tirto.id - Sensor masih jadi masalah di berbagai belahan dunia. Tak terkecuali kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Laporan berjudul “Freedom on the Net 2017: Manipulating Social Media to Undermine Democracy” yang dipublikasikan Freedom House pada akhir 2017 menunjukkan tujuh dari delapan negara ASEAN memiliki nilai rendah dalam kebebasan internet serta penyensoran. Freedom House merupakan organisasi nirlaba yang berfokus pada riset-riset seputar demokrasi dan Hak Asasi Manusia.
“Sensor sedang meningkat dan kebebasan internet menurun di Asia Tenggara,” terang analis riset Freedom House untuk Asia, Madeline Earp, seraya menyebut "pemblokiran situs, penangkapan aktivis, serangan siber" dan "pelanggaran hak-hak lainnya" sebagai tanda semakin sempitnya ruang-ruang kebebasan berekspresi.
Laporan Freedom House didasarkan pada lima kriteria penilaian. Pertama, sensor negara terhadap konektivitas seluler. Poin ini berangkat dari semakin seringnya praktik negara mematikan layanan internet dengan alasan politik dan keamanan. Kedua, layanan streaming video yang dibatasi pemerintah, dengan tujuan mencegah tersebarnya siaran berbau kekerasan apabila terjadi aksi-aksi demonstrasi.
Ketiga, meningkatnya serangan terhadap kantor berita, kelompok oposisi, dan pembela HAM. Murahnya biaya untuk melangsungkan taktik ini membuat pemerintah pusat dan daerah tak ragu untuk menggembosi kekuatan kelompok yang getol mengekspos aib pemerintah dalam kasus-kasus seperti korupsi hingga pelecehan seksual. Situs independen banyak ditutup, akun media sosial para aktivis dibajak, dan politisi dari kelompok oposisi diawasi kegiatan daringnya.
Keempat, pembatasan pada jaringan virtual pribadi (VPN) yang dilakukan pemerintah agar masyarakat tetap sulit mengakses situs yang sudah diblokir. Terakhir, naiknya jumlah serangan fisik kepada jurnalis maupun blogger yang menulis topik sensitif seperti kebobrokan pemerintah hingga agama.
Dari kelima penilaian itu, Free House lantas mengkategorikan negara dengan tiga status: Not Free (tidak ada kebebasan internet dan penyensoran tinggi), Partly Free (masih ada penyensoran dan pengekangan kebebasan internet meski tak banyak), dan Mostly Free (hampir tidak ada penyensoran serta kebebasan internet dijunjung tinggi).
Negara-negara di Asia Tenggara dengan nilai rendah—berstatus “Not Free” atau “Partly Free”—antara lain adalah Thailand, Kamboja, Myanmar, Singapura, Vietnam, serta Malaysia. Di negara-negara tersebut, kontrol pemerintah atas internet terus berkembang dan jumlah masyarakat sipil yang ditangkap gara-gara mengunggah sesuatu “yang tidak sesuai norma” pemerintah semakin meningkat.
Sedangkan untuk negara dengan skor cukup tinggi—dalam artian “Mostly Free”—ditempati Filipina. Meski begitu, Filipina tidak bisa dikata “bebas” 100% karena masih ada penyensoran terbatas, upaya konsolidasi untuk membentuk opini publik agar pro-pemerintah, sampai kekerasan terhadap wartawan maupun aktivis (pembunuhan pengacara Mia Manuelita Mascarinas-Green pada bulan Februari 2017 adalah contohnya).
Kamboja sampai Thailand
Di Kamboja, akses internet mulai tumbuh secara signifikan seiring naiknya kepemilikan telepon pintar. Data Asia Foundation dan Open Institute pada 2016 menyebutkan hampir separuh penduduk Kamboja memiliki telepon genggam. Namun, hal tersebut bukan sepenuhnya kabar baik sebab upaya pemerintah membatasi tindak-tanduk masyarakat lewat penyensoran juga meningkat. Beberapa indikatornya antara lain penangkapan aktivis dan wartawan lokal, mengontrol ketat kegiatan masyarakat lewat Facebook, pelarangan pemutaran film asing, pembredelan media, hingga menekan kelompok oposisi.
Anggota dewan Pusat Studi Khmer dan profesor diplomasi dari Occidental College Los Angeles, Sophal Ear, mengemukakan kepada South Morning China Post bahwa penyensoran digunakan elit pemerintah untuk memperoleh dukungan dari basis pemilih tradisional.
Walaupun tekanan pemerintah begitu kuat, masyarakat terus mengandalkan media sosial sebagai wadah aktivisme dan sumber informasi. Hal ini bisa dilihat kala upaya oposisi menggulingkan rezim Hun Sen melalui propaganda yang disebar secara daring—walaupun gagal—hingga terkuaknya skandal politik para petinggi Partai Rakyat Kamboja (CPP) yang juga diperoleh masyarakat secara daring.
Situasi serupa juga terjadi di Vietnam. Musuh utama kebebasan dalam negara ini adalah Pasal 258 yang kerap digunakan pemerintah untuk meringkus aktivis, jurnalis, maupun masyarakat sipil yang rajin mengkritik negara. Contoh kasus terkenal ialah tatkala Nguyen Huu Vinh dan Nguyen Thi Minh Thuy didakwa hukuman tujuh tahun penjara karena aktivitas online mereka di Basam (media lokal yang konsisten dalam menyuarakan kritikan kepada pemerintah).
“Penangkapan blogger Vietnam karena tuduhan menyalahgunakan ‘kebebasan demokratis’ adalah tindakan sinis lagi mengerikan,” ujar wakil direktur Human Rights Watch Asia, Phil Robertson. “Vietnam harus segera menghentikan keberadaan Pasal 258 yang digunakan secara konsisten untuk menghukum kebebasan berekspresi.”
Sementara di Thailand juga setali tiga uang. Dua hal yang jadi musuh masyarakat sipil adalah pemberlakukan Undang-Undang Kejahatan Komputer (The Computer Crimes Act) dan penerapan lèse-majesté (perlindungan hukum untuk keluarga kerajaan). Instrumen tersebut ditujukan untuk menghentikan penyebaran konten yang mengancam keamanan nasional, keluarga kerajaan, ataupun menciptakan kepanikan. Walhasil, mengutip Freedom House, pemerintah Thailand telah memblokir puluhan ribu situs web, halaman media sosial, hingga memenjarakan banyak orang yang dirasa melanggar peraturan yang ada.
Aim Sinpeng, dosen ilmu pemerintahan dan hubungan internasional University of Sydney dalam tulisannya di New Mandala berjudul “Southeast Asian cyberspace: politics, censorship, polarization” menjelaskan hak digital merupakan tantangan terbesar bagi pengguna internet di Asia Tenggara. Di tengah tren global yang memperlihatkan meningkatnya pengawasan dan penyensoran, pengguna internet harus membangun dinding tebal demi melindungi dan mempertahankan kebebasan berekspresi, berserikat, sampai privasi di dunia digital.
Dalam “The Rapid Rise of Censorship in Southeast Asia” yang dipublikasikan The Diplomat, peneliti Asia Tenggara Nithin Cocamenjelaskan bahwa sensor menghentikan kemajuan demokrasi yang dicapai dalam beberapa tahun terakhir di Asia Tenggara. Gerakan sosial tersebut goyah dan sekarang harus berhadapan dengan kekuatan pro-pemerintah maupun kaum konservatif.
Menurut Coca, "kemampuan negara berkembang untuk menguasai dan mengendalikan internet akan membatasi kemampuan oposisi, media, dan aktivis" dan "berdampak pada meningkatnya korupsi, penindasan terhadap kelompok minoritas, dan mempertinggi angka ketimpangan."
Kasus Indonesia
Menurut catatan Freedom House, Indonesia masuk dalam kategori “Partly Free” dengan nilai 47 dari maksimal 100. Free House menjelaskan, kendati akses internet di Indonesia mengalami peningkatan di 2017, akan tetapi masalah-masalah penyensoran maupun yang menyangkut kebebasan internet masih saja terjadi seperti pemblokiran situs aplikasi kencan gay, pembatasan informasi seputar Papua, intimidasi terhadap siapapun yang dianggap menyerang Islam di internet, hingga penangkapan atas pelanggar UU ITE.
“Masalah utama kebebasan di Indonesia itu sebetulnya ada di regulasi. Kita seringkali dihadapkan dengan regulasi yang mampu dengan mudah membatasi kegiatan kita sebagai masyarakat sipil seperti Undang-Undang ITE, pencemaran nama baik, hingga penistaan agama,” jelas Abdul Manan ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) kepada Tirto.
Di Indonesia, kebebasan berpendapat di internet kerap terbentur dengan regulasi macam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Laporan Information, Communication, and Technology (ICT) Watch menyebutkan, sejak 2008 sampai 2015 terdapat 71 kasus pemidanaan pengguna internet akibat terjerat Pasal 27 atau 28 UU ITE.
Hal senada diungkapkan South East Asia Freedom of Expression Network (SAFENET) yang menjelaskan bahwa sebanyak 92 persen kasus UU ITE dilaporkan dengan pasal defamasi atau pencemaran nama baik yang tertuang dalam pasal 22 ayat 3 UU ITE junto Pasal 45 UU ITE dan pasal 310-311 KUHP. Sisanya dilaporkan dengan pasal penistaan agama (5 persen) dan pengancaman (1 persen).
Hakikatnya, UU ITE dibuat dengan tujuan melindungi masyarakat dari kejahatan digital. Akan tetapi, UU ini kemudian banyak digunakan untuk membungkam kebebasan berekspresi.
Tantangan lain bagi kebebasan berpendapat di Indonesia adalah pasal penistaan agama. Secara garis besar, Pasal 156a dianggap memiliki kerangka pasal-pasal yang menjurus pembelaan negara pada Tuhan. Padahal, seharusnya ada batas-batas di mana negara tak boleh intervensi kepada kehidupan beragama, sebab agama berada di ranah privat.
Peraturan tersebut dibuat guna melindungi Tuhan yang dipercayai oleh 6 agama yaitu Budha, Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Khong Cu (Confusius). Enam agama itu merupakan golongan mayoritas yang diakui negara melalui pasal 29 ayat 2 UUD 1945. Justru agama atau kepercayaan minoritas yang lebih rentan diserang malah tak dilindungi.
Direktur Riset Setara Institute Ismail Hasani menilai, penafsiran atas Pasal 156a tersebut bercabang. Praktiknya bisa sangat lentur dan mudah disalahgunakan secara semena-mena. Menurutnya, sejauh ini, pasal terkait penodaan agama selalu menimbulkan kegaduhan yang dimotori oleh para pelapor. Pasal penodaan agama juga berbenturan dengan Konvenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (diratifikasi melalui UU No. 12 tahun 2005) yang melindungi kebebasan berpikir, berhati nurani, dan beragama.
Kendati masih bermasalah dengan regulasi, Abdul Manan menyatakan kondisi kebebasan berpendapat secara daring di Indonesia masih lebih baik dibanding negara-negara lain di Asia Tenggara.
“Daripada negara lain di Asia Tenggara, Indonesia masih punya iklim yang baik. Mungkin ini karena faktor demokrasi yang kita terapkan juga, ya,” ungkapnya. “Walaupun begitu, kita masih punya tantangan dalam pemblokiran situs. Selama ini, pemerintah memblokir situs secara sepihak tanpa adanya pengadilan. Itu yang harus kita perjuangkan agar semuanya bisa fair di mata hukum.”
Penulis: Faisal Irfani
Editor: Windu Jusuf