tirto.id - Haryanti (42) mengaku sulit bernapas karena asap dari kebakaran hutan dan lahan (karhutla) tak kunjung hilang. Warga Pipa Reja, Kemuning, Palembang ini mengaku tak berani berlama-lama di luar rumah.
“Napas jadi terbatas,” ujar perempuan beranak tiga itu kepada reporter Tirto, Senin (14/10/2019).
Dalam catatan IQ Air, kualitas udara di Palembang per Senin pukul 07.00 berada di level berbahaya, 533 mikrogram/meter. Angka ini bahkan meningkat menjadi 835 mikrogram/meter dua jam kemudian.
Diberitakan Antara, asap yang muncul di Palembang saat ini lebih pekat dibanding bulan kemarin.
Asap terlihat menipis di siang hari; tak separah pagi hari. Namun Haryanti menduga itu hanya karena efek sinar matahari. Sore hari asap akan kembali menebal.
Dua anak Haryanti yang duduk di bangku SD dan SMP terpaksa libur, beda dengan anak sulungnya yang sudah SMA.
“Dari TK, SD, dan SMP libur. Hanya SMA saja yang tidak libur,” kata Haryanti.
“Kami sudah berdiskusi dengan Dinas Lingkungan Hidup terkait kualitas udara. Memang dapat dilihat kategorinya berbahaya walaupun sudah pakai masker.
Jadi Wali Kota Harnojoyo memutuskan siswa harus libur tiga hari yakni 14-17 Oktober 2019,” ujar Kepala Dinas Pendidikan Kota Palembang Ahmad Zulinto, dikutip dari Antara.
Penerbangan di Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II Palembang pun terganggu. Perjalanan ribuan penumpang tertunda.
Executive General Manager Bandara Sultan Mahmud Badaruddin (SMB) II Palembang Fahroji mengatakan ada 26 jadwal penerbangan--yang meliputi 14 jadwal keberangkatan dan 12 jadwal kedatangan--terganggu.
“Selain itu ada satu pesawat Air Asia dari Malaysia terpaksa putar balik lagi ke Malaysia dan pesawat Sriwijaya Air dari Jakarta terpaksa putar balik ke Jakarta, serta pesawat Wings Air dari Pekanbaru beralih ke Jambi. Ketiganya tidak bisa mendarat di Palembang,” ungkat Fahroji kepada Antara.
Jarak pandang di landasan bandara pun menurun. Jika pukul 05.00 WIB masih 1.500 meter, pada pukul 06.30 WIB jarak pandang menjadi 50 meter, dan sedikit meningkat pukul 10.00 menjadi 1.000 meter.
Lalai
Kepala Seksi Observasi dan Informasi Stasiun Meteorologi SMB II Palembang Bambang Beny Setiaju mengatakan situasi ini adalah salah satu yang paling ekstrem sepanjang musim panas 2019. Ini disebabkan karena banyaknya titik panas atau hotspot selama 24 jam terakhir di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI).
“Asap kiriman datang dari Banyu Asin I, Pampangan, Tulung Selapan, Pedamaran, Pemulutan, Cengal, Pematang Panggang, dan Mesuji,” ujar Beny seperti dikutip dari Antaranews.
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Sumsel menyebutkan jumlah titik panas pada Senin pagi mencapai 732, dengan titik panas terbanyak di Kabupaten OKI sebanyak 437. Sementara Jumat sebelumnya, titik panas terpantau 417.
Kabid Penanganan Kedaruratan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sumsel Ansori mengatakan kabut di Palembang ini adalah karena pembakaran lahan, yang, menurutnya, terjadi akhir akhir pekan kemarin.
Dia secara tidak langsung mengatakan pembakaran terjadi karena petugas lalai. Pembakaran dilakukan ketika petugas di lapangan tengah beristirahat.
“Memanfaatkan kelengahan petugas. Apalagi petugas sudah berada di lokasi sejak empat bulan terakhir. Tentu hal-hal ini dimanfaatkan masyarakat untuk membersihkan lahan. Ya ada juga dengan cara seperti itu,” jelas Ansori.
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sumatera Selatan Hairul Sobri mengatakan kejadian karhutla memang “terus berulang, bahkan di tempat yang sama.” Dan ini menurutnya membuktikan pemerintah tidak serius menangani masalah.
“698.674 hektar kubah gambut (gambut dalam) yang seharusnya dilindungi, namun sebaliknya dibebani izin kepada korporasi rakus ruang. Bertahun-tahun kita terpapar asap, pencabutan izin tidak pernah dilakukan pemerintah,” ujar Hairul Sobri dalam siaran pers yang diterima Tirto, Senin (14/10/2019).
Hairul pun menyampaikan lemahnya pengawasan terhadap upaya restorasi ekosistem gambut, khususnya pada kawasan konsesi.
“Upaya restorasi ekosistem gambut tidak berjalan pada semua wilayah konsesi, padahal pemulihan gambut harus berdasarkan kawasan atau lanskap. Selama ini, upaya restorasi berbanding lurus dengan temuan hotspot,” tutur Hairul Sobri.
Penulis: Alfian Putra Abdi & Widia Primastika
Editor: Rio Apinino