Menuju konten utama

Aturan Hukum TPPO Harus Dievaluasi agar Pengungkapan Kasus Jelas

ICJR juga menemukan jaminan hak korban yang tidak cukup dijalankan oleh aparat penegak hukum sebagai bagian dari komitmen penegakan hukum TPPO.

Aturan Hukum TPPO Harus Dievaluasi agar Pengungkapan Kasus Jelas
Sejumlah tersangka dihadirkan saat rilis pengungkapan perkara Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) jaringan internasional Indonesia-Kamboja berupa penjualan organ tubuh di Polda Metro Jaya, Jakarta, Kamis (20/7/2023). ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso/rwa.

tirto.id - Polda Metro Jaya menetapkan 12 orang jadi tersangka dugaan perdagangan orang bermodus jual organ tubuh ke Kamboja.

Mereka terdiri dari 9 tersangka sindikat dalam negeri yang berperan merekrut, menampung, mengurus perjalanan korban, 1 tersangka sebagai penghubung korban dengan rumah sakit di Kamboja, sedangkan 2 lainnya adalah anggota Polri dan Imigrasi.

Lantas ada terduga pelaku, Miss Huang, berperan sebagai koordinator dari 12 tersangka tersebut, yang saat ini masih menjadi buronan yang masuk dalam daftar pencarian orang (DPO).

Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menilai perlu adanya evaluasi kerangka hukum tindak pidana perdagangan orang (TPPO). Hal ini penting agar kasus penegakan hukum TPPO terutama yang menyeret seseorang pada Daftar Pencarian Orang (DPO) bisa jelas tindak lanjutnya.

"Kami meminta penyidik tidak tinggal diam dengan pernyataan tersangka lain yang menyatakan tidak mengenal Miss Huang dan jaksa juga harus bersikap untuk menjamin ada tindak lanjut terhadap DPO tersebut," kata Lovina, peneliti ICJR dalam keterangannya, Jumat (28/7/2023).

Pada perkara ini kepolisian hanya berhasil menjerat pelaku lapangan, sementara sosok Huang sebagai koordinator belum diungkap. Ia juga menegaskan bahwa sekalipun dalam penelitian ICJR ditemukan batasan dalam kerangka hukum TPPO utamanya untuk menjerat perbuatan untuk tujuan eksploitasi di luar negeri (karena batasan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007).

Namun penggunaan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 21 tahun 2007 dengan menjerat potensi eksploitasi di dalam negeri juga dalam diberlakukan, sehingga aktor intelektual harus juga bisa dijerat.

Temuan lainnya, ICJR juga menemukan jaminan hak korban yang tidak cukup dijalankan oleh aparat penegak hukum sebagai bagian dari komitmen penegakan hukum TPPO.

ICJR, dalam risetnya yang melakukan anotasi putusan yang sampai dengan tingkat kasasi di Mahkamah Agung, menemukan dari 38 perkara yang diputus sampai tingkat kasasi, hanya 2 perkara yang ada pendampingan korban dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), 3 korban meninggal dunia, sedangkan 33 korban lain tidak ada pendampingan dan pemulihan terhadap mereka.

"Kemudian soal restitusi untuk korban perdagangan orang, dari 38 perkara, mayoritas yaitu 26 perkara tidak diajukan tuntutan ganti kerugian oleh Penuntut Umum, dan hanya 10 perkara yang dikabulkan restitusinya oleh hakim dan 2 perkara yang putusannya disertai dengan penyitaan/perampasan aset untuk kepentingan restitusi, namun pun tidak memuat teknis detail bagaimana perampasan aset tersebut dilakukan," jelas Lovina.

ICJR menuntut tiga hal yakni jaksa harus aktif sedari awal untuk menjamin penyidik menyidik tuntas kasus, tidak hanya berhenti pada pelaku lapangan. Tuntutan kedua yaitu jaksa harus memastikan penyidik melacak aset dan pemblokiran rekening untuk mencari tahu jalur jaringan dan membayar restitusi korban yang mencapai ratusan orang.

Terakhir, hak korban untuk restitusi harus diajukan dalam tuntutan oleh jaksa yang dikoordinasikan melalui penyidik kepolisian dan LPSK sejak awal proses pengusutan kasus.

Baca juga artikel terkait KASUS TPPO atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Hukum
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Bayu Septianto