tirto.id - Ada sekitar 40-an orang yang diundang ke pemutaran terbatas Avengers: Endgame di XXI Kelapa Gading, Jakarta, pada Selasa (23/4/2019) malam. Saya termasuk di antaranya, dan tergolong beruntung sebab mendahului pemutaran resmi di bioskop-bioskop reguler pada satu hari setelahnya.
Seluruh barang elektronik dilarang masuk bioskop. Jadwalnya agak terlambat dibandingkan yang tertera di undangan. Ada jeda waktu lama sebelum film benar-benar diputar. Situasi ini mendorong para penonton untuk bercakap-cakap dengan yang lain.
Pria muda di samping saya tidak mau nama aslinya disebut untuk kepentingan naskah ini. Ia minta ditulis sebagai Tony. Seperti Tony Stark, nama karakter Iron Man yang menjadi favoritnya di waralaba Marvel Cinematic Universe (MCU).
Tony berpenampilan agak nerdy. Ia bekerja untuk sebuah media yang mengkhususkan diri pada dunia film dan gim serta mendaku sebagai seorang marvel enthusiast. Oleh sebab itu ia ditugaskan editornya untuk datang ke pemutaran, dan ia mengaku gembira bukan kepalang.
Sepanjang film saya tidak bisa tidak melirik Tony terutama di momentum-momentum penting.
Pada permulaan film ia terlihat agak tegang. Sisanya senyum atau gelak tawa. Kadang ia bertepuk tangan. Berkali-kali menitikkan air mata, sampai diam-diam melepas kacamata untuk mengusapnya. Saat saya menoleh ke barisan penonton lain, pemandangannya serupa.
Avengers: Endgame memang sukses mengajak penonton untuk menaiki roller coaster emosi: sedih, gembira, tegang, bergiliran datang satu per satu, kadang campur baur jadi satu.
Jembatannya adalah rangkaian nostalgia, akting prima, dan laga epik yang menunjukkan kejeniusan Christopher Markus dan Stephen McFeely dalam menulis skenario. Keduanya berhasil menyusun sesuatu yang melampaui ekspektasi publik.
Avengers: Endgame menjadi film ke-22 MCU sekaligus sekuel yang memuncaki petualangan para pahlawan sejak The Avengers (2012), Avengers: Age of Ultron (2015), dan Avengers: Infinity Wars (2018).
Tapi narasi film tidak hanya berkaitan dengan tiga film sebelumnya. Ini bukan spoiler, melainkan konsekuensi logis dari bagaimana MCU membentuk dunia yang saling berkaitan satu sama lain.
Dengan demikian Avengers: Endgame akan menguji kekuatan hubungan Anda dengan ke-21 film sebelumnya. Jika semakin kuat, maka akan semakin kencang kereta nostalgia menghantam sisi emosional Anda—dan sebaliknya. Film ini adalah soal konteks yang berkelindan dengan konteks lain.
Oleh sebab itu, agar mendapatkan kepuasan maksimal, Anda disarankan menonton dahulu film-film MCU sebelumnya. Minimal paham konteks cerita dan latar belakang karakternya. Sangat disayangkan jika sepanjang lebih dari tiga jam durasi film Anda justru sibuk bertanya-tanya.
Permulaannya adalah Iron Man (2008), yang oleh Marvel Studios dijadikan flagship waralaba superhero komik Marvel hingga satu dekade selanjutnya.
Sejak saat itu industri perfilman Hollywood tidak lagi sama. Semua berkat formula Marvel Studios dalam menerjemahkan apa itu film superhero yang menghibur—baik dari elemen laga, polesan drama, sampai bagaimana mereka memasukkan unsur-unsur humor di sela-selanya.
Rumus ini tergolong susah untuk diimitasi, apalagi dalam bentuk proyek waralaba pahlawan yang diangkat dari komik.
DC Films melalui DC Extended Universe-nya membangun waralaba sejak flagshipMan of Steel dirilis pada tahun 2013. Tetapi hasilnya tidak sejaya MCU. Film terbaru mereka, Shazam! (2019), menurut saya mendapat respons positif justru karena mengadopsi formula humor ala MCU.
Keberadaan formula bukannya mematikan pengambilan risiko-risiko. Terbantu oleh kekayaan jumlah karakter plus narasi historisnya, beberapa film MCU tercatat mengambil kebijakan yang tak biasa.
Misalnya Thor: Ragnarok (2017). Di antara puluhan sineas, Marvel Studios menjatuhkan posisi sutradara ke tangan Taika Waititi: komedian, aktor dan sutradara independen yang belum pernah menangani proyek blockbuster. Thor: Ragnarok pun menghibur dengan gayanya sendiri, dengan humor-humor indie khas Waititi.
Atau Avengers: Infinity Wars. Seakan mematahkan formula “kegembiraan untuk semua usia” yang dijunjung sejak pendirian waralaba, film ini justru membiarkan para pahlawan kalah sekalah-kalahnya. Hanya dengan satu jentikan jari Thanos, terbunuhlah banyak karakter kesayangan marvel enthusiast.
Avengers: Endgame adalah cara Marvel Studios untuk menyelam jauh ke dampak emosional itu. Film ini adalah eksplorasi mendalam tentang rasa kehilangan dan ketidakberdayaan yang kemudian dikembangkan untuk aksi balas dendam yang epik.
Statusnya sebagai pemuncak sebuah era—yang dikemas secara nyaris sempurna untuk konteks waralaba superhero—Avengers: Endgame sekaligus membayar lunas investasi jangka panjang Marvel Studios.
Secara ekonomi hitung-hitungannya masuk akal. Tapi saya juga merefleksikannya pada usaha banyak warga di Jakarta yang rela menyeret kaki ke bioskop usai subuh untuk menonton film ini pada pukul 5 pagi di hari pemutaran pertama.
Tidak mengherankan jika pada akhir Desember 2018 Avengers: Endgame tercatat sebagai film paling ditunggu kedua versi IMDb di belakang Captain Marvel. Film ini menjadi blockbuster paling diantisipasi tahun 2019 menurut dua kanal penyedia tiket, Fandango dan Atom Tickets.
Deadline melaporkan tingginya permintaan tiket pra-penjualan yang tersedia di Amerika Serikat pada 2 April 2019 membuat pelanggan Fandango dan Atom Tickets mengalami pelayanan yang lama. Laman AMC Theaters juga sempat mengalami kendala tidak bisa diakses sepenuhnya selama beberapa jam.
Masih di hari yang sama, Avengers: Endgame mencatatkan sejumlah rekor baru. Fandango dan Atom Tickets mengumumkan film menjadi pemuncak penjualan tiket pre-sale untuk 24 jam pertama. Baru di masa pre-sale, film sudah meraup lebih $120 juta. Ini baru di Amerika, belum penjualan di taraf internasional.
Di antara pundi-pundi keuntungan yang mengalir ke kantong para bohir di Hollywood, ada Tony yang tidak bisa berkata apa-apa setelah film berakhir.
Saya, dia, dan mayoritas penonton duduk manis hingga kredit film benar-benar habis. Saat saya tanya bagaimana pendapatnya, Tony cuma bilang: “Keren banget, Mas.”
Mall Kelapa Gading sudah sangat sepi saat kami keluar area bioskop XXI. Jam menunjukkan pukul 22.30. Kami berpisah di lantai dasar.
Tony menggenggam goodie bag bingkisan dari panitia, berwarna oranye, bertuliskan “MARVEL”. Senyumnya awet hingga keluar gedung, untuk malam yang barangkali akan selalu ia kenang.
Editor: Windu Jusuf