tirto.id - Tersebutlah kisah dari Peternakan Manor milik seorang petani bernama Jones. Menurut Old Major, seekor babi tua yang sangat dihormati para binatang di peternakan itu, Jones adalah tiran dan begitu pula manusia lainnya. Old Major telah menginsafi bahwa kesengsaraan para binatang disebabkan oleh ketamakan manusia.
“Manusia adalah satu-satunya makhluk yang mengonsumsi tanpa menghasilkan,” kata Old Major pada suatu malam. Saat itu, dia bicara di hadapan seluruh penghuni Peternakan Manor. Old Major lantas menyerukan agar mereka membikin perlawanan terhadap manusia yang serakah.
“Binatang-binatang, mari rapatkan kesatuan, persaudaraan sempurna dalam perjuangan. Semua manusia adalah musuh. Semua binatang adalah kamerad!” seru Old Major.
Pertemuan para binatang ternak malam itu diakhiri dengan lantunan lagu bertajuk “Beasts of England”. Lagu itu, dalam ingatan Old Major, adalah pengiring bagi “revolusi” yang dikobarkan para binatang bertahun lampau.
Tiga hari kemudian, Old Major meninggal. Meski begitu, pengorganisasian perlawanan terhadap manusia tetap berlanjut. Para babi yang dikenal cerdas di Peternakan Manor menjadi yang paling aktif. Di antara para babi itu, mencuatlah dua tokoh yang kemudian jadi pemimpin perlawanan: Snowball dan Napoleon.
Singkat cerita, aksi perlawanan para binatang ternak itu berhasil. Jones si pemilik terusir dari Peternakan Manor dan para binatang mengambilalihnya.
Kisah perlawanan para binatang ternak itu tentu saja fiksi. Ia adalah bagian dari novel Animal Farm: A Fairy Story karya George Orwell yang sangat masyhur. Terbit pertama kali pada 17 Agustus 1945, novel itu telah pula diterjemahkan ke bahasa Indonesia. Salah satu edisinya diterbitkan oleh Penerbit Bentang pada 2016.
Perlawanan para binatang ternak terhadap manusia yang dikisahkan Orwell adalah metafora perlawanan kaum lemah terhadap penguasa lalim. Namun, dalam kehidupan nyata, binatang juga kerap dilibatkan dalam aksi-aksi demonstrasi melawan pemerintah.
Matapacos dan Loukanikos
Salah satu satwa yang jadi amat terkenal karena dilibatkan dalam demonstrasi adalah seekor anjing bernama Negro Matapacos di Chile. Namanya secara harfiah bisa artikan si Hitam Pembunuh Polisi—berasal dari bahasa Spanyol matar yang berarti pembunuh dan paco yang merupakan istilah slang untuk menyebut polisi di Chile.
Semula, ia adalah anjing kampung yang biasa berkeliaran di jalanan Santiago. Pada 2009, ia diadopsi oleh Maria Campos. Meski begitu, ia tetap berkeliaran bebas di jalanan dan lingkungan universitas dekat tempat tinggal Campos. Karena itulah, ia bisa menjalin kedekatan dengan mahasiswa.
Ia menjadi terkenal setelah ikut muncul di tengah demonstrasi mahasiswa di Kota Santiago pada 2011. Kala itu, para mahasiswa Chile menuntut reformasi pendidikan. Si anjing hitam berada di sisi para demonstran. Ia akan menggeram, menggonggong, dan menerjang polisi yang melukai mahasiswa.
“Saat polisi berdatangan, yang pertama kali menyeruak ke depan adalah si Negro. Lalu, anjing-anjing kampung lain pun akan mengikuti aksinya,” kata seorang mahasiswa sebagaimana terekam dalam film dokumenter Matapaco (2013).
Seseorang lalu mengalungkan bandana ke lehernya dan itu lantas jadi ciri khasnya. Sejak itulah ia dikenal sebagai Negro Matapacos. Meski begitu, ia tidak pernah sekali pun membunuh polisi.
Negro Matapacos lalu menjadi simbol perlawanan sekaligus legenda urban. Meski telah mati pada 2017, sosok Negro Matapacos tetap menyertai berbagai aksi demonstrasi di Chile dalam bentuk karya seni, foto, stiker, mural, hingga poster di media sosial. Tak hanya di Chile, citra Negro Matapacos juga muncul di tengah protes di Meksiko, Amerika Serikat, hingga Jepang.
Di Yunani juga ada seekor anjing yang identik dengan demonstrasi. Loukanikos namanya. Ia dikenal usai terlibat dalam beberapa gelombang demonstrasi di Kota Athena kala krisis ekonomi mengguncang Yunani. Sebagaimana Negro Matapacos, Loukanikos kerap pula berkonfrontasi dengan Kepolisian Yunani yang bersenjatakan gas air mata.
Pada 2011, majalah Time mendaulat Loukanikos sebagai salah satu Personalities of the Year. “Apa pun alasan kesetiaannya, Loukanikos telah menggonggong dan berbaris bersama para pengunjuk rasa sejak Desember 2008,” tulis Time.
Pada Oktober 2014, BBC melaporkan Loukanikos mati di rumah pemiliknya yang bernama Achilleas sejak Mei. Menurut dokter yang merawatnya, Loukanikos mati karena masalah kesehatan karena menghirup gas air mata.
Ekstrem
Bukan cuma anjing, singa juga sempat diajak ambil bagian dalam aksi protes. Itu terjadi di Iraq sekira November 2019. Independent melaporkan seorang demonstran membawa seekor singa ke tengah aksi protes terhadap pemerintah.
Dalam sebuah rekaman video singkat yang kemungkinan diambil di Baghdad, singa itu tampak berbalut bendera Iraq dan tetap dituntun oleh pemiliknya. Singa itu sempat menerjang ke arah sekelompok pria dan kemudian duduk di sisi jalan. Sang pemilik atau mungkin pawangnya juga terlihat berjongkok santai di sampingnya.
Ada contoh lain yang juga ekstrem. Pada Desember 2011, seisi kantor pelayanan pajak di Uttar Pradesh, India, dibuat pontang-panting oleh kelakuan dua orang petani. Mereka mendatangi kantor pajak itu sambil membawa tiga karung besar berisi ular. Saat ketiga karung itu dibuka, lebih dari 40 ekor ular berbagai jenis dan ukuran langsung menyusup ke ruang-ruang di kantor itu.
Orang-orang di kantor itu sontak berlarian mencari perlindungan. Tak main-main, di antara ular-ular itu ada beberapa kobra yang bisanya mematikan.
“Kantor jadi kacau balau gara-gara ular-ular itu. Ratusan orang cari aman dengan berkumpul di luar ruangan. Sebagian mengambil tongkat dan sebagian lagi histeris meminta ular-ular itu segera dibunuh,” tutur Rasmukh Sharma, pegawai setempat, sebagaimana diwartakan Daily Mail.
Belakangan diketahui kedua petani itu bernama Hukkul Khan dan Ramkul Ram. Aksi itu mereka lakukan sebagai bentuk protes atas dugaan korupsi di dalam lembaga pemerintahan India.
Kasus di Indonesia
Keterlibatan hewan dalam demonstrasi juga pernah terjadi di Indonesia. Hanya saja, konteksnya berbeda dari kasus-kasus yang sebelumnya dibahas.
Medio Januari 2010, seorang demonstran bernama Yosep Rizal membawa kerbau dalam demonstrasi 100 hari pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Aksi itu ramai jadi pembicaraan dan sempat membuat SBY tersinggung. Orang banyak mengasosiasikan kerbau itu sebagai lambang kelambanan pemerintah.
Pakar komunikasi politik Effendi Ghazali menilai aksi bawa kerbau dalam unjuk rasa itu bukanlah cara yang elegan. Meski begitu, pemerintah semestinya juga harus introspeksi diri. Jika rakyat sampai harus menyimbolkan pemerintah sebagai kerbau, itu artinya rakyat merasa aspirasinya tidak didengar.
“Karena aksinya tidak didengar, pendemo lalu membawa kerbau beneran agar dapat perhatian dari pemerintah,” tutur Effendi sebagaimana dikutip Tempo.
Aksi serupa kembali terjadi hanya berselang beberapa hari dari kasus pertama. Liputan 6 melaporkan sekira 200-an mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Nusantara berdemonstrasi menuntut penuntasan skandal Bank Century pada 11 Februari 2010. Para demonstran mendatangi Gedung KPK dengan membawa anjing dan babi. Mudah ditebak bahwa hewan-hewan itu digunakan untuk menyimbolkan koruptor.
Demikian pun aksi-aksi demonstrasi menolak UU Cipta Kerja beberapa hari belakangan. Beberapa potret demonstrasi yang berseliweran di media sosial menampakkan para pengunjuk rasa yang membawa monyet, kucing, bahkan ular.
Editor: Fadrik Aziz Firdausi