tirto.id - Selama beberapa bulan terakhir industri penerbangan diributkan oleh perdebatan seputar peningkatan tajam tarif tiket pesawat. Presiden Joko Widodo menuding tingginya harga avtur disebabkan monopoli oleh Pertamina sebagai faktor utama. Namun, apakah pernyataan Jokowi akurat?
Dalam sambutannya di acara Gala Dinner Peringatan HUT ke-50 Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), Selasa (12/2), Jokowi mengungkapkan kekagetannya akan praktik monopoli yang Avtur yang dilakukan oleh Pertamina.
Jokowi lantas menyatakan bakal memanggil Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati terkait hal ini. Ia menginginkan agar harga Avtur disesuaikan dengan harga internasional. Jika tak dipenuhi, pemerintah akan mendorong masuknya kompetitor. Jokowi yakin harga Avtur di Indonesia bisa lebih kompetitif dan terjangkau jika praktik monopoli dihentikan.
Hal ini, menurut Jokowi, adalah solusi untuk mengatasi masalah tiket pesawat di Indonesia yang belakangan meroket.
“Kalau ini diteruskan ya nanti pengaruhnya ke apa? Ke harga tiket pesawat karena harga avtur itu menyangkut 40 persen dari cost yang ada di tiket pesawat,” ucap Jokowi, seperti dilansir laman resmi Sekretariat Kabinet Republik Indonesia.
Pertamina langsung merespons. Direktur Pemasaran dan Ritel PT Pertamina (Persero) Masud Khamid mengatakan akan segera menurunkan harga avtur pada Selasa (12/2) lalu. Ia mengatakan, penyesuaian harga akan dilakukan Pertamina setelah meninjau harga avtur.
Khamid mengklaim bahwa penyesuaian harga tidak akan memengaruhi kondisi keuangan Pertamina. Pasalnya, kerugian di produk hilir dapat dikompensasi dari penjualan di sektor hulu.
“Pertamina itu kan integrated oil & gas company. Keuntungan itu bisa dari hulu bisa dari hilir bisa dari lifting dari hilir penjualan selisih pembelian crude sehingga variabelnya itu variabel satu harga crude, kedua kurs, yang ketiga efisiensi operasional di operasi-operasi,” jelasnya.
Terbuka Tanpa Monopoli
Problem tingginya harga avtur ini sesungguhnya adalah masalah klasik. Ketika masih menjabat sebagai menteri perhubungan, Ignasius Jonan pernah meminta Pertamina menurunkan harga avtur yang kala itu lebih mahal 20 persen dibandingkan harga internasional.
Seperti dilansir Tempo, Jonan bahkan mengatakan akan membuka kesempatan bagi pihak swasta untuk masuk ke dalam penjualan avtur di Indonesia. “Ya lebih baik pemasok avtur jangan hanya Pertamina. Kalau ada yang minat silahkan,” sebut Jonan.
Saat itu Jonan menuding tingginya harga avtur disebabkan oleh cara Pertamina yang tidak efisien mengelola kilang minyak, bukan karena tingginya biaya distribusi avtur ke seluruh Indonesia.
Penjelasan berbeda disuguhkan oleh penelitian berjudul “Asymmetric Price Transmission dan Industri Avtur di Indonesia” (2009) oleh Riris Munadiya. Menurut studi tersebut, faktor utama dari tingginya harga avtur di Indonesia, jika menilik dari pengeluaran Pertamina, adalah beban biaya distribusi (shipping dan storage fee) yang juga tinggi.
Dalam studi itu disebutkan: “Berdasarkan supply chain, dari 53 lokasi hanya 7 lokasi yang supply-nya langsung dari kilang ke DPPU, yaitu Pekanbaru, Dumai, Palembang, Jambi, Jakarta, Denpasar, Palangkaraya. Sisanya dari kilang harus melalui intermediate depot atau tanker (wilayah Indonesia timur).”
Subsidi silang antara bandara dengan frekuensi penerbangan yang tinggi dan yang rendah kemudian juga menjadi faktor lain yang menyebabkan tingginya harga avtur.
Lebih lanjut, regulasi di Indonesia sendiri sesungguhnya memungkinkan masuknya pemain swasta di sektor ini. BPH Migas melalui peraturan Nomor 13/P/BPH Migas/IV/Tahun 2008 tidak menyatakan adanya larangan bagi pihak swasta untuk menjual avtur di bandara-bandara di Indonesia. Peraturan itu hingga kini masih berlaku.
Pihak swasta memang pernah masuk dalam ke dalam bisnir avtur pada 2007 lalu melalui Shell Aviation. Perusahaan asing yang bermarkas di Belanda ini memasok avtur di Bandara Soekarno Hatta sampai keluar dari bisnis tersebut pada 2009.
Seperti dikutip dari Detik, meski Shell tidak memberikan konfirmasi, pihak Pertamina melalui Ahmad Bambang yang kala itu menjabat sebagai direktur pemasaran menyebutkan bahwa mundurnya Shell disebabkan oleh faktor biaya tambahan mulai dari biaya tanker, pompa serta pipa laut ke tangki di Soekarno Hatta, selain dari biaya tangki di Soekarno Hatta sendiri.
Pada saat itu, Shell memang bekerja sama dengan Pertamina dalam hal penyewaan tangki-tangki BBM untuk avtur Shell.
Harga yang Kompetitif?
Tidak dapat dipungkiri bahwa harga avtur di Indonesia hingga saat ini masih cukup tinggi. Dikutip dari International Air Transport Association (IATA), penyedia layanan informasi di sektor energi Platts menyebutkan harga rerata avtur per 8 Febuari 2019 mencapai $77,75/blue barrel (bbl).
Jika dikonversikan ke dalam satuan rupiah per liter, maka jumlahnya setara sekitar Rp6.870/liter dengan kurs rupiah ke dolar Amerika Serikat Rp14.048,05. Harga ini jauh lebih rendah sekitar 28 persen dari harga rata-rata avtur Pertamina yang berada di tingkat Rp9.671/liter yang berlaku sampai 14 Febuari 2019.
Kendati demikian, menurut klaim Deputi Bidang Usaha Pertambangan, Kajian Strategis dan Media Kementerian BUMN Fajar Hary Sampurno, harga ini sudah cukup bersaing di kawasan Asia Tenggara. “Khususnya di Soetta [Soekarno Hatta] ... Kita hanya nomor tiga di Asia Tenggara,” jelas Fajar.
Pernyataan senada dikeluarkan oleh Direktur Eksekutif ReforMiner Komaidi Notonegoro. Ia mengatakan harga avtur Indonesia masih kompetitif sehingga tidak tepat menyalahkan Pertamina atas tingginya harga tiket pesawat dan penerapan aturan baru bagasi. Apalagi jika Jokowi mendorong Pertamina untuk menurunkan harga Avtur.
“Coba dibayangkan, enggak diturunkan saja keuangannya udah empot-empotan. Apalagi diturunin,” ujar Komaidi. Pertamina memang hanya mencatatkan laba sebesar Rp5 triliun pada kuartal III/2018, turun jauh dari periode sama tahun sebelumnya yakni sekitar Rp26,8 triliun.
Peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abra Talattof mengatakan harga avtur di Soetta bahkan lebih murah dibandingkan di Malaysia dan Singapura. "Di Soetta itu Rp 8.210 per liter, di Kuala Lumpur itu yang dijual Shell Rp8.900, di Singapura Rp10.600," terangnya.
Dalam keterangan resminya awal bulan ini, Ketua Umum Indonesia National Air Carriers Association (INACA) I Gusti Ngurah “Ari” Askhara Danadiputra mengatakan bahwa harga avtur memang tidak berdampak mutlak pada kenaikan harga tiket.
“Kami menentukan harga avtur tidak langsung harga tiket pesawat menjadi lebih mahal. Biaya sewa operasional lain seperti sewa pesawat, perawatan dan lain-lain memang menjadi lebih tinggi di tengah nilai tukar dolar Amerika Serikat,” jelas Ari yang juga merupakan Direktur Utama PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk itu.
Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS memang tidak begitu baik dalam beberapa bulan terakhir kendati menunjukkan penguatan. Pada Oktober lalu, rupiah bahkan sempat hampir menyentuh Rp15.300 per satu dolar AS.
Setidaknya ada dua hal yang terdampak dari lemahnya posisi rupiah terhadap dolar AS: Avtur yang mengalami kenaikan 125 persen dan biaya leasing pesawat.
“Leasing pesawat dalam hal ini juga menggunakan dolar Amerika, jadi kurs yang menyebabkan [kenaikan]," kata Ari pada Januari silam, sembari menambahkan bahwa biaya leasing pesawat memakan porsi sekitar 20 persen dari pengeluaran maskapai.
Editor: Windu Jusuf