tirto.id - Dalam beberapa dekade terakhir, sejumlah negara memperlakukan warga sipil sebagai potensi ancaman nasional layaknya militer atau paramiliter di medan perang. Aparat penegak hukum dilatih untuk semakin curiga. Kebebasan sipil pun terancam. Di Amerika Serikat, misalnya, kerja-kerja kepolisian yang rasis terhadap orang kulit berwarna telah terdokumentasikan dengan baik. Di wilayah-wilayah perbatasan Eropa, drone nirawak diterbangkan untuk menghalau gelombang migran. Di berbagai kota besar aksi demonstrasi direspons dengan senjata penghalau massa. Teknik pertahanan berbasis kekerasan demikian lahir dari kultur militer, yang salah satunya dipopulerkan oleh Israel.
Selama lebih dari setengah abad menggerus wilayah Palestina, Israel menerapkan beragam strategi militer canggih untuk meredam gerakan-gerakan militan Timur Tengah. Israel mempunyai peran signifikan dalam menyebarluaskan teknik militer dan teknologi surveillance ke pasar internasional. Dilansir dari The Times of Israel,Departemen Pertahanan Israel mengumumkan nilai ekspor teknologi pertahanannya pada tahun 2018 mencapai 7,5 milyar dolar AS (sekitar Rp100 triliun) dengan konsumen utama berasal dari negeri-negeri Asia.
Relasi Kekerasan Israel-AS
Berdasarkan analisis Institute for Policy Studies (IPS), praktik-praktik kekerasan Israel selama ini berhasil menyokong kepentingan-kepentingan strategis AS di Timur Tengah, sehingga Washington rutin memberikan dukungan militer kepada Israel sejak 1970-an. Berdasarkan data yang dihimpun Stockholm International Peace Research Institute (PDF), tercatat 64% persenjataan Israel disuplai oleh AS pada 2014-2018. Perjanjian bilateral terbaru (PDF) menyatakan komitmen 10 tahun (2019-2028) AS untuk menyediakan Israel dana bantuan militer sebesar 3,8 milyar dolar (sekitar 55 triliun rupiah) per tahun. Selain itu, seperti dilansir dari situs Kementerian Luar Negeri AS, Washington melakukan kerjasama pelatihan militer, riset militer, dan perkembangan persenjataan dengan Israel.
Namun, kemitraan dengan Israel turut membuka jalan bagi aparat hukum AS untuk mengasah kecakapan setingkat militer yang lantas diterapkan kepada warga sipil. Pada 2016, Amnesty International mengkritik penyelewengan hukum, diskriminasi, dan kekerasan oleh Departemen Kepolisian Baltimore, ang ternyata mendapatkan pelatihan terkait kontrol massa, kekerasan, dan teknik pengawasan dari Israel. Amnesty mencatat, kepolisian Baltimore bersama ratusan aparat lainnya dari berbagai wilayah seperti Florida, Pennsylvania, California, New York, Georgia, sampai DC Capitol, pernah dikirim untuk belajar ke Israel, sementara ribuan personil lainnya mendapatkan pelatihan dari perwakilan Israel di tanah Amerika.
Pada 2018, organisasi kemanusiaan Researching the American-Israeli Alliance (RAIA) dan Jewish Voice for Peace (PDF) merilis laporan tentang program pertukaran AS dengan militer, polisi, dan badan intelijen Israel. Menurut laporan bertajuk “Deadly Exchange: The Dangerous Consequences of American Law Enforcement Trainings in Israel” tersebut, sejak peristiwa 11 September 2001, aparat kepolisian federal dan intelijen AS mulai dikirim ke Israel untuk mendapatkan pelatihan terkait penanganan terorisme. Program-program itu juga disponsori oleh lembaga-lembaga non-pemerintah seperti lembaga neo-konservatif Jewish Institute on National Security of America (JINSA), Jewish Federations, hingga Anti-Defamation League.
Kerjasama keamanan dan militer dengan Israel ini, menurut amatan RAIA, mendorong praktik-praktik penegakan hukum AS dalam tiga hal, yakni perluasan aktivitas monitoring di area publik dan daring, pembenaran atas racial profiling kepada orang berkulit hitam dan cokelat sebagai calon pelaku kejahatan (terutama orang Arab dan Muslim), serta penggunaan kekerasan eksesif terhadap peserta aksi massa.
Setelah kasus kematian pria kulit hitam George Floyd pada akhir Mei silam, kekerasan polisi dalam menangani warga sipil dan relasinya dengan pelatihan dari tentara Israel kembali menjadi sorotan media. Dilansir dari Morning Star, sedikitnya 100 polisi dari negara bagian Minnesota pernah belajar teknik-teknik kekerasan dari militer Israel dalam konferensi yang diselenggarakan pada 2012 oleh Konsulat Israel di Chicago.
Menyikapi tragedi Floyd dan pelatihan kepolisian tersebut, akvitis Palestina Netta Golan menyampaikan kepada Morning Star bahwa metode memiting leher dengan lutut yang diterapkan kepada Floyd mengingatkannya pada cara tentara Israel menangani para demonstran Palestina di Tepi Barat pada 2006, yakni dengan menekan dada atau leher sambil memelintir atau meretakkan jemari mereka.
Dosen sejarah di Whitman College, Elyse Semerdjian, dalam esainya di Jacobin turut mengkritik bagaimana praktik-praktik brutal yang lahir dari pendudukan Israel di Palestina, diadopsi oleh penegak hukum AS untuk diterapkan kepada kelompok minoritasnya terutama warga kulit hitam. Seperti prajurit Israel memandang orang Arab-Palestina berkulit cokelat sebagai teroris, kultur kepolisian AS pun melihat orang kulit hitam sebagai ancaman. Perlakuan keras, rasis, dan intimidatif sama-sama diterapkan kepada orang Arab di Timur Tengah dan orang kulit hitam di AS terlepas mereka bersenjata atau tidak, penjahat atau bukan.
Semerdjian mencontohkan kasus kematian perempuan AS bernama Breonna Taylor yang ditembak sebanyak delapan kali oleh polisi dalam operasi penggeledahan mendadak di rumahnya Maret lalu. Menurutnya, polisi telah berperan sebagai hakim, juri, sekaligus eksekutor untuk hidup dan mati perempuan kulit hitam itu. Mereka tidak berbeda dari operator drone nirawakdi Timur Tengah yang “menundukkan” para pemuda-pemuda Arab.
Walaupun kekerasan yang terjadi di AS tidak sama persis dengan yang terjadi di Timur Tengah, Semerdjian melihat keduanya berkaitan dengan teknologi kolonisasi dan praktik kepolisian brutal. Maka dari itu, ia menyerukan upaya menghapus kekerasan rasial oleh polisi agar didukung dengan perubahan kebijakan luar negeri AS, caranya seperti dengan mengakhiri dukungan militer kepada Israel, termasuk menghentikan program kerjasama pelatihan militer.
Pengajar Stanford University David Palumbo-Liu, melalui studi komparatif yang mencerahkan di Salon, menawarkan pendekatan lain untuk memahami tragedi kemanusiaan yang dialami oleh komunitas kulit hitam AS dan masyarakat Palestina, yakni melihat kesamaan nasib kedua komunitas terlepas dari perbedaan pengalaman historis dan konteks politiknya berbeda. Salah satu analisisnya menjelaskan bahwa baik orang kulit hitam AS dan warga Palestina sama-sama pernah kehilangan rumah serta mengalami penindasan tiada henti. Pada kasus orang kulit hitam, mereka diboyong dari tanah kelahirannya sebagai budak dan dipaksa bertahan hidup di bawah naungan rasisme sistemik Amerika. Akibatnya, mayoritas dari mereka kesulitan mendapatkan pekerjaan layak, pendidikan, kesehatan dan fasilitas lainnya. Sedangkan warga Palestina, sejak Nakba 1948, kehilangan tanahnya di bawah pendudukan Israel yang terus-terusan merampas hak hidup layak mereka.
Mayoritas orang kulit hitam Amerika, lanjut Palumbo-Liu, terjebak dalam kemiskinan dan keterbatasan akses kerja, pendidikan, hunian layak, sementara warga Palestina kesulitan meningkatkan kualitas hidup mereka sejak pendudukan Israel dan blokade militer di Gaza, ditambah dengan krisis air, listrik, bahan bakar serta keterbatasan mengolah pangan.
Belakangan, sejumlah aktivis kulit hitam dari AS dan Palestina menggalang gerakan solidaritas. Rakyat Palestina bahkan menyatakan mengunjukkan simpati mereka terhadap
Michael Brown, remaja kulit hitam yang ditembak mati oleh polisi di Ferguson, Missouri, pada 2014 silam. Ungkapan simpatik yang dituangkan dalam deklarasi yang ditandatangani oleh perwakilan rakyat Palestina dari kelompok akademisi dan pembela HAM ini juga menyatakan solidaritas kepada warga AS yang berdemo melawan kebrutalan polisi di Ferguson. Mereka menyatakan upaya komunitas kulit hitam melawan rasisme telah menjadi inspirasi untuk memperjuangkan martabat bangsa Palestina.
Dari Gaza ke Seluruh Dunia
Kekerasan oleh negara tidak hanya terlihat dalam hubungan mutualis Israel-AS. Tak sedikit negara di dunia yang mengadaptasi seni perang Israel. Menurut Middle East Monitor, teknologi militer dari Israel cukup populer di antara sekian negara kompetitor karena sudah terbukti ampuh setelah diujicobakan selama ini dalam konflik-konflik di di Gaza dan daerah di kawasan Timur Tengah lainnya.
Dilaporkan oleh Inside Arabia, Israel menjalin hubungan baik dengan India sejak 2003. Mereka melatih prajurit India dan menyediakan pesawat nirawak drone, pengintai laser dan target, senjata air-to-ground canggih untuk memberangus protes di Kashmir. Israel juga mempersenjatai dan melatih angkatan militer Myanmar saat mereka melancarkan serangan operasi untuk meneror minoritas Muslim Rohingya pada 2016. Laporan SIPRI menyebutkan Tel Aviv telah lama mendukung rezim-rezim tangan besi dari apartheid Afrika Selatan hingga diktator Nikaragua Somoza yang diketahui membunuhi 500 orang rakyatnya setiap hari. Studi tahun 2011 mengungkap bahwa Israel masih menyuplai kurang dari seperempat persenjataan ke negara-negara Afrika Sub-Sahara. Pada 2009, diketahui bahwa Nigeria mengimpor 50 persen dari total pengiriman Israel ke kawasan tersebut.
Teknologi pengintaian (surveillance)Israeljuga cukup popule. Salah satunya spyware Pegasus yang didesain untuk menyadap telepon genggam. Sesuai iklannya, teknologi yang diproduksi oleh NSO Group di Herzliya ini dipasarkan ke agen-agen pemerintah untuk menyelidiki dan melacak terroris, penyelundup obat terlarang, pedofil, atau pelaku kriminal lainnya. Namun, sebagaimana dilaporkan The Guardian, teknologi NSO Group rupanya telah digunakan oleh rezim-rezim otoriter untuk memata-matai jurnalis dan aktivis HAM.
Uni Eropa tidak ketinggalan untuk menggunakan teknologi Israel. Tahun lalu, sebagaimana dilaporkan oleh Euro-Mediterranean Human Rights Monitor, badan pengawas perbatasan Eropa, Frontex dan EMSA, menginvestasikan 59 juta euro kepada dua perusahaan militer Israel, Elbit Systems dan Israel Aerospace Industries). Salah satupesanan Frontex adalah drone nirawak Hermes 900 produksi Elbit.
Drone tersebut pernah diujicobakan di Jalur Gaza dalam Operation Protective Edge pada 2014 yang menewaskan 2.000 orang Palestina dan 72 orang Israel. Rencananya, Hermes akan digunakan oleh Uni Eropa untuk mengawasi dan menyuplai informasi intelijen terkait pergerakan pencari suaka yang menyeberangi Laut Tengah untuk menepi di Eropa. Kepala Badan Pengawas Euro-Med Monitor, Prof. Richard Falk, mengkritik betapa memalukannya tindakan Uni Eropa membeli drone Israel yang digunakan untuk menindas rakyat Palestina. Ia juga menyatakan bahwa Uni Eropa tidak manusiawi karena menggunakan drone untuk mengacam hak-hak migran yang mencari suaka di Eropa.
Penggunaan teknologi drone buatan Israel juga menimbulkan kontroversi ketika dimanfaatkan oleh Inggris untuk mendukung kerja tim SAR, seperti dikabarkan oleh iNews. Selain itu, mirip seperti kejadian di Uni Eropa, Inggris sudah setengah tahun lebih mengoperasikan drone buatan Portugal untuk memonitor aktivitas geng penyelundup dan migran ilegal yang menyebarangi Selat Inggris.
Ketika Protes Massa Dianggap sebagai Ancaman
Selain bertindak keras terhadap kelompok minoritas, banyak negara diwartakan menggunakan taktik agresif untuk menghadapi mobilisasi sosial dan demonstrasi massa. Dalam laporan RAIA, terdapat pembahasan tentang bahan kimia pembubar aksi massa bernama dagang Skunk yang diproduksi perusahaan Israel, Odortec. Terbukti ampuh melemahkan demonstran Palestina di Tepi Barat, Skunk menimbulkan rasa mual bagi yang terpapar. Israel rupanya memasarkan produk ini untuk angkatan kepolisian di seluruh dunia, termasuk AS.
Menurut RAIA, perusahaan AS Mistral Security sudah mulai menjual Skunk pada departemen kepolisian dalam negeri termasuk Kepolisian Metropolitan St. Louis, seiring munculnya gelombang protes di Ferguson tahun 2014 pasca-kematian Michael Brown. Dikutip dari situs Mistral Security, Skunk disebut-sebut bisa digunakan untuk meredam aksi demonstrasi dan protes pendudukan (sit-in). Terlampir di laman iklan foto aparat polisi yang tengah berjaga pada aksi demo.
Produk kimia Skunk termasuk non-lethal atau less-lethal weapons, alias senjata yang tidak terlalu mematikan. Dilansir dari National Geographic, senjata non-mematikan diadopsi dari teknik militer sebagai ganti dari senjata api yang bertujuan untuk “membuat perang menjadi lebih manusiawi” karena tidak akan melukai atau membunuh orang.
Meskipun demikian, menurut riset International Network of Civil Liberties Organizations (INCLO), dampak dari senjata penghalau massa seperti semprotan gas air mata dan gas merica, peluru karet, meriam suara, meriam air, dan granat kejut, tetaplah destruktif bagi tubuh karena masih bisa meninggalkan luka permanen. Nyatanya, catat INCLO, senjata penghalau massa masih terus diproduksi di pabrik-pabrik Perancis, Jerman, Israel, Inggris, dan AS, diikuti oleh perusahaan-perusahaan baru lainnya di lebih dari 50 negara. Penggunaannya pada aksi demo oleh aparat kepolisian tidak terbatas di Canada, Jerman, Perancis, Hungaria, Denmark, Swiss, namun sampai ke Mesir, Argentina, Chili.
=========
Sekar Kinasih menyelesaikan studi Kajian Asia-Pasifik di Australian National University dan Sastra Jepang di Universitas Gadjah Mada. Mempelajari kebudayaan, gender, dan politik dari perspektif sejarah.
Editor: Windu Jusuf