tirto.id - Imam (bukan nama sebenarnya) mulai merasa was-was. Sejak Januari hingga Februari ini, tingkat okupansi hotel tempatnya bekerja turun tak seperti biasanya. Bahkan, kini hampir tak ada lagi aktivitas kegiatan seperti rapat maupun seminar acara yang biasa dilakukan oleh kementerian/lembaga (K/L) seperti sebelumnya.
“Rata-rata di [hotel] sini kan orang pemerintahan, karena adanya efisiensi anggaran buat kegiatan meeting dan seminar turun,” ujar Imam yang bekerja di salah satu hotel bintang lima kawasan Jakarta, Senin (17/2/2025).
Imam khawatir, jika penurunan terjadi dalam jangka panjang dampaknya bisa kepada Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Meskipun sejauh ini, kata dia, belum ada informasi lebih lanjut dari pihak manajemen terkait dampak yang bersinggungan langsung dengan para karyawan imbas dari penurunan aktivitas kegiatan di hotelnya tersebut.
“Sejauh ini belum ada yang dirumahkan. Kemungkinan kalau okupansi dan enggak ada kegiatan meeting atau seminar di hotel untuk pekerja lepas akan dirumahkan. Karena tidak terikat kontrak dengan perusahaan,” imbuh dia.
Penurunan okupansi dan beberapa kegiatan di hotel, memang tidak lepas dari Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan APBN dan APBD Tahun Anggaran 2025.
Dalam Inpres tersebut, Prabowo meminta seluruh K/L melakukan efisiensi belanja hingga Rp306,69 triliun. Rinciannya terdiri dari Rp256,1 triliun dari belanja K/L dan Rp50,59 triliun dari transfer ke daerah (TKD).
Inpres itu kemudian diperkuat dengan surat edaran bernomor S-37/MK.02/2025 yang dikeluarkan oleh Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati. Lewat surat edaran ini, Sri Mulyani mengatur beberapa pos anggaran belanja KL yang terdampak dari pemangkasan anggaran.
Beberapa di antaranya adalah kegiatan seremonial 56,9 persen, rapat, seminar, dan sejenisnya 45 persen, diklat dan bimbingan teknis (bimtek) 29 persen, perjalanan dinas 53,9 persen, dan belanja lainnya 59,1 persen.
Beberapa pos yang terdampak di atas, secara tidak langsung beririsan dengan industri perhotelan. Ini diperkuat dengan catatan Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) yang mana tidak ada pesanan masuk dari kalangan pemerintah. Baik untuk meeting maupun kegiatan lainnya
“Karena memang semuanya sudah ditahan untuk tidak ada pergerakan yang terkait dengan meeting, perjalanan dinas, dan juga kegiatan-kegiatan sosialisasi,” ungkap Ketua Umum PHRI, Hariyadi Sukamdani, saat dikonfirmasi Tirto, Senin (17/2/2025).
Akibat efisiensi ini, kata Hariyadi, industri perhotelan berpotensi kehilangan pendapatan hingga Rp24,5 triliun. Hitung-hitungan ini berdasarkan rata-rata pangsa pasar pemerintah untuk hotel bintang tiga hingga bintang lima berada di sekitar 40 persen.
“Itu kami sudah hitung kurang lebihnya potensi hilangnya itu adalah Rp24,5 triliun untuk seluruhnya, bintang tiga, empat, lima, ya,” kata Hariyadi yang juga merupakan Ketua Umum Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI).
Industri Hotel Masih Bergantung Pada Kegiatan Pemerintah
Peneliti Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS), Muhammad Anwar, melihat kebijakan efisiensi anggaran pemerintah yang tertuang dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025, memang menimbulkan kekhawatiran signifikan di kalangan pelaku industri perhotelan. Sebab, sektor ini masih bergantung pada kegiatan-kegiatan pemerintah.
Anwar bilang, kontribusi dari perjalanan dinas dan kegiatan pemerintah terhadap pendapatan hotel bisa berkisar antara 40 hingga 60 persen. Di beberapa daerah bahkan dengan tingkat pariwisata yang kurang berkembang, ketergantungan terhadap kegiatan pemerintah bisa lebih tinggi.
Jika kemudian sektor perjalanan dinas, rapat seminar biasa dilakukan di hotel-hotel dipangkas, maka dampaknya akan begitu terasa bagi industri hotel. “Sebagai contoh, di Kota Pasuruan, Jawa Timur, kebijakan efisiensi anggaran akhirnya menyebabkan penurunan okupansi hotel hingga 60 persen,” kata Anwar kepada Tirto, Senin (17/2/2025)
Sejauh ini, PHRI Jambi juga tengah khawatir akan terjadi penurunan pendapatan hingga 50 persen dari sektor hunian hotel. Mengingat saat ini, pendapatan hotel di Jambi 50 sampai 60 persen berasal kegiatan pemerintah daerah (Pemda). Sedangkan belanja kegiatan pemerintah yang menyumbang pendapatan hotel di sumbang dari sektor Meeting, Incentives, Convention, and Exhibition (MICE).
“Jambi belum masuk daerah tujuan wisata, sehingga ketergantungan terhadap belanja pemerintah sangat tinggi," kata Ketua BPD PHRI Jambi, Yudhi Irwanda Gani, mengutip Antara.
Ketua Badan Pimpinan Daerah (BPD) PHRI Nusa Tenggara Barat (NTB), Ni Ketut Wolini, mengamini salah satu jantung pendapatan hotel bintang tiga ke atas masih bersumber dari MICE. Sehingga, efisiensi anggaran pemerintah pusat dan daerah, berdampak signifikan terhadap sektor ini.
“Kan kami hotel-hotel bintang biasanya kan punya ballroom besar-besar. Itu ada MICE sangat besar pengaruhnya terhadap hotel-hotel dan restoran. Tapi karena ada efisiensi ini ya, jelas ada keterpurukan di situ,” ungkap Wolini saat dihubungi Tirto, Senin (17/2/2025).
Pemerintah, kata Wolini, harusnya melihat dampak lain terhadap pemangkasan anggaran. Mengingat sektor perhotelan merupakan padat karya yang menyerap tenaga kerja cukup besar. Apabila kondisinya terus seperti ini, maka tidak menutup kemungkinan para pengusaha hotel melakukan efisiensi atau pengurangan terhadap pegawainya.
“Kalau ini terjadi lama [dampaknya] efisiensi. Artinya akan ada efisiensi juga terhadap karyawan. Karena apa? untuk menggaji. Kalau hotel sepi gimana? jelas akan arahnya efisiensi juga terhadap karyawan,” ujar Wolini.
Jika efisiensi ini terjadi di seluruh hotel, maka kondisinya menyerupai krisis yang terjadi selama pandemi COVID-19 beberapa waktu lalu. Di mana, ribuan orang saat itu terdampak PHK akibat sektor pariwisata mati suri. Ini terjadi akibat pemerintah membatasi pergerakan masyarakat untuk keluar kota.
“Ini kan sektor pariwisata baru bangkit, sekarang ada efisiensi seperti ini lagi. Ini kayak COVID kedua ya,” ujarnya.
Menurutnya, efisiensi anggaran yang diberlakukan secara mendalam dan cepat dapat mengganggu arus pendapatan industri perhotelan yang tengah berusaha pulih pasca-pandemi. Karena itu, PHRI NTB berharap kebijakan ini dapat dievaluasi dan dijalankan secara bertahap.
“Dengan efisiensi ini, harapan kami dari PHRI NTB tentunya, dikembalikan seperti biasa anggarannya. Nanti kan dengan sendirinya itu kan berjalan secara alami, atau jangan langsung main potong terlalu besar, bertahap, gitu kan,” kata dia.
Untuk mengatasi tantangan ini, menurut IDEAS, pemerintah dapat mendorong industri perhotelan untuk mengembangkan pasar dari sektor lain. Misalnya, dengan mendukung ekosistem pariwisata, MICE berbasis swasta, atau memberikan insentif untuk menarik acara-acara internasional.
Pemerintah juga perlu memastikan bahwa setiap langkah efisiensi yang dilakukan mempertimbangkan dampak sosial dan memiliki strategi mitigasi yang jelas. Hal ini penting agar tidak menimbulkan efek domino yang merugikan kelompok ekonomi kecil dan menengah yang bergantung pada sektor perhotelan.
Peneliti Next Policy, Dwi Raihan, menambahkan, pengusaha pada akhirnya memang harus menyesuaikan atau merumuskan strategi agar bisnis mereka tetap berjalan. Namun yang mengkhawatirkan adalah kebijakan tersebut justru menyebabkan penurunan pendapatan ke pemerintah khususnya Pemda hingga PHK pada pekerja yang terlibat.
Pada dasarnya, lanjut Raihan, kebijakan efisiensi memang perlu dilakukan melihat kapasitas fiskal yang lemah. Namun kebijakan ini perlu dilakukan secara selektif. “Yang terpenting adalah pemerintah perlu melihat dampak dari kebijakan tersebut,” pungkas Raihan.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Abdul Aziz