Menuju konten utama

Bagaimana Istana Merespons Nada Pesimistis Penyelesaian Kasus HAM?

Jaksa Agung Prasetyo merasa kurang bukti untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa lalu. Ia malah menyarankan kasus diselesaikan dengan jalur non-yuridis.

Bagaimana Istana Merespons Nada Pesimistis Penyelesaian Kasus HAM?
Jaksa Agung M Prasetyo mengikuti rapat kerja dengan Komisi III DPR di kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (31/1/2018). ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan

tirto.id - Jaksa Agung Muhammad Prasetyo menawarkan penyelesaian kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) pada masa lalu diselesaikan dengan jalur non-yuridis. Tawaran ini dikemukakan Prasetyo karena merasa bukti-bukti hukum terkait kasus-kasus HAM masih berupa opini, terlebih kasus terjadi sebelum Undang-undang Peradilan HAM diketok pada 2000.

Tawaran Prasetyo mendapat banyak tanggapan. Saat dihubungi Tirto, Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik mengaku heran dengan pernyataan Prasetyo.

Sekitar sepekan silam, Taufan mengaku sempat bertemu dengan Prasetyo dalam sebuah pertemuan yang membahas kasus dan penyelesaian dari hasil penyelidikan Komnas HAM. Pertemuan itu tak menyinggung penyelesaian kasus HAM masa lampau harus diselesaikan lewat jalur non-yuridis.

“Saya agak heran ya, karena hasil pertemuan tidak seperti itu. Komnas HAM jelas tetap dalam ranah yudisial, penyelidikan. Kami tidak bisa bicara yang lain-lain," kata Taufan, Senin (4/6/2018).

Menurut Taufan, hasil temuan Komnas HAM bisa digunakan sebagai barang bukti awal dan sudah diserahkan kepada Kejaksaan Agung. Ia menyebut Kejaksaan Agung seharusnya mengembangkan penyelidikan ke tahap penyidikan untuk bisa meminta keterangan lebih lengkap dari terduga pelanggar HAM.

“Mestinya Jaksa Agung membentuk tim penyidik untuk mengkaji temuan,” ucap Taufan menambahkan.

Ia merasa Prasetyo terlalu cepat menawarkan penyelesaian melalui jalur non-yuridis. Padahal Jaksa Agung bisa mengambil langkah untuk menyelidiki lebih lanjut dan memanggil paksa pihak-pihak yang terlibat agar penyelesaian kasus menjadi lebih cepat.

“Sekarang bagaimana bisa non-yuridis, orang belum dibentuk tim penyidikannya. Kalau tim penyidik sudah dibentuk, lalu hasilnya bagaimana, [itu] terserah,” ucap Taufan.

Dalih Pesimistis Prasetyo Tak Berdasar

Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara juga punya pandangan serupa. Beka menyatakan, sikap pesimistis Jaksa Agung Prasetyo tidak berdasar. Ia menegaskan, bukti dan saksi dari kasus HAM masa lalu yang diinvestigasi Komnas HAM tidak mencukupi karena Komnas HAM tidak punya kewenangan hingga penyidikan.

“Kejagung seharusnya memakai wewenang penyidikan dengan memanggil paksa pihak-pihak yang diduga terlibat,” kata Beka kepada Tirto.

Selama ini, Beka mengingatkan sudah beberapa pengadilan HAM yang berhasil dilakukan. Meski gagal dibuktikan, tetapi Beka memandang tak ada alasan bagi Prasetyo untuk penyelesaian dengan jalur non-yuridis.

“Kami tidak tahu latar belakang Pak Jaksa Agung melontarkan statement, tapi sebenarnya masih ada banyak saksi-saksi yang bisa dipanggil atau pihak-pihak yang diduga terlibat. Lebih baik memulai daripada beropini seperti itu,” ujarnya.

Direktur Eksekutif Lokataru Foundation--Lembaga Advokasi Hukum dan Hak Asasi Manusia--sekaligus pegiat HAM, Haris Azhar mengatakan tak ada dasar hukum menyelesaikan masalah HAM lewat jalur non-yuridis. Ia menilai Prasetyo tidak pernah memberitahu bagaimana penyelesaian non-yuridis secara konkret diterapkan.

“Saya minta [penjelasan] bagaimana penyelesaian non-yuridis yang dia maksud. Enggak pernah ada sampai sekarang,” katanya.

Haris mengatakan penyelesaian kasus HAM harus mengutamakan aspek keadilan dan aspek kebenaran, harus ada fakta yang diungkap, serta ada bentuk pertanggungjawaban dari pelaku kejahatan. Haris menekankan tak mungkin nyawa orang hanya dibayarkan dengan ganti rugi oleh negara.

“Coba saja tanya berapa harga nyawa anak dia. Enggak bisa itu,” kata Haris.

Mantan Koordinator KontraS ini pun menyebut sudah waktunya bagi Prasetyo untuk mundur dari jabatannya jika tak mampu menyelesaikan kasus pelanggaran HAM. “Ini sama saja dengan melanggengkan pelanggaran HAM.”

Desakan serupa sempat disampaikan Koalisi Masyarakat Sipil, pada Minggu (3/6/2018). Koalisi meminta Prasetyo meletakkan jabatan karena punya pendapat pemerintah sulit menyelesaikan permasalahan HAM masa lalu akibat minim bukti dan saksi. Padahal, Presiden Jokowi sudah meminta Jaksa Agung untuk menyelesaikan masalah tersebut.

Anggota Koalisi Masyarakat Sipil sekaligus Direktur YLBHI Asfinawati menerangkan ada dua kemungkinan kenapa Prasetyo berkata seperti itu. Pertama, ia menilai Jaksa Agung tidak mengerti hukum yang berlaku.

Asfin menerangkan dasar hukum penegakan HAM masa lalu mengacu pada Pasal 1 ayat 5 UU 26/2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, pasal 20 ayat (1) UU 26/2000, pasal 21 ayat (1) UU 26/2000, pasal 10 UU 26/2000 dan pasal 2 ayat (1) KUHAP. Apabila mengacu kepada aturan tersebut, penyelidikan dilakukan Komnas HAM sementara penyidikan dilakukan penyidik Kejaksaan Agung.

Apabila Jaksa Agung terlalu sibuk untuk menjalankan kewajiban hukumnya, menurut Asfinawati, pasal 19 ayat 1g UU 26/2000 dan pasal 5 ayat 1b KUHAP mengatur penyelidik dapat melakukan beberapa tindakan atas perintah penyidik.

Jika Jaksa Agung masih merasa tidak mampu menjalankan kewajiban hukumnya, Pasal 21 ayat (3) UU 26/200 juga memberikan kemungkinan mengangkat penyidik ad- hoc yang terdiri atas unsur pemerintah dan atau masyarakat.

“Artinya Jaksa Agung dapat mengangkat Komnas HAM sebagai penyidik ad-hoc bahkan masyarakat,” kata Asfin dalam keterangan tertulis kepada Tirto.

Alasan kedua, kata Asfin, “Jaksa Agung paham hukum tetapi sengaja mencari-cari alasan agar tidak menjalankan kewajiban hukumnya yang bersumber dari undang-undang dan arah kebijakan presiden.”

Infografik Linimasa sidang HAM

Dibela Istana

Tanggapan miring terhadap Prasetyo dari Komnas HAM dan pegiat HAM, mendapat respons Istana. Pihak Istana yang diwakili Juru Bicara Kepresidenan Johan Budi Sapto Pribowo malah terkesan membela jaksa agung dari Partai Nasional Demokrat (Nasdem) itu.

Menurut Johan pernyataan Prasetyo tidak bertentangan dengan kemauan Jokowi untuk menyelesaikan perkara HAM di masa lalu. Pada Kamis, 31 Mei 2018, Presiden Jokowi sempat bertemu dengan keluarga korban pelanggaran HAM di masa lalu.

Setelah pertemuan tersebut, Johan menegaskan Jokowi berencana memanggil Jaksa Agung Prasetyo dan Menko Polhukam Wiranto untuk menyelesaikan kasus Kerusuhan Mei, Trisakti, Semanggi 1 dan 2, Penghilangan Paksa, Talang Sari-Lampung, Tanjung Priok, dan Tragedi 1965.

“Kan sudah ada penerimaan yang kemarin itu. Itu 'kan dalam rangka Pak presiden mendengarkan apa sih yang dirasakan atau apa yang terjadi versi mereka. Pak presiden menyampaikan akan meminta Jaksa Agung koordinasi dengan Komnas HAM,” tegas Johan pada Tirto, Senin (4/6/2018).

Menurut Johan, apa yang disampaikan Prasetyo belum bisa dianggap sebagai masalah karena saat ini pemerintah belum memutuskan cara penyelesaiannya. Ia pun mengatakan usul menyelesaikan masalah dengan non-yuridis adalah opsi yang dipertimbangkan presiden.

“Bisa yuridis dan non-yuridis. Ya harus dipelajari dulu. [Non-yuridis] Itu kan pendapat Jaksa Agung saja karena melihat fakta yang ada dan memberi saran,” imbuh Johan.

Mantan Juru Bicara KPK ini percaya Jaksa Agung memberi penilaian melihat fakta, meski begitu, Johan menegaskan Presiden Jokowi belum tahu apakah penyelesaian non-yuridis tersebut bisa menjadi jalan keluar atau tidak.

“Kan yang tahu Jaksa Agung, apakah kasus itu bisa diselesaikan secara yuridis atau non-yuridis. Jadi jangan ngomong non-yuridis lalu bertentangan dengan keputusan untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM,” ucapnya.

Baca juga artikel terkait KASUS PELANGGARAN HAM atau tulisan lainnya dari Felix Nathaniel

tirto.id - Hukum
Reporter: Felix Nathaniel
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Mufti Sholih