menegaskan peringkat ekonomi BBB dengan outlook Stabil untuk Indonesia pada bulan lalu,” tulis Direktur Fitch Ratings, Thomas Rookmaaker dalam laporannya berjudul Early Indonesia Election Counts Suggest Broad Policy Continuity yang dirilis 18 April 2019.
Thomas melanjutkan, upaya pembangunan infrastruktur pemerintah telah mendorong daya tarik investasi. Selanjutnya, menopang pertumbuhan ekonomi nasional di samping adanya permintaan domestik yang kuat sebagai akibat dari tumbuhnya konsumsi rumah tangga masyarakat Indonesia yang mendapat manfaat dari bonus gaji pegawai negeri sipil (PNS) dan kenaikan bantuan sosial sebesar 30 persen.
Berkurangnya ketidakpastian politik lantaran Jokowi untuk sementara unggul dalam pilihan suara, mendorong masuknya investasi asing. Fitch masih menunggu program kerja pemerintahan Jokowi lima tahun ke depan. Kabinet kerja pertama era pemerintahan Jokowi, telah mengeluarkan 16 paket kebijakan ekonomi, yang sedikit banyak membantu meningkatkan daya saing dan menaikkan peringkat Indonesia untuk kemudahan berbisnis atau Ease of Doing Business (EOCD).
Namun, masih lemahnya tata kelola usaha di Indonesia, maraknya praktik korupsi, serta mangkraknya berbagai proyek infrastruktur, masih akan menjadi tantangan pemerintahan Jokowi selanjutnya.
Misalnya saja dalam hal tata kelola usaha, di mana investor asing masih terkendala oleh berbagai ketidakpastian aturan atau regulasi, dan persepsi tentang daftar negatif investasi (DNI) serta tenaga kerja asing.
“Kinerja masih Indonesia relatif buruk dalam hal tata kelola investasi asing langsung atau foreign direct investment (FDI) dibanding negara-negara lain, meski mengalami kenaikan peringkat dalam hal kemudahan berbisnis atau EODB,” tulis Fitch Ratings.
Dengan berbagai kondisi tersebut, Fitch memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang 2019 masih akan tumbuh di kisaran 5 persen. Salah satu kebijakan moneter yang akan mendorong pertumbuhan ekonomi adalah dipertahankannya tingkat suku bunga acuan bank sentral di level 6 persen sampai dengan akhir 2019.
“Tujuannya untuk membantu mengendalikan defisit transaksi berjalan dan menjaga daya tarik aset keuangan Indonesia. Bank Indonesia dapat memangkas tingkat suku bunga acuan jika kondisi eksternal memungkinkan untuk dilakukan hal itu pada akhir tahun nanti,” imbuh Thomas.
Lembaga pemeringkat internasional Moody’s juga menilai kesinambungan kebijakan pemerintah terbuka sangat lebar sejalan dengan kemungkinan besar diangkatnya kembali Jokowi sebagai presiden Indonesia periode 2019-2024.
Sejumlah aspek seperti infrastruktur, pengembangan sumber daya manusia, dan juga perbaikan birokrasi, menjadi poin-poin yang menjadi fokus utama pada masa jabatan pertama Jokowi.
Dengan adanya peluang keberlanjutan kebijakan, hasil hitung cepat memberi peluang untuk mendorong stabilitas pasar keuangan. Menurut Anushka Shah, Vice President Senior Analyst Sovereign Risk Group dari Sovereign Risk Group Moody’s Investors Service, bauran kebijakan sangat mendukung investasi dan stabilisasi pertumbuhan yang lebih luas.
“Lingkungan pertumbuhan yang stabil pada gilirannya akan mendorong stabilitas pasar keuangan. Mengingat, tingginya porsi kepemilikan asing di pasar obligasi pemerintah,” imbuh Anushka.
Lembaga keuangan Morgan Stanley dalam riset bertajuk Incumbent wins; what’s next after the dust settles mengungkapkan bahwa dalam hal prioritas kebijakan Jokowi pada periode mendatang, hal-hal yang kemungkinan akan dilakukan adalah melanjutkan kebijakan periode pertama, fokus pada industrialisasi melalui pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK).
Selain itu juga diperlukan fokus untuk mengakselerasi perkembangan KEK dan mengakselerasi perkembangan infrastruktur. Salah satunya adalah dengan melanjutkan ekonomi fiskal untuk meningkatkan daya saing ekonomi dan reformasi institusional untuk memperbaiki kinerja pemerintah.
Morgan Stanley dalam risetnya juga menyebut bahwa secara keseluruhan, ekonomi Indonesia diperkirakan akan mampu tumbuh di kisaran 5,3 persen pada 2019. Proyeksi itu lebih tinggi dibandingkan realisasi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2018 yang sebesar 5,2 persen.
Capaian target tersebut didukung oleh tiga hal. Pertama, melonggarnya tekanan pembiayaan utang luar negeri Indonesia. Kombinasi dari melonggarnya kondisi finansial global dan membaiknya kondisi makro ekonomi dalam negeri, dapat menjadi pertimbangan bagi BI untuk menurunkan BI Rate alias 7Day (Reverse) Repo Rate hingga 75 bps pada kuartal III-2019.
Kedua, Indonesia lebih tahan goncangan dari pertumbuhan ekonomi global yang moderat. Kinerja ekspor Indonesia diakui belum sesuai harapan dan turut dipengaruhi perang dagang. Namun, orientasi ekspor Indonesia yang lebih rendah dibanding negara lain, dinilai turut membantu melindungi Indonesia dari momentum perang dagang yang merugikan.
Ketiga, adalah karena pengeluaran fiskal tahun politik tidak akan seagresif sebelumnya. Morgan Stanley memperkirakan defisit fiskal akan melebar menjadi 2,1 persen di tahun ini, lebih tinggi dibandingkan 2018 yang sebesar 1,8 persen.
“Bantuan sosial dan perkembangan infrastruktur diyakini mampu menciptakan efek domino serta mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia ke depannya,” tulis Morgan Stanley melansir bisnis Indonesia.
Editor: Suhendra