tirto.id - Tagar #KaburAjaDulu dan peringatan darurat dengan gambar Garuda berlatar merah tengah ramai diunggah di media sosial. Keduanya disuarakan seiring banyaknya masalah yang terjadi belakang, mulai dari efisiensi anggaran belanja APBN 2025, orang tua terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) massal, hutan dibabat demi proyek mangkrak, serta sistem Coretax yang terus-menerus mengalami galat.
Kemudian, ada pula masalah terkait pengangkatan staf khusus (stafsus) kementerian yang dinilai problematik, penetrasi jenderal-jendela TNI ke lembaga-lembaga sipil, terpinggirkannya layanan korban kekerasan, dan semakin mahalnya harga-harga kebutuhan pokok.
Sebagian besar warganet percaya bahwa polemik-polemik yang terjadi belakangan disebabkan oleh program-program Kabinet Merah Putih yang membutuhkan anggaran jumbo, utamanya program Makan Bergizi Gratis alias MBG.
“Kalau kita lihat sekarang, Program Makan Bergizi Gratis itu enggak ada gratis-gratisnya. Kita, rakyat yang bayar. Layanan publik dikurangi, beban pajak ditambah. Eh, duitnya untuk bayar orang-orang yang jadi stafsus menteri dan para pejabat tinggi,” ujar Ivan Ramdhan (25) melalui pesan teks kepada Tirto, Jumat (14/2/205).
Program MBG yang selalu digaungkan oleh Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka sejak masa kampanye memang bertujuan baik. Ia dimaksudkan untuk membantu meningkatkan gizi masyarakat dan juga mengurangi angka stunting dan malnutrisi pada anak, terutama dari kelompok rentan.
Pada mulanya, MBG ditargetkan menyasar 17 juta orang. Namun, atas usulan Prabowo, jumlah itu ditambah menjadi 82,9 juta orang. Dus, alokasi anggaran untuk program MBG dalam APBN 2025 pun membengkak, dari semula sebesar Rp71 triliun menjadi Rp171 triliun.
Sebagai konsekuensi atas pembengkakan anggaran tersebut, pemerintah melakukan efisiensi anggaran hingga Rp306,1 triliun. Selain untuk MBG, kebijakan efisiensi anggaran tersebut juga ditempuh untuk membiayai total 20 program strategis pemerintah lainnnya yang diklaim bertujuan memperbaiki kesejahteraan rakyat.
“Penghematan dari alokasi anggaran proyek dan program tanpa strategi yang jelas ini sekarang akan digunakan untuk membiayai lebih dari 20 program strategis bernilai miliaran dolar yang akan mengubah negara ini,” kata Prabowo dalam pidato virtualnya di forum World Governments Summit 2025, dikutip Jumat (14/2/2025).
Apakah Sekadar Program Populis?
Pelaksanaan program MBG yang mulai berjalan sejak awal Januari 2025 memang tampak sederhana, tapi memiliki daya ungkit ekonomi kuat. Menurut Prabowo, program itu merupakan investasi pemerintah untuk masa depan anak-anak Indonesia.
“Ketika diterapkan di ratusan ribu sekolah, tepatnya 330 ribu sekolah, dari desa-desa terpencil hingga pusat kota yang dinamis, MBG menjadi investasi yang signifikan bagi masa depan kami. Tujuan kami dalam program ini adalah untuk mencakup lebih dari 85 juta anak dan wanita hamil di Indonesia,” sambung Ketua Umum Partai Gerindra tersebut.
Selain MBG, program Kabinet Merah Putih lain yang juga membutuhkan anggaran jumbo adalah program swasembada pangan. Dalam pengumuman Kementerian Koordinator (Kemenko) Bidang Pangan pada Oktober 2024 lalu, program ini mendapat kucuran anggaran mencapai Rp139,4 triliun.
Masih ada pula program 3 Juta Rumah Bersubsidi yang pada 2025 membutuhkan anggaran mencapai Rp48,4 triliun; serta program Cek Kesehatan Gratis (CKG) dengan anggaran mencapai Rp4,7 triliun dan target 287 juta orang.
Jangan lupakan juga berbagai subsidi yang digulirkan pemerintah, seperti subsidi energi yang pada 2025 menelan anggaran Rp203,4 triliun.
“Pada saat itu [kampanye], kita tahu program yang disampaikan itu butuh anggaran belanja yang besar. Namun, kondisi penerimaan pada saat itu relatif belum mampu menutupi kebutuhan peningkatan belanja tersebut,” jelas Peneliti Center of Reform on Economics (Core) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, kepada Tirto, Jumat (14/2/2025).
Sebagai informasi, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat bahwa pendapatan negara sepanjang 2024 mencapai Rp2.842,5 triliun atau tumbuh sebesar 2,1 persen secara tahunan.
Meski memiliki anggaran jumbo, Yusuf menilai program-program yang telah dirancang Prabowo belum bisa dikatakan populis. Sebab, untuk menyebut sebuah kebijakan populis, harus dilihat dulu bagaimana implementasi program-program tersebut. Jika program-program beranggaran jumbo itu tidak memunculkan dampak seindah yang dicita-citakan Prabowo-Gibran, layaklah ia disebut sebagai program populis.
“Saya kira memang akan menjadi perdebatan terkait, misalnya, program Makan Bergizi Gratis. Karena, ini memang posisinya lebih moderat. Artinya, dia sudah tidak populis lagi, tetapi juga tidak bisa dikatakan program yang katakanlah berhasil,” jelas Yusuf.
Apalagi, untuk menjalankan MBG, pemerintah melakukan efisiensi yang menurut Yusuf tak tepat. Pasalnya, kebijakan efisiensi itu banyak mengorbankan pos-pos belanja produktif, seperti gaji pegawai hingga dana beasiswa. Padahal, masih banyak pos-pos belanja lain, termasuk dari belanja seremonial, perjalanan dinas (perdinas), hingga pembelian alat tulis kantor (ATK), yang sebetulnya lebih layak dipangkas alokasinya.
Dalam hal efisiensi anggaran, pemerintah seharusnya tak semata-mata melihat anggaran dari Kementerian/Lembaga (K/L) mana yang masih cukup untuk menambal anggaran program-program beranggaran jumbo. Lebih dari itu, pemerintah seharusnya lebih jauh memikirkan dampak dari pemangkasan anggaran terhadap masing-masing K/L, terutama dampaknya terhadap pegawai dengan pangkat terendah, seperti honorer, atau bahkan lebih luas ke masyarakat.
“Itu kan juga perlu dilihat konsekuensinya gitu, ya. Apakah ternyata ketika nanti diukur secara benefit, itu lebih menguntungkan efisiensi anggaran atau ternyata cost-nya lebih besar,” imbuh dia.
Untuk memastikan anggaran dan efisiensi yang dilakukan pemerintah tak sia-sia, pemerintah perlu melakukan evaluasi dan monitoring secara berkala. Untuk Program MBG, misalnya, menurut Yusuf, pemerintah mestinya mulai mengevaluasi keberlangsungan program tersebut seiring dengan adanya rekonstruksi anggaran yang kemudian memungkinkan adanya APBN Perubahan (APBN-P) di pertengahan tahun nanti.
“Untuk melihat proses monitoring evaluasi di belanja pemerintah, termasuk di dalamnya efisiensi dan juga termasuk Program MBG selama 6 bulan ke belakang. Jadi, selama 10 Januari sampai dengan katakanlah Juni, dapat dihitung lagi apakah target-target yang ingin dicapai dari program flagship pemerintah seperti MBG apakah sudah tercapai?” tutur Yusuf.
Jika tidak ada evaluasi dan pembenahan dari pemerintah, Yusuf yakin program-program beranggaran jumbo justru akan menurunkan pertumbuhan ekonomi nasional. Apalagi, ada efisiensi belanja K/L yang praktis akan berdampak pada penurunan belanja pemerintah yang biasa menjadi salah satu penopang pertumbuhan ekonomi nasional.
“Nah, pertanyaannya adalah apakah realokasi dari efisiensi ini bisa mengompensasi penurunan yang disebabkan dari belanja pemerintah. Kan, pemerintah juga sudah menyebutkan MBG, misalnya, akan memberikan kontribusi sebesar 0,7 persen [terhadap PDB Indonesia],” ucap Yusuf.
Penggunaan Anggaran Harus Lebih Efektif
Sepakat dengan Yusuf, Sekretaris Jenderal Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA), Misbah Hasan, juga belum bisa mengatakan kebijakan fiskal Prabowo-Gibran sebagai kebijakan populis.
Hanya saja, dia menyayangkan ketika Prabowo-Gibran menjalankan program-program beranggaran jumbo yang merupakan janji kampanye tersebut dalam kondisi terbatasnya pendapatan negara.
Apalagi, penerimaan pajak Indonesia sampai 31 Desember 2024 hanya tumbuh 3,5 persen menjadi Rp1.932,4 triliun. Padahal, pada 2023 penerimaan pajak dapat tumbuh 8,9 persen menjadi Rp1.869,23 triliun.
“Apalagi, sekarang anggaran untuk MBG itu naik, dari yang sebelumnya Rp71 triliun ke Rp171 triliun. Bahkan, menurut kami, bisa sampai Rp150 triliun. Ini memang dilema-dilema yang ada di pemerintahan saat ini,” ujar Misbah saat dihubungi Tirto, Jumat (14/2/2025).
Meski APBN cekak dan program-program seperti MBG membutuhkan anggaran besar, pemerintahan Prabowo agaknya akan tetap melanjutkannya. Sebab, program-program itulah yang menjadi pembeda antara pemerintahan saat ini dan pemerintahan sebelumnya. Apalagi, pemerintahan Presiden Joko Widodo sangat kental kaitannya dengan pembangunan infrastruktur.
“Jadi, itu upaya-upaya yang sedang dilakukan sehingga masyarakat tidak lagi mengelu-elukan Jokowi. Tapi, kemudian, memang masyarakat sudah terus melihat kepemimpinan Prabowo,” sambung Misbah.
Karenanya, ketika program-program beranggaran jumbo harus tetap berjalan, penggunaan anggaran seharusnya dilakukan dengan lebih presisi.
Tak masalah jika program-program tersebut mendapat tambahan anggaran, baik dari efisiensi maupun rekonstruksi. Hanya saja, Kemenkeu harus memastikan bahwa pemotongan dan penyesuaian anggaran yang dilakukan tepat dan tidak menimbulkan dampak buruk kepada masyarakat.
“Jangan sampai pemotongan anggaran ini membuat banyak keluarga yang pagi anaknya dapat MBG, malamnya tidak bisa makan. Bahkan, di beberapa daerah sudah mulai pekerja-pekerja ada PHK. Alasannya karena adanya efisiensi,” tegas Misbah.
Sementara itu, usai konferensi pers terkait efisiensi anggaran dengan Menteri Keuangan, Sri Mulyani, Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad, bungkam ketika ditanya terkait kritik efisiensi anggaran untuk MBG yang berpotensi menimbulkan kerentanan ekonomi bagi beberapa kelompok masyarakat. Alih-alih menjawab, kader Partai Gerindra tersebut justru beralih menjawab pertanyaan lain soal BPI Danantara.
Pada kesempatan yang sama, Sri Mulyani memastikan bahwa efisiensi yang dikomandoinya tak akan mengganggu pertumbuhan ekonomi nasional. Sebab, rekonstruksi anggaran pada dasarnya tak ada pengurangan belanja negara sama sekali. Anggaran senilai Rp306,69 triliun yang diamanatkan Prabowo untuk dilakukan efisiensi hanya dipindahkan ke pos-pos belanja lain.
“[Efisiensi anggaran] itu kan tidak dilakukan pengurangan total belanja. Jadi, yang ada adalah di-refocusing,” kata Menkeu di Kompleks Parlemen, Jumat (14/2/2025).
Bahkan, efisiensi yang dilakukannya tidak akan menyentuh pos-pos belanja produktif, seperti tunjangan kinerja (tukin) dosen hingga dana beasiswa. Karena itu, alih-alih memberikan dampak buruk pada perekonomian, Sri Mulyani yakin bahwa upaya ini akan membuat ekonomi Indonesia menjadi lebih baik.
“Nanti, kita akan lihat dari sisi langkah-langkah ini. Kami terus melakukan, tentu saja, monitoring dari langkah-langkah ini. Terutama, tentu dari kecepatan nanti untuk melakukan belanja selanjutnya [setelah efisiensi[,” tegas dia.
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Fadrik Aziz Firdausi