tirto.id - Sindiran Presiden Joko Widodo soal mahalnya avtur yang dipasok PT Pertamina (Persero) bikin perusahaan pelat merah itu harus putar otak untuk menurunkan harga jual. Sebab, kata Jokowi, tingginya bahan bakar pesawat itu telah membuat bisnis maskapai mengalami turbulensi.
Imbasnya, tarif tiket pesawat naik yang disertai dengan kebijakan bagasi berbayar mulai diberlakukan sejak pertengahan Januari lalu. Hal ini dikhawatirkan bakal memengaruhi ke bisnis perhotelan dan jasa pariwisata.
Pertamina pun merespons sindiran itu dengan rencana penurunan harga. Direktur Pemasaran dan Ritel Pertamina, Masud Khamid mengatakan, perusahaannya tengah mengkaji ulang margin yang didapat dari penjualan serta berapa besar penurunan avtur dapat diterapkan.
“Nanti kita lihat setelah hasil evaluasinya teman-teman,” kata Masud saat ditemui di Kementerian BUMN, Selasa (12/2/2019).
Namun, langkah itu dikritik Direktur Eksekutif ReforMiner Komaidi Notonegoro. Ia menilai cara Jokowi mendorong penurunan harga avtur bakal makin mencekik Pertamina yang keuangannya telah terbebani dengan harga jual bahan bakar minyak (BBM) penugasan.
“Coba dibayangkan, enggak diturunkan saja keuangannya udah empot-empotan. Apalagi diturunin,” kata Komaidi saat dihubungi reporter Tirto.
Berdasarkan paparan Kementerian BUMN, 5 Desember 2018, perseroan pelat merah itu hanya membukukan laba sebesar Rp5 triliun pada kuartal III/2018.
Angka itu mengalami penurunan cukup jauh jika dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yang mencapai 1,99 miliar dolar AS atau setara Rp26,8 triliun. Sementara di akhir tahun, Pertamina berhasil membukukan laba sebesar Rp35 triliun.
Apalagi, kata Komaidi, penetapan harga avtur telah diatur dalam Kepmen ESDM No. 17/2019 tentang Formula Harga Jual Eceran BBM Jenis Avtur. Termasuk soal margin 10 persen dari harga beli.
Di samping itu, Komaidi menyebut harga avtur di Indonesia sebenarnya masih kompetitif dibandingkan negara lain. Sehingga, jika menyalahkan Pertamina atas naiknya harga tiket pesawat dan penerapan bagasi berbayar hal tersebut tidak tepat.
“Kalau harga avtur itu, kan, dia jualnya sesuai harga beli. Kalau Pertamina beli 3 bulan lalu, jualnya ya sesuai harga tiga bulan lalu. Kalau Singapura jual sekarang murah, tapi belinya sebulan lalu, ya itu enggak bisa dibandingkan,” kata Komaidi.
Hal senada disampaikan Deputi Bidang Usaha Pertambangan, Kajian Strategis dan Media Kementerian BUMN Fajar Hary Sampurno. Menurut dia, harga avtur Pertamina sudah sangat kompetitif.
Pernyataan Fajar ini menanggapi pernyataan Jokowi yang menilai penyebab mahalnya harga tiket pesawat karena harga avtur Pertamina mahal.
“Saya sampaikan lagi, harga avtur di Indonesia khususnya di [bandara] Soetta sudah sangat kompetitif. Kita hanya nomer 3 di Asia Tenggara,” kata Fajar saat ditemui di Kementerian BUMN.
Lantaran itu, kata Harry, dirinya tak mengerti mengapa Presiden Jokowi memanggil Pertamina terkait harga avtur yang dinilai tinggi. Sebab, kata dia, kenaikan tarif tiket pesawat yang dianggap memberatkan seharusnya tak terjadi.
“Harga avtur sekarang posisinya turun terus sejak November dan sudah disampaikan oleh Bu Menteri BUMN [Rini Soemarno]” imbuhnya.
Efek Domino Mahalnya Tiket Pesawat
Peneliti dari Institute for Development of Economies and Finance (Indef) Bhima Yudhistira menilai tingginya harga tiket pesawat memang berbahaya bagi industri jasa pariwisata. Apalagi, perekonomian Indonesia pada 2019 berada di tengah ancaman lambatnya ekonomi global serta lesunya iklim investasi di tahun politik.
“Pariwisata jadi harapan dan tumpuan perekonomian. Makannya kita dorong leisure ekonomi, yaitu ekonomi rekreasi atau jalan-jalan. Itu 90 juta milenial yang hobi jalan-jalan, jangan kemudian dibunuh dengan kebijakan tiket yang naik dan bagasi berbayar,” kata Bhima.
Namun, menurut Bhima, tingginya harga tiket pesawat harusnya bisa diselesaikan dengan memberikan penugasan kepada Pertamina serta subsidi avtur.
Sebab, kata Bhima, harga avtur menjadi variabel terbesar dalam pembiayaan bisnis penerbangan. Jika mekanisme satu harga dapat diterapkan untuk avtur, ia yakin harga tiket pesawat tak akan melonjak secara drastis.
“Kalau Pertamina bisa dikasih penugasan, kemarin untuk BBM satu harga, dan ini menyangkut hajat hidup orang banyak, kenapa enggak kemudian penugasan dalam bentuk menjaga avtur,” kata Bhima.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pun angkat bicara soal tingginya tarif tiket maskapai penerbangan yang disebabkan mahalnya harga avtur, termasuk pengenaan PPn avtur.
“Nanti Pertamina biar di-review saja, nanti kami lihat kalau ada implikasinya," ujar Sri Mulyani di kantornya, Selasa (12/2/2019).
Hingga saat ini, kata Sri Mulyani, Kementerian Keuangan masih menunggu hasil review dari Pertamina, apakah kebijakan PPn yang diberlakukan pemerintah menghambat atau tidak.
"Jadi kami lihat supaya kita enggak ada kompetisi tidak sehat antara Indonesia dengan yang lainnya," kata Sri Mulyani.
"Kalau itu sifatnya adalah level playing field, kamibersedia untuk membandingkan dengan negara lain, kita selalu dibandingkan dengan Singapura, Kuala lumpur, kalau treatment PPn itu adalah sama, kita akan berlakukan sama," kata Sri Mulyani.
Berdasarkan Peraturan Menteri Perhubungan No. 14/2016 (PDF) yang mengatur tarif batas atas dan bawah angkutan udara, penyesuaian tarif bisa dilakukan apabila harga avtur di atas Rp9.729 per liter, selama tiga bulan berturut-turut.
Catatan dalam artikel Tirto "Dolar Bikin Garuda & Maskapai Penerbangan Lain Megap-Megap" yang terbit pada 10 September 2018 disebutkan, rata-rata harga avtur Pertamina ini memang sudah di atas Rp9.729 per liter. Di Bandara Soekarno-Hatta, harga jual avtur sudah menembus Rp8.920 per liter, dan belum memasukkan PPn 10 persen dan pajak penghasilan 0,3 persen.
Harga avtur di Bandara Juanda Surabaya sebesar Rp9.590 per liter, Bandara Kualanamu Medan Rp9.940 per liter, Bandara Hasanuddin Makassar Rp10.260 per liter, dan Bandara Ngurah Rai Bali Rp9.740 per liter.
Usulan penyesuaian tarif itu belum terealisasi oleh pemerintah, meskipun sebelumnya INACA telah mengusulkan agar tarif batas tarif batas bawah penumpang pelayanan kelas ekonomi dinaikkan menjadi 40 persen dari tarif batas atas, dari sebelumnya hanya 30 persen.
Pemerintah melakukan penyesuaian dengan memangkas usulan INACA dari 40 persen menjadi 35 persen.
Penulis: Hendra Friana
Editor: Abdul Aziz